Sekitar pukul sembilan belas tiga puluh, Mia telah bersiap-siap untuk menutup kedainya. Ia membereskan semua meja dan kursi yang berada di luar.
Lelah, tentu saja. Akan tetapi, Mia adalah gadis pekerja keras. Cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, memang dirasa terlalu tinggi untuk keadaan ekonomi keluarganya, sehingga dia memutuskan untuk mengambil jurusan yang sesuai dengan mata pencaharian sang ayah, yaitu Manajemen Bisnis. Mia berharap, ilmunya dapat membantu mengembangkan usaha milik ayahnya.
Selesa dengan meja dan kursi, Mia kemudian mengalihkan pekerjaannya pada mesin kasir. Baru saja ia selesai menghitung pemasukan kedai hari ini, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran seorang pria bertubuh tegap, dengan cara berjalan dan sikap berdirinya yang agak terseok-seok. Keresahan mulai menyapa hati Mia, terlebih karena saat itu ia hanya sendirian di sana. Apalagi jika dilihat dari penampilan luar pria itu, sepertinya ia bukanlah seorang pria baik-baik.
Sepasang mata abu-abu milik pria itu, menatap sayu kepada Mia yang masih berusaha untuk tetap terlihat tenang. Wajah pria itu terlihat begitu lusuh. Sepertinya ia baru menjalani pekerjaan atau mungkin perjalanan jauh, karena ia tampak begitu kelelahan. Namun, Mia kembali merasa ragu. Ia takut jika pria itu adalah seorang preman jalanan yang sedang mabuk dan tersesat ke kedai milik ayahnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Mia dengan agak terbata. Wajahnya jelas menunjukkan rasa tidak nyaman meskipun terus berusaha ia tutupi.
“Boleh aku minta air? Aku sangat haus,” terdengar pria itu menjawab dengan suaranya yang sedikit serak dan juga begitu berat.
“Iya, tentu saja. Silakan duduk dulu!” dengan agak gugup, Mia menunjuk pada meja yang ada di bagian dalam kedai sederhana itu. Ia kemudian berlalu dan mengambilkan sebotol air mineral bagi pria yang saat itu ternyata lebih memilih untuk berdiri di tempatnya.
Masih dengan rasa gugup yang menyelimuti dirinya, Mia menyodorkan botol air mineral itu. Dengan tangan yang terlihat gemetar, pria yang tiada lain adalah Matteo, menerima botol air mineral yang disodorkan Mia kepadanya. Namun, seketika Mia terkejut dan menjatuhkan botol air mineral yang dipegangnya. Gadis itu menutupi mulutnya, dengan kedua telapak tangannya. “Tuan, tangan Anda berdarah!” seru Mia pelan, setelah ia mulai dapat menguasai rasa terkejutnya.
Matteo tidak menjawab. Tubuhnya sudah terlalu lemah. Masih beruntung ia bisa sampai ke kedai itu, karena setidaknya tubuh tegapnya tidak ambruk di jalanan. Sementara Mia, ia kembali terkejut dan menutupi mulutnya seperti tadi, ketika ia mendapati tubuh Matteo yang jatuh dengan posisi tertelungkup di atas lantai.
Mia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres dengan pria itu. Ia lalu menurunkan tubuhnya dan setengah berjongkok. Ia memberanikan diri untuk membalikan tubuh Matteo yang sudah tidak sadarkan diri. Dipegangnya pergelangan tangan Matteo. Gadis itu sedang memastikan apakah Matteo masih bernyawa atau tidak. Jika Matteo mati di sana, maka hal itu akan menjadi masalah besar bagi ayahnya sebagai pemilik kedai.
Mia kemudian menggoyang-goyangkan tubuh Matteo. “Tuan! Tuan, sadarlah! Tolong jangan pingsan apalagi mati di sini! Kau akan membuatku dan ayahku berada dalam masalah!” celoteh Mia dengan wajah yang diliputi rasa khawatir
“Tuan, sadarlah!” lagi, Mia berharap agar Matteo segera siuman dan pergi dari kedainya. Akan tetapi, sayang sekali karena Matteo terus saja memejamkan matanya meskipun jantungnya masih berdetak.
Bingung dengan apa yang harus ia lakukan, Mia tampak mondar-mandir sambil sesekali menggigit ujung kuku jari telunjuknya. Dalam kekalutan, Mia menghubungi layanan ambulans darurat. Namun, tiba-tiba pria itu membuka mata dan merebut ponsel miliknya. “Tolong jangan hubungi siapapun, atau mereka akan tahu kalau aku bersembunyi di sini,” desis pria bermata abu-abu itu.
“Izinkan saja aku beristirahat di tempatmu. Aku mohon,” pinta Matteo dengan nada memelas.
Mia mengangguk dengan ragu. Ia lalu kembali mendekati Matteo yang tampak kesakitan. Mia bersimpuh, dan menarik tubuh pria itu kemudian meletakan kepala pria itu di atas pangkuannya. Entah kenapa Mia melakukan hal itu. Tubuhnya seperti bergerak sendiri, dan tanpa ia komando untuk merengkuh tubuh tegap yang terkapar lemah itu.
“Tolong obati saja luka-lukaku! Aku akan menuntunmu!” ucapnya pelan. Matteo mengarahkan sorot matanya pada jaket kulit hitam yang sudah terkoyak di sana-sini, sebagai isyarat permintaan tolong kepada Mia.
Dengan cekatan, Mia melepas jaket kulit yang dikenakan Matteo dan menyisakan sebuah T-Shirt round neck berwarna abu-abu polos. Mia kemudian mengernyitkan keningnya ketika ia melihat luka tembak di lengan sebelah kanan Matteo yang terbungkus kain kumal secara asal-asalan.
"Kau punya alkohol, Nona?" tanya Matteo. Mata abu-abunya menatap lekat pada mata coklat terang milik Mia.
Mia menggeleng dengan segera. Kedainya hanya menyediakan minuman ringan dan segala jenis kopi. Ayahnya tak pernah menjual minuman beralkohol.
"Ma-maksudku ... alkohol murni. Alkohol untuk mensterilkan luka," kalimat Matteo mulai terbata-bata. Energinya semakin habis.
"Um, aku akan membelikannya di apotik. Apa lagi yang Anda butuhkan?" tanya Mia.
"Seteguk air lagi, sebelum kau pergi," tangan besar Matteo menggenggam jemari lentik Mia yang hendak berdiri. Hal itu menimbulkan getaran aneh di dada Mia. Mia segera meraih botol air di dekatnya dan menempelkannya perlahan di bibir Matteo. Tanpa sadar, ia mengagumi wajah tampan yang sedang sibuk meneguk air itu.
Matteo memejamkan matanya sehingga memerlihatkan bulu mata yang lebat dan lentik. Bibir kemerahannya terlihat basah oleh air. Alis pria itu begitu rapi dan tegas. Berwarna sama dengan warna rambutnya yang panjang, hitam legam. Beberapa helai rambut Matteo jatuh di keningnya. Memar dan goresan luka juga tampak menghiasi pipinya.
"Sudah, cukup! Terima kasih," Matteo membuka matanya dan memandang lembut kepada Mia. Pria itu tersenyum dengan begitu memesona sehingga membuat pipi Mia bersemu merah. "Sebentar, akan kuambilkan sesuatu untuk Anda," Mia segera berdiri. Dengan setengah berlari, ia masuk ke bagian dalam kedai dan keluar beberapa menit kemudian sambil membawa bantal kecil berbentuk bunga kesayangannya.
"Maaf, untuk sementara berbaringlah dulu di sini! Aku tidak kuat mengangkat tubuh Anda yang terlalu besar."
Matteo tersenyum. "Aku berterima kasih sekali," ucapnya.
Mia menunjukan senyum manisnya. "Baiklah. Aku akan pergi ke apotik seberang. Bertahanlah, Tuan!" Gadis itu berlari secepat kilat membuka pintu kedai dan menyeberang jalan. Apotik di depan kedainya adalah milik Nyonya Rosario, apoteker terbaik yang ada di wilayah itu.
Sedikit kasar, Mia membuka pintu masuk apotik, membuat wanita paruh baya yang berdiri di belakang meja kasir itu cukup terkejut.
"Nyonya! Aku membutuhkan alkohol, perban dan pinset. Jarum dan benang operasi!" ucap Mia resah.
"Anjing siapa lagi yang hendak kau jadikan kelinci percobaan, Mia?" Nyonya Rosario segera menyiapkan barang-barang itu dan memasukannya ke dalam kantong plastik. "Tidak usah membayar! Anggap saja aku membantumu mewujudkan mimpimu yang tak bisa tergapai!" ujar wanita itu sebelum Mia sempat membuka mulutnya. Dengan mata berkaca-kaca, Mia mengangguk dan berterima kasih.
Beberapa menit kemudian, ia telah berada di sisi Matteo yang tertidur. Seutas senyuman terbit di bibir Mia. Gadis itu mengingat perkataan Nyonya Rosario yang mengira dirinya akan mengobati seekor anjing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 238 Episodes
Comments
IG: Saya_Muchu
semangat thor
2022-05-06
0
Titik pujiningdyah
theo jadi ganteng-ganteng gukguk
2022-02-28
0
🌸Erna iksiru moon🌸
hi hi dikiranya nolongin guguk au y Mia😄
2022-02-21
0