Mia membangunkan Matteo. Satu goyangan di bahu pria itu ternyata tak membuatnya terbangun. Mia menggoyangkan bahu lebar itu sekali lagi. “Tuan, sudah kusiapkan semua peralatannya,” bisik Mia seraya mendekatkan bibirnya pada telinga Matteo. Akan tetapi, Matteo masih tidak juga meresponnya.
“Tuan!” panggil Mia sekali lagi. Ia sedikit menaikkan volume suaranya. Namun, lagi-lagi Matteo tak juga merespon panggilannya.
“Tuan!” kali ini Mia setengah berteriak memanggil pria itu.
Terkejut, Matteo seketika membuka matanya. Refleks ia mencengkeram leher Mia, hingga gadis itu terbelalak dan berusaha melepaskan tangan Matteo dari lehernya. “Ti-dak ... ja-ngan!” susah payah Mia mengucapkan kata-kata itu. Ia tidak menyangka jika Matteo akan melakukan hal seperti itu kepada dirinya. Mia bahkan hampir kehabisan napasnya.
Matteo akhirnya tersadar. Pria tampan itu tergagap. Ia segera melepaskan cengkeraman tangannya dari leher Mia. “Maaf. Aku ... aku bermimpi buruk. Kukira kau orang lain,” ucapnya. Ia terlihat khawatir jika dirinya telah melukai gadis itu. “Maafkan aku, Nona,” resah Matteo dengan napasnya yang agak terengah-engah.
Mia beringsut menjauh dan memundurkan tubuhnya. Ia lalu meraih kantong plastik yang sempat terlempar dari tangannya. “Aku membawa semua yang diperlukan untuk mengeluarkan peluru dari lenganmu,” ucap gadis itu dengan ekspresi ketakutan yang belum hilang dari wajahnya yang manis.
Mia kemudian mengeluarkan satu persatu barang yang ia dapatkan dari apotik tadi. Tangannya gemetaran. Gadis itu tampak sangat ketakutan.
Matteo dapat memahami hal itu. Ia mencoba untuk kembali mencairkan suasana tegang yang Mia rasakan. Matteo yang saat itu duduk bersandar pada dinding sambil meluruskan kakinya, segera menyentuh punggung tangan Mia dengan lembut. Belum pernah ia melakukan hal seperti itu kepada gadis manapun.
Matteo merasa perlu untuk membuat gadis itu kembali tenang, karena jika Mia merasa tegang, maka ia khawatir Mia tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik. Sementara, apa yang akan dilakukan Mia berhubungan dengan keselamatannya. Matteo tidak dapat membiarkan peluru itu terus bersarang di lengannya.
“Bantulah aku!” pinta Matteo di antara helaan napas beratnya.
“Apa yang harus aku lakukan, Tuan?” tanya Mia dengan wajah yang masih diliputi rasa takut. Tubuhnya semakin gemetaran karena tangan Matteo masih berada di atas tangannya.
“Pertama, tenangkan dulu dirimu, Nona! Jangan khawatir karena aku tidak akan menyakitimu,” jawab Matteo. Napasnya masih terdengar begitu berat. Mia mengangguk. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya.
“Kedua, lepaskan kain yang membebat lenganku! Ketiga ... sebutkan namamu!”
Mia yang sejak tadi hanya menundukan wajahnya, kini memberanikan diri untuk menatap wajah rupawan, berhiaskan sepasang mata berwarna abu-abu. Ini pertama kalinya ia berada sedekat itu dengan seorang pria.
“Panggil saja ... Mia!” ucap gadis itu pelan. Ia kembali menyembunyikan wajah cantiknya dari Matteo.
“Baiklah, Mia. Lakukan apa yang aku katakan!” titah Matteo masih dengan suaranya yang terdengar begitu berat. Mia mengangguk tanda mengerti.
Dengan sangat hati-hati, Mia melepas kain kumal yang membelit lengan kekar Matteo. Darah di sekitar luka tembak itu mulai mengering. Mia kemudian menuangkan alkohol ke atas luka Matteo, membuat pria itu memekik pelan.
“Ma-maaf,” ucap Mia dengan gugup.
“Tidak apa-apa. Lanjutkan!” titah Matteo sambil memalingkan wajahnya. Bulir-bulir keringat makin deras mengalir di kening dan juga lehernya. Sekuat tenaga ia menahan rasa sakit akibat luka itu.
Mia melanjutkan pekerjaannya. Ia kemudian membersihkan darah dan kotoran di sekitar luka Matteo. Tanpa aba-aba, Mia mengambil pinset dan memanaskannya beberapa saat dengan korek api otomatis. Setelah itu, dengan hati-hati ia berusaha untuk mengeluarkan sebutir peluru dari dalam lengan Matteo, dan membuat pria itu mengerang kencang akibat menahan sakit yang teramat sangat. Dapat dibayangkan seberapa sakitnya hal itu, karena dilakukan tanpa bius sama sekali.
“Tinggal sedikit lagi,” ucap Mia. Tangannya luwes mengambil sebuah benda bulat mungil yang penuh noda darah dari dalam lengan Matteo. Ia kemudian membuangnya begitu saja ke lantai.
Setelah itu Mia kemudian menautkan benang pada lubang jarum. Ia kembali memanaskan jarum itu dengan api, sebelum mulai menjahit luka Matteo yang sobek dan menganga.
Sedangkan Matteo terus memejamkan mata seraya mengatupkan bibirnya agar tidak berteriak, hingga operasi kecil itu berakhir.
“Finito!" seru Mia. Gadis itu terlihat senang. Ini adalah operasi pertamanya dengan pasien manusia dan berhasil. Senyum manisnya terkembang dengan begitu tulus ia layangkan kepada Matteo yang meskipun merasa sangat tersiksa, tapi akhirnya dapat bernapas dengan lega karena penyiksaan kecil itu akhirnya selesai juga.
“Terima kasih, Mia,” ucap Matteo dengan napas yang terengah-engah. Ia meringis kecil.
Mia merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ada rasa haru dalam hatinya. Namun, rasa bahagianya jauh lebih besar.
“Apa kau seorang dokter atau semacamnya?” tanya Matteo.
“Itu hanya sebuah cita-cita, Tuan. Aku tidak berani bermimpi terlalu jauh,” jawab Mia pelan.
Matteo menatap gadis itu untuk sesaat. Belum pernah ia bertemu dengan gadis manis yang sangat lugu seperti itu. Selama ini, Matteo hanya mengenal gadis-gadis dengan senyuman nakal dan kerlingan penuh godaan. Akan tetapi, Mia terlihat sangat berbeda. Gadis itu begitu naif dan lembut.
Mia masih menundukkan wajahnya. Sedangkan Matteo terus memerhatikannya dengan intens. Ia seakan tengah mengamati setiap sudut tersembunyi dari gadis itu. Matteo merasa jika ada banyak hal menarik yang telah membuat dirinya merasa tergelitik, untuk dapat mengenal gadis itu dengan lebih jauh lagi.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara aneh yang membuat keheningan di antara mereka berdua menjadi tidak terasa syahdu lagi. Seketika Mia menutupi mulut dengan punggung tangannya. “Apa kau lapar, Tuan?” tanya Mia seraya mengulum senyumnya.
Matteo tampak sangat malu. Akan tetapi, ia tidak dapat berpura-pura lagi. Ia kemudian tersenyum kecil.
“Sebentar! Aku akan membuatkan sesuatu untukmu,” ucap Mia seraya beranjak dari duduknya. Bersamaan dengan hal itu, terdengar suara dering ponselnya.
Adalah sebuah panggilan masuk dari Mr. Gio. Mia segera menjawabnya. Ia tahu jika ayahnya pasti sedang khawatir karena seharusnya saat ini ia sudah berada di rumah.
“Mia, ke mana saja kau? Kenapa belum pulang juga?” terdengar suara Mr. Gio dengan nada bicaranya yang sangat cemas.
“Aku ... aku masih di kedai, ayah,” jawab Mia dengan agak gugup. Ia lalu menoleh kepada Matteo. Pria itu menggelengkan kepalanya pelan, mengisyaratkan agar Mia tidak mengatakan apa-apa tentang keberadaannya.
"Cepatlah pulang! Baru saja Kepala Polisi Leonardo membuat siaran di televisi lokal. Katanya distrik kita sedang berada dalam kondisi siaga," terang Mr. Gio.
"Kenapa ayah? Ada masalah apa?" tanya Mia setengah berbisik seraya melirik Matteo yang masih serius mendengarkan percakapan.
"Salah satu warga kita menemukan sesosok mayat di kanal utara. Ia mengaku telah melihat kejadian pembunuhan itu dengan mata kepalanya sendiri, dan ia juga sudah mengenali ciri-ciri pelakunya yang kemungkinan masih berkeliaran di sekitar sini," terang Mr. Gio lagi.
Rasa takut kembali menyapa Mia. Susah payah ia menelan ludah sembari bertanya, "Memangnya, seperti apa ciri-cirinya?"
"Berambut panjang sebahu, memakai jaket kulit hitam, tingginya sekitar 185 cm, dan ...."
Mia tak dapat lagi berkonsentrasi mendengarkan penjelasan sang ayah. Matanya kini lekat menatap Matteo penuh kecemasan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 238 Episodes
Comments
Titik pujiningdyah
aku kok jadi ngilu ya
2022-02-28
0
Dwisya12Aurizra
ngerasa ngilu gitu ih... ngebayangin nya...
jgn takut Mia mateo kagak bakalin ngapa ngapain, kan udah ditolongin, palingan dia bakal ngerampok hatimu aza 🤭🤭😜😜
2022-02-03
0