"Men, Ramen ... bangun Men," Via mengetuk pintu kamarku sambil berteriak.
"Yaaa, udah bangun, bentar," jawabku sambil membereskan selimut.
Aku memang sudah bangun dan sedang membersekan tempat tidurku.
Ku buka pintu kamarku, dan ku lihat dia membawa sebuah bungkusan ditanganya.
"Dari Ibu nih, buat kamu, dimakan yah?" ucapnya sembari memberikan bungkusan itu kepadaku.
"Alhamdulillah, apaan nih? Wah serabi Notosuman, makasih Viii," ucapku girang setelah membuka bungkusan itu.
Ya, aku suka banget sama serabi khas Solo ini. Serabi Notosuman namanua. Via memang selalu membawa oleh-oleh setiap kembali dari Solo. Begitupun aku dan beberapa teman kos lain kalau pulang kampung. Pasti saat kami kembali ke kos selalu membawa oleh-oleh khas kampung masing-masing dan dibagikan ke penghuni kamar yang lain.
"Kuliah nggak hari ini?" tanya Via sambil masuk ke kamarku.
"Kuliah nanti jam 10.00," jawabku sambil menata serabi di dalam lemari tempat camilan yang ada di kamarku.
"Lah iya, kan sama ya kita, bareng yah," ucapnya sambil nyengir karena dia lupa jadwal. Memang Via baru saja tiba di kos pagi ini.
"Oke, aku mau nyuci dulu, terus mandi, terus berangkat ke kampus," jawabku sambil membawa handuk keluar.
Kos ini ada sembilan kamar, dan ada tiga kamar mandi untuk masing-masing tiga penghuni kamar.
Via pun kembali ke kamarnya, dan aku langsung ke kamar mandi untuk nyuci baju dan mandi sebelum berangkat ke kampus.
******
"Kemaren ngapain aja di kos? Semua anak kos pergi po? Kamu sendirian?" Tanya Via saat kami berjalan kaki bersama menuju ke Kampus.
Ya, jarak antara Kampus dan kos kami memang dekat, jalan kaki hanya sekitar sepuluh sampai lima belas menit.
"Ada mbak Desi sama mbak Jingga, mereka nggak pulang, masih ada tanggungan tugas katanya," jawabku.
"Kamu ngapain aja di kos? Turu mesthi," ucapnya sambil tertawa kecil.
"Sabtunya aku emang di kos aja, biasalah nyetrika, setrikaanku numpuk."
"Lah minggunya?" tanya nya penasaran.
Aku tidak langsung menjawabnya, aku melihat ke arahnya dan tersenyum.
"Leeeh malah senyam-senyum ki ngopo? Hayoo kemana kamu hari minggu?"
"Aku ke pantai Indrayanti sama Mas Farhan," jawabku sambil tertunduk malu.
"Hah? Adoh tenan, sopo kui Farhan? Hayo sopo," tanyanya semakin penasaran sambil sedikit mencubit pinggangku.
"Au, sakit to Via, Mas Farhan itu yang aku ceritakan waktu itu, yang kenalan dari radio," jawabku.
"Weee ee ee, Rania, nduwe yank (pacar) yo saiki, wes adoh le dolan (udah jauh jalan-jalannya)," cerocosnya seperti emak-emak.
"Hush...yank opo, baru kenal beberapa bulan di HP, ketemu juga baru dua kali."
"Lah itu maennya udah jauh banget sampe Pantai Gunung Kidul, aku aja belum pernah kesana."
"Aku juga cuma diajak sama dia kok, bagus banget loh Vi, kayak Bali," jawabku.
Padahal aku juga belum pernah ke Bali, tapi kalau liat di internet dan di TV ya begitulah kira-kira bentuk pantai di Bali.
"Mbok kapan-kapan aku diajak toh, aku yo pengen tau," ujarnya sambil manyun.
"Yo InshaaAllah nanti kalau dia ngajak lagi, kamu tak ajak juga ya."
"Wo, ya nggak mau. Mosok aku jadi obat nyamuk, liat kamu berduaan sama dia?"
"Yo nggak toh, kita jalan kan bertiga nggak mungkin lah aku ngebiarin kamu sendirian plonga plongo," jawabku sambil tertawa.
"Aku tak ngajak mas Iwan ah, siapa tau dia mau," ucapnya sambil nyengir.
Iwan adalah salah satu teman kami di Kampus, kakak angkatan. Dia anak pecinta alam, dan dulu waktu semester awal Via ngefans banget sama dia, dan akhirnya akrab. Tapi nggak pernah jadian, lebih seperti sahabat.
"Oke deh, nanti kalau dia ngajak lagi, tak kasih tau kamu ya," kataku.
Setelah selesai semua kegiatan kampus, dan akhirnya pukul 15.00 aku pulang ke kos. Via nggak sekalian pulang karena ada acara di UKM PMI.
Sesampainya di kos aku pun langsung mandi, sholat ashar dan tidur. Ketiduran sih lebih tepatnya. Tadinya aku rebahan di kasur, membaca novel favoritku sambil mendengarkan radio dan lagu-lagu cinta kesukaanku.
"Allahuakbar...Allahuakbar."
Sayup ku dengar suara adzan, rupanya sudah tiba waktu maghrib. Aku pun bangun dari tidurku, pergi ke kamar mandi dan mengambil wudhu, lalu bersiap menjalankan sholat maghrib.
Usai sholat maghrib aku langsung tiduran lagi di kasur sambil melanjutkan membaca novel karya Mira W, tidak lupa juga ku nyalakan radio kesayangku. Malam ini aku sedang tidak ada tugas apapun, jadi memang isinya hanya tiduran, baca novel, mendengarkan radio.
"Ran, Rania..." Terdengar suara Mbak Jingga mengetuk pintu kamar dan memanggilku.
"Ya Mbak bentar," jawabku sambil berdiri dan berjalan menujur pintu.
"Ada apa Mbak?" tanyaku sambil membuka pintu.
"Ono koncomu kae neng teras (ada temenmu itu di teras)."
"Hah? Konco? Siapa?"
"Mbuh, aku baru liat ini, gek ndang temui (nggak tau, aku baru liat ini, segera temui)," ucap Mbak Jingga menyuruhku segera keluar, lalu dia pun berlalu ke kamarnya.
Siapa ya? Perasaan aku nggak janjian sama siapa-siapa, akupun bertanya-tanya dalam hati.
Ku sisir rambutku yang agak berantakan karena aku tadi sambil tiduran.
Saat aku keluar dan berdiri di teras betapa terkejutnya aku saat melihat ternyata yang duduk di teras saat itu adalah Mas Farhan.
"Mas Farhan? Ngapain kesini? Kok nggak bilang-bilang dulu? Perasaan seharian nggak ada SMS sama sekali, tadi siang aku SMS ngucapin selamat makan siang pun nggak di bales, aku pikir Mas nya sibuk dan lagi nggak bisa diganggu. Kok ujug-ujug ada disini?" cecarku.
"Nggak papa, tadi emang lagi sibuk, sekarang udah nggak. Yuk keluar cari makan," jawabnya sambil tersenyum.
Enteng banget jawaban dia, dia nggak liat apa kalau aku gemeteran saking kagetnya. Terserah deh mau dibilang berlebihan atau gimana, karena aku memang kaget sekali saat itu. Dia ini ngasih surprise kah ceritanya? Apa gimana?
Aku pun masih belum beranjak dari tempatku berdiri, masih melihatnya seolah nggak percaya dia tiba-tiba ada disini.
"Dek, yuk cari makan," ucapnya sekali lagi dan itu membuyarkan lamunan sesaatku.
"Oh oke, sebentar yah aku ganti baju dulu," ucapku sedikit gagu.
Aku pun kembali masuk ke kamar dan menganti pakaianku. Sambil bercermin aku kembali bertanya-tanya dalam hati.
Ini beneran ya dia ngajak aku makan di luar? Tiba-tiba datang tanpa kabar sebelumnya. Gila ini sih, laki-laki ini penuh dengan kejutan. Jantungku harus benar-benar kuat kalau begini caranya. Dia nggak tau apa kalau apa yang dia lakukan itu sering banget membuat jantungku ini terpompa lebih cepat dari biasanya. Bahkan aku pun tidak tau mengapa aku begitu mudah berdebar ketika melihatnya dan aku belum pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya, kepada siapapun laki-laki yang pernah dekat denganku. Baru dia, dan hanya dia.
Tiba-tiba dari luar kamarku ada suara ketukan pintu, "Tok...tok...tok"
"Ramen, aku masuk ya?" Ternyata itu suara Via.
"Masuk aja Vi, nggak tak kunci," jawabku.
"Men kui sopo neng teras (men, itu siapa di teras)? Koncone sopo (temannya siapa)?" tanya Via yang baru saja pulang dari kampus.
Sepertinya dia melihat Mas Farhan di depan.
"Itu yang namanya Mas Farhan, dia ngajak aku makan di luar," kataku sambil memakai lipgloss.
"Hah? Kui sek jenengane Farhan (itu yang namanya Farhan)? Serius Ran?" tanya nya memastikan sambil mendekat ke arahku.
"Ho oh, kenapa? Ganteng yah?" jawabku sambil tersenyum, dan entah kenapa ada rasa bangga di hati ini.
"Koyo Tengku Firmansyah yo, ngerti ra kowe? Rambute rodo' gondrong, tinggi," cerocosnya.
"Siapa itu Tengku Firmansyah? Perasaanku mirip Once ah, vokalis nya Dewa," jawabku.
"Alah kae loh pemain sinetron, ada kok Tengku Firmansyah."
"Aku nggak pernah nonton sinetron kan Vi, wes ya aku jalan dulu, kamu dah maem? Mau tak bawain sekalian ndak?" tanyaku.
"Nggak, aku wes maem sama mas Iwan tadi di pecel lele. Yaudah hati-hati yo, jangan pulang kemaleman. Bawa kunci gerbang, dan besok kudu cerito pokoke," ucapnya.
"Iya-iya, yaudah aku berangkat dulu ya, mau dikamar ku apa mau ke kamar mu?"
"Kunci aja, aku mau istirahat di kamarku aja," katanya.
"Oke, yaudah aku jalan yo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati," jawabnya.
Di teras, Mas Farhan masih setia menunggu sambil melihat HP nya.
"Yuk mas, maaf ya lama. Tadi ada Via dulu ke kamar soalnya," kataku.
"Iya ndak papa, yuk berangkat, takut nanti kamaleman," ajaknya.
Malam itu, seperti biasa sepanjang perjalanan aku hanya bisa menikmati pemandangan Yogya di malam hari. Jarang-jarang loh aku keluar malam begini. Kalau nggak ada yang ngajak, dan hari ini aku diajak orang yang special bagiku, terserah baginya aku ini apa dan bagaimana. Yang penting bagiku dia istimewa, seistimewa Yogyakarta.
Motor itu pun berhenti di salah satu lesehan yang cukup terkenal di Yogya, lesehan oseng mercon Bu Narti. Aku sudah pernah kesitu, dulu awal-awal di yogya, diajak sama temen kos, rame-rame. Katanya oseng-oseng itu sudah ada sejak tahun 1998.
Akhirnya kami pun makan disana, sambil sesekali mengobrol tentang banyak hal. Bahkan itu oseng mercon jadi pembahasan yang menarik jika lawan bicaranya adalah Mas Farhan.
"Abis ini mau kemana?" tanya nya.
"Kemana aja, ngikut aja aku nya," jawabku sambil tersenyum.
Iya, kemanapun dia mau mengajakku, aku pasti ikut. Aku akan ikut, pokoknya ikut. Hanya itu yang ada di kepalaku saat itu, entah kenapa.
Kami pun beranjak dari tempat itu. Aku nggak tau dia mau bawa aku kemana. Tapi aku yakin, dia bukan laki-laki brengsek yang akan melakukan hal aneh-aneh dan mengajak ke tempat yang nggak pantes.
*******
"Disini aja yah," katanya.
Saat itu kami tiba di Alun-Alun Selatan Yogyakarta. Di sana ada dua pohon beringin kembar, yang menurut mitosnya kalau kita bisa melewati dua beringin itu dengan mata tertutup, maka apapun permintaan kita akan terkabul.
Entahlah, tapi nggak ada salahnya dicoba kan, buat seru-seruan.
"Mau nyoba?" tanyanya padaku saat kami sudah berada di tengah lapangan itu.
"Hah? Nanti kalau nyasar gimana?" tanyaku sambil tertawa kecil.
"Aku jagain, kalau melenceng nanti aku kasih tau," katanya.
Apa? Gimana-gimana? Ulang ucapannya. Jagain? Jagain? Astagah Rania! Ketimbang ucapan sesederhana itu kamu udah kalang kabut. Mulai deh, mulai keluar lagi perasaan berlebihannya, pikirannya kemana-mana.
"Oh oke, nanti gantian ya?" ujarku.
Dia mengagguk, dan berputar mengikatkan sapu tangan ke kepalaku agar mataku tertutup.
Aku pun mulai berjalan perlahan-lahan. Aku benar-benar tidak bisa melihat apapun. Ku rentangkan tanganku sambil meraba-raba agar tidak menabrak orang lain yang ada di sekitar yang mungkin saja mata mereka juga tertutup dan mencoba hal yang sama.
Tiba-tiba ada tangan memegang pundakku, dan menggeser tubuhku. Itu membuatku terkejut.
"Ada orang hampir nabrak karena dia juga tutup mata," kata mas Farhan.
Oh, Mas Farhan, aku pikir siapa. Ternyata dia benar-benar menjagaku. MasyaAllah.
Aku pun melanjutkan perjalananku, dan aku ingat mitos itu. Katanya kalau kita bisa melewati beringin itu, apapun yang kita harapkan akan terkabul. Walau itu mitos, tapi aku menyelipkan satu harapan di hatiku saat itu.
Andai diijinkan, aku ingin harapanku ini terkabul. Harapanku saat itu adalah tidak pernah berpisah dengan Mas Farhan. Walaupun hubungan ini masih baru, walaupun tidak ada ikatan apapun, walau aku belum mengenalnya seutuhnya. Tapi aku sudah terlanjur nyaman saat bersamanya dan semoga itu selamanya.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan memegang pundakku sekali lagi.
"Stop," katanya. Aku oun berhenti, lalu dia pun membuka penutup mataku.
Saat aku membuka mata, aku sudah tidak melihat lagi ada beringin kembar di hadapanku, dan hatiku mendadak bahagia. Aku berpikir aku sudah berhasil melewatinya. Tapi saat aku memutar badan, ternyata aku berbelok jauh dari beringin itu. Bahkan tidak mendekati sama sekali, ternyata dari tadi aku berjalan ke arah kiri. Seketika itu juga entah kenapa aku mendadak kecewa.
Astaga Rania! Itu hanya mitos. Kamu tidak bisa melewati beringin kembar itu bukan berarti harapanmu tadi tidak akan terkabul. Ingat itu hanya Mitos okey.
"Nggak kerasa po dek udah nginjek rumput dari tadi? Kan jalan yang lurus ndak ada rumputnya," ucapnya sambil tertawa kecil.
"Oalah iya, lah kok bisa-bisanya aku nggak kerasa." ujarku sambil tertawa.
"Sekarang giliranku ya," katanya sambil mengikat sendiri penutup matanya.
"Ih curang, nanti masih ngeliat, itu masang sendiri penutup matanya," godaku.
Dia pun melepas kembali ikatan sapu tangan itu dan memberikannya padaku. Lalu badannya sedikit membungkuk agar aku tidak perlu jinjit untuk memasang penutup mata itu. Maklumlah dia 175cm sementara aku kurang lebih hanya 145cm, pendek memang.
Saat aku mencoba mengikatkan sapu tangan di kepalanya, tiba-tiba jantungku berdebar. MasyaAllah aroma wangi rambutnya tercium olehku, sumpah sih ini ngangenin banget. Aroma rambut, aroma badan. Aduh entah deh, semuanya wangi.
Setelah sapu tangan itu terikat, dia pun berjalan pelan menyusuri jalan untuk menembus dua beringin kembar itu. Aku pun ikut berjalan di sebelahnya.
Tau apa yang terjadi? Dia berhasil! Tanpa meraba, tanpa ragu, dia bisa melewatinya, hal itu membuatku heran dan terpaku.
Ku pegang tanganya, memberinya kode agar berhenti berjalan. Lalu dia membuka penutup matanya, dan menoleh ke arahku, melihat mataku sambil tersenyum.
Ah, senyum itu. Entah kenapa aku merasa sangat takut kehilangan senyum itu suatu saat nanti. Aku pun langsung menggelengkan kepalaku untuk menghilangkan pikiranku barusan.
"Capek nggak? Cari tempat duduk yuk, mau minum?" tanya nya.
"Boleh, yuk."
Kami pun berjalan menuju bangunan yang ada di pinggir lapangan. Di bangunan itu ada tulisan Sasana Hinggil, kami duduk di tangga bangunan itu. Setelah itu Mas Farhan pun memesan dua teh panas.
"Ini dek, diminum."
"Makasih mas." jawabku sambil menerima gelas dari tanganya.
"Tadi sebelum jalan masuk menuju beringin, kamu menyebutkan suatu harapan nggak?" tanya nya.
"Hah? Ada sih, tapi itu kan cuma mitos ya, tapi ya tadi iseng aja mengucapkannya dalam hati," jawabku gerogi.
"Apa?" tanyanya penasaran.
"Ada lah, kalo diucapkan nanti nggak jadi harapan hati lagi," jawabku ngeles.
Ya nggak mungkin dong aku bilang,
Bahwa harapanku adalah tidak pernah berpisah denganmu dan mau kamu jadi imamku, pasangan hidupku, tidak pernah meninggalkanku dan tidak akan pernah terpisah dari mu. Nggak mungkin banget aku mengatakan itu.
"Kalau mas sendiri tadi berharap sesuatu nggak?" tanyaku penasaran.
"Iya," jawabnya singkat sambil meminum teh di tangannya.
"Apa?" tanyaku penasaran.
Dia tidak menjawab, dia hanya menoleh kearahku karena kami duduk bersebelahan, lalu dia tersenyum dan menatap mataku. Seperti biasa tatapan itu adalah tatapan yang aku paling nggak suka. Kenapa? karena akan membuatku salah tingkah seketika.
"Dih nggak dijawab, apa harapannya?" Tanyaku sambil bergurau.
"Ada deh, yuk pulang, sudah jam 21.30 nih nanti kemaleman," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Yaudah yuk."
Akhirnya kamipun pulang, dan di sepanjang perjalanan pulang aku terus penasaran.
Apa ya yang jadi harapannya saat melewati beringin itu tadi. Kok dia nggak mau kasih tau aku. Jangan-jangan dia berharap wanita yang di foto itu kembali, dan itu artinya aku akan segera tersingkir. Seperti biasa hatiku berbicara dan banyak menerka karena rasa penasaranku.
******
Beberapa saat kemudian motornya pun berhenti di depan kos ku.
"Sampe dek," ucapnya.
"Oh iya, duh nggak kerasa ya, maaf," ujacapku sambil salah tingkah karena kebanyakan ngelamun memikirkan harapannya saat di Alun-Alun tadi.
"Ngelamun ya? Sampe nggak tau kalau dah sampe?" tanya nya sambil tersenyum.
"Iya, dikit," jawabku singkat sambil tersipu malu.
"Mikirin apa?" tanyanya lagi.
"Nggak kok, nggak ada. Makasih ya mas udah diajak jalan, makan, makasih banget, seneng banget deh aku." Sambil menyerahkan helm yang tadi ku pakai.
"Iya, sama-sama, alhamdulillah kalau bisa bikin kamu seneng," ucapnya.
"Yaudah hati-hati di jalan ya mas, udah malem. Nanti kalau sampe rumah sms yah, biar aku tau kamu udah sampe apa belum," kataku.
Baru saja aku mau berjalan memasuki pintu gerbang ku dengar dia memanggilku.
"Dek," panggilnya.
"Iya? Gimana mas?" jawabku sambil menoleh lagi ke arahnya.
"Tadi sebelum berjalan ke arah beringin kembar, aku berharap satu hal..." ucapannya pun terpotong dan dia sedikit menundukkan kepala.
Aku pun menyimak dan menunggu kelanjutan ucapanya.
"Apa mas?" tanyaku penasaran karena dia lama tidak melanjutkan ucapanya.
Sambil membetulkan masker dan helm yang sempat dia buka tadi saat pertama kami tiba, lalu dia pun berkata,
"Kamu, dah yo dek. Mas pulang dulu, Assalamualaikum."
"Wa, walaikumsalam," jawabku gagu.
Motor itupun melaju dan meninggalkanku yang masih berdiri seperti patung di depan gerbang.
Kamu? Kamu? Aku maksudnya? Dia memikirkanku? Dia mengharapkanku? Atau gimana maksudnya?
Aku kah yang menjadi harapannya tadi saat melewati beringin itu? Dia berharap aku apa? Sungguh hatiku nggak karuan saat itu.
Kenapa lah lelaki satu ini penuh dengan kejutan. Kenapa dia hobi sekali membuatku tidak bisa tidur, membuatku mikir dan berangan-angan. Mengucapkan hal-hal yang membuat hatiku campur aduk.
Ya ALLAH andai ada yang bisa mendengar jantungku saat ini, mungkin suaranya lebih keras daripada bedug masjid dan senyumku pun tak berhenti malam itu.
MasyaALLAH mas Farhan....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Arin Minty
Kok jd baper ya....🤭🤭🤭
Aduh masnya....gemes deh sama kamuuuu.....🥰🥰🥰
2021-06-13
0
Chuwie💕
nitip dlu
2021-04-16
0
Linkgar Utsukushii
ahahahhaha aku senyam senyum sendiri baca nya 😂😂😂🙈
2021-04-07
0