Hari minggu....
Alarm jamku pun berbunyi, itu tandanya sudah pukul 04.00 wib, sudah waktunya subuhan. Aku pun berusaha membuka mataku yang masih terasa begitu berat, karena aku baru tidur pukul 02.00 dini hari tadi, itu artinya aku baru tidur selama dua jam.
Bukan karena teleponan atau smsan dengan Mas Farhan, tapi memang aku tidak bisa tidur tadi malam, karena menunggu datangnya pagi. Ya, aku nggak sabar ingin bertemu Mas Farhan lagi. Ganjen banget ya kesannya, tapi memang itu yang ku rasakan saat itu.
Akhirnya, hari yang ku nantikan datang juga. Sesuai janji, Mas Farhan akan menjemput ku pukul 10.00 wib.
Tadi pukul 08.00 wib dia sudah sms dan mengingatkanku untuk bersiap-siap pergi ke Pantai Indrayanti hari ini. Aku pun sibuk membongkar lemari bajuku, baju apa ya yang akan ku pakai, celana yang mana, tas, sepatu.
Ah, ribet sendiri pokoknya. Seandainya ada si bawel Via, aku pasti bisa meminta sarannya soal ini, karena dia pakar nya soal fashion menurutku. Sayang dia lagi pulang kampung ke Solo hari itu.
Akhirnya aku memutuskan memakai celana jeans hitam, blouse abu-abu, tas hitam, dan sepatu flat hitam. Ya, aku memang pecinta warna gelap, karena aku bukan orang yang pandai memadu padankan warna. Selain itu aku memang selalu memakai celana panjang, entah apapun itu bahannya, asalkan celana panjang. Jarang sekali aku memakai rok, karena menurutku ribet, pakai yang pendek gak nyaman, pakai yang panjang makin ngggak nyaman, pokoknya aku nggak suka rok titik!
Kulihat jam di tanganku, menunjukkan 10.15 wib, kok Mas Farhan belum sampai juga ya, nanti kalau kesiangan takutnya cuacanya panas banget. Mana menurut cerita yang ku dengar dari beberapa temanku Pantai Indrayanti itu jauh, jalannya menanjak, berliku, karena memang pantai itu berada di daerah Gunung Kidul sana. Tapi memang sepadan dengan pemandangan yang akan kita dapat katanya.
Beberapa saat kemudian HPku pun berbunyi, dan itu adalah pesan dari Mas Farhan.
"Dek, aku udah di depan, aku tunggu di sini ya?"
"Oke mas, aku keluar," balasku sambil mengambil tas dan menuju keluar kos.
Masih seperti waktu pertama bertemu, Mas Farhan menunggu di atas motor nya, dengan wajah yang tertutup masker hitam, sarung tangan hitam, jaket hitam, sepatu hitam, dan kali ini dia membawa tas ransel berwarna hitam. Sepertinya kami memiliki satu kesamaan dalam hal pemilihan warna.
"Sudah siap jalan-jalan? Ini sedikit lebih jauh dari Bukit Bintang, dan jalan nya lebih berliku, kalau sekiranya merasa capek nanti bilang ya, kita bisa istirahat," ucapnya sambil memberikan helm yang memang selalu dia bawa di bagian belakang motornya.
"Oke," jawabku singkat sembari memakai helm yang dia berikan.
Lalu seperti biasa dia menyodorkan tangannya agar bisa ku jadikan pegangan. Kebiasaannya itu membuatku merasakan sebuah perhatian yang sederhana namun bermakna.
Akhirnya kami pun melaju. Seperti biasa juga, tanpa obrolan sama sekali karena dia memacu motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi menurutku, aku tau kalaupun aku mengajaknya ngobrol saat itu pasti dia nggak akan bisa mendengar suaraku.
Aku nggak tau jalan apa saja yang kami lewati, aku juga nggak tau nama daerah-daerahnya, maklumlah aku ini anak kosan yang taunya cuma kampus, kos, perpus, paling banter toko buku atau swalayan-swalayan terdekat saja. Sekalinya jalan-jalan biasanya ya sama temen-temen, jadi aku tinggal ikut gitu aja, sama sekali nggak ngerti jalan.
Yang jelas jalanan yang kami lalui kali ini lebih menajak daripada ke Bukit Bintang waktu itu, dan ada beberapa tikungan tajam. Jujur saja aku beberapa kali dibuat gugup karena dia belok terlalu miring menurutku, dan benar saja, aku mual, rasanya pusing, keringat dingin, ah pokoknya lemeeess....
"Mas, bisa berhenti sebentar nggak? Rasanya kok aku mual banget ya," kataku sambil menepuk pundak nya agar dia tau kalau aku sedang bicara.
Tanpa menjawab, dia memperlambat laju motornya. Akhirnya kami pun berhenti di pinggir jalan, yang kebetulan ada pohon rindangnya. Aku pun turun dari motor itu, untuk meregangkan otot pinggang yang memang terasa sedikit pegal, karena bagiku perjalanan itu terasa sudah cukup lama. Aku pun berusaha meredakan rasa mual yang ku rasakan dari tadi.
Mas Farhan pun turun dari motornya, dan memberikan sebotol air mineral padaku.
"Minum dek," ucapnya.
"Makasih mas."
"Ini dipake, biar rada enakan," dia memberikan sebotol minyak kayu putih padaku.
Aku melihanya membuka ransel yang dari tadi dibawanya. Aku ingin tahu apa sebenarnya isi ransel itu. You know what? Ternyata isinya adalah camilan, roti, air mineral, obat sakit kepala, minyak kayu putih dan entah apa lagi, tidak semua bisa terlihat olehku.
Selengkap itu bawaannya? sementara aku hanya membawa tas kecil yang isinya HP, dompet, parfume, lipgloss.
Astagaaaa Raniaaaa, sama sekali nggak kepikiran untuk bawa bekal? Kebangetan memang. Sudah tau perjalanan bakalan jauh. Hadeeeh..
"Udah enakan? Mau lanjut?" tanyanya menyadarkanku yang dari tadi asik dengan pikiranku sendiri.
"Oh iya, udah lumayan. Masih ada pusingnya dikit, tapi nggak apa-apa, yaudah yuk, nanti malah kesiangan banget, takut pulangnya kesorean," jawabku.
Ransel yang dari tadi digendongnya di belakang, tiba-tiba kini posisinya dipindahkan ke depan. Jadi sekarang di antara kami sudah tidak ada sekat lagi. Setelah aku duduk di motor dan selesai memakai helm, tiba-tiba tanganya ke belakang. Bisa dibayangkan nggak? Tanganya seolah mencari tanganku dan entah mengapa aku mencoba memberikan tanganku padanya, dan betapa kagetnya aku saat dia sudah mendapatkan kedua tanganku, dia pun menariknya perlahan, sehingga posisiku saat itu memeluknya dari belakang.
"Pegangan ya, masih pusingkan? senderan aja, nanti kalau pusingnya hilang baru angkat lagi kepalanya."
Oh My GOD! Pusingku seketika itu juga hilang entah kemana. Aku rasa pindah ke jantung, karena jantungku mendadak berdebar nggak karuan. Rasanya seperti mau loncat keluar tuh jantung. Aku nggak ngomong apa-apa, aku hanya bisa terdiam dan merasakan debaran jantungku yang begitu kencang, dan yang lebih membuatku semakin salah tingkah adalah tanganya sama sekali tidak melepaskan tanganku. Jadi dia memegang stang motor hanya dengan tangan sebelah kanan (agak sulit aku menggambarkannya, tapi aku rasa itu bisa dibayangkan), sementara itu tangan kirinya terus memegang kedua tanganku yang ku lipat. Kepalaku pun ku sandarkan di punggungnya. Hanya sesekali saja dia melepaskan tangan kirinya untuk memegang kopling. Setelahnya dia akan memegang tanganku lagi. Sampai hari ini terkadang aku masih sering terbayang akan adegan itu.
Saat itu aku bertanya-tanya dalam hati apakah debaran jantungku ini terasa di punggungnya? Astaga, sungguh ini adalah debaran yang tidak biasa. Yang sama sekali belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menetralkannya?
Aku hanya bisa terdiam sepanjang perjalanan, merasakan jantungku, dan menikmati aroma parfume nya yang sangat khas. Aku nggak tau itu parfume apa, yang jelas enak banget, wangi banget. Ku pejamkan mataku seolah aku tidak ingin melepaskannya lagi saat itu.
Sampai akhirnya kamipun tiba di Pantai Indrayanti.
Sesampainya di Pantai, kamipun masuk ke area parkir yang memang sudah tersedia disana. Dia pun melepaskan tanganku, dan membantuku turun dari motor. Lalu kami pun bersiap menuju ke pinggir Pantai.
MasyaAllah, indahnya pantai ini. Ternyata pasirnya putih, berbeda dengan pantai-pantai yang pernah ku datangi sebelumnya yang memang semuanya berpasir hitam. Pemandangan yang luar biasa menurut ku. Batu karang yang begitu kokoh mengelilingi pinggiran pantai. Sumpah ini indah banget.
"Ayo dek kesana, kita duduk disana, rada teduh tempatnya," ajaknya.
Kami pun berjalan kaki menuju tempat yang tadi dia tunjuk, di dekat batu karang besar yang dibawahnya terdapat semacam ruangan untuk beristirahat. Ruang yang terbentuk alami oleh alam.
"Capek ya?" tanya nya sambil melihatku.
Aku nggak suka dia menatapku begitu, aku selalu salah tingkah setengah gila karena tatapan itu.
"Lumayan, ternyata jauh ya, dan jalanya itu loh sangat nggak biasa, bikin pusing," jawabku sambil tersenyum.
"Lama-lama nanti terbiasa kok kalau sering ngelewatin," ucapnya sambil senyum.
Apa? Sering? Apa dia berencana membawaku ke sini lagi? Huwwaaaa Rania, kalem Ran, kalem, jangan ke GR an! Jangan terlihat terlalu girang begitu.
"Masih banyak pantai lain selain ini, pasirnya sama, putih, dikelilingi karang juga, hanya saja bentuk lokasinya agak berbeda-beda, ada Pantai Sepanjang, Watu Kodok, Baron, Ngobaran, Drini, pokoknya masih banyak lagi," jelasnya.
"Mas sering ke sini?" tanyaku.
"Sering, kadang sama temen-temen, kadang sendiri kalau lagi pengen refresh pikiran."
"Berarti sama mantan pernah kesini?" aku menggodanya.
"Mantan? Mantan yang mana?" tanyanya sambil tersenyum.
"Ya mantan pacar yang waktu itu Mas ceritainlah."
"Itu bukan pacar, dan bukan mantan juga, hanya hati yang pernah singgah dan sekarang menghilang," jawabnya. Lagi-lagi sambil tersenyum seolah meledekku.
"Iya deh, rasa yang pernah singgah, pernah diajak kesini?" tanyaku semakin penasran.
"Pernah beberapa kali," jawabnya.
Entah kenapa, sungguh aku tidak tau kenapa, seketika itu juga aku merasa nggak nyaman mendengar jawaban itu. Padahal aku yang nanya. Oh, jadi wanita itu sering diajak kesini? Lalu ngapain dia ngajak aku kesini, iiisssh.
Wait, Rania? Kamu cemburu?
Oh Raniaaa, ayolah. Siapa kamu pake acara cemburu hah? Tolonglah sadar diri sedikit wahai Rania Ainun Sofia.
"Mau camilan nggak dek? Ni aku bawa, kalau mau ambil aja," katanya sambil menyodorkan ranselnya.
"Iya mas, makasih, nanti aja," masih ada rasa tidak nyaman di hatiku karena jawabannya barusan.
"Mas nya memang suka sama pantai ya?" tanyaku.
"Aku suka alam. Aku suka pantai, puncak, gunung, sungai, air terjun, pokoknya aku suka keindahan alam."
"Pernah ke merapi berarti?" tanyaku iseng.
"Oh pernah, ke puncak nya malahan, sama temen-temen pendaki dulu. Tapi itu sudah lama. Oh ya kebetulan banget, ini masih ada fotonya," diambilnya dompet dari saku celananya.
Lalu dia memperlihatkan padaku foto saat dia sedang berada di puncak merapi. Ada beberapa orang disitu, dia dan teman-temannya.
Tapi mataku justru tertuju pada satu foto kecil terselip di ujung bagian foto itu. Pas foto, foto seorang wanita. Rambut sebahu, dengan latar berwarna biru.
"Ini siapa?" tanyaku sambil menunjuk foto itu.
"Oh, ini?" setelah mengucapkan itu dia langsung melihat wajahku.
"Iya itu," jawabku menekankan dan membalas tatapannya.
"Ini dia, rasa yang pernah singgah, yang pernah ku ajak kesini," jawabnya sambil mengembalikan dompet itu ke sakunya lagi.
Seketika itu juga akupun terdiam, sangat diam. Mataku jauh menatap ombak yang sedang menari.
Tuhan, aku menyesal menanyakan soal merapi itu. Aku menyesal karena dia menunjukkan foto di dompet itu, dan aku menyesal karena harus melihat foto perempuan itu yang ternyata masih disimpannya di dompetnya, intinya Tuhan, aku cemburu!
"Dek, kok bengong?" tanyanya membuyarkan lamunanku.
"Nggak apa-apa, cuma liat ombak aja," jawabku tanpa melihat ke arahnya.
Betapa terkejutnya aku ketika tiba-tiba wajahnya berada tepat di depan wajahku, dan dia pun tersenyum. Astagah, setiap senyum, mata itu hilang, maniiisss sekali.
Akhirnya aku pun ikut tersenyum karena sikapnya itu. Seolah senyum itu bisa mengobati apapun rasa tak nyaman yang terselip di hati ini.
"Dek, ke mushola yuk, tadi diatas sana aku liat ada mushola, kita dzuhur dulu, nanti kita kesini lagi," katanya sambil berdiri.
Hah? Gimana? lagi jalan-jalan begini pun dia inget sholat?
Ya ampun malu nya aku. Kebiasaan burukku, kalau lagi kemana-mana jarang banget inget sholat. Kecuali kalau lagi di kampus, di kos. Sholat yang paling pasti aku kerjakan itu cuma subuh, isya, maghrib. Semantara shokat dzuhur dan ashar, sering lalai nya. Ku akui itu. Apalagi kalau lagi jalan-jalan begini, hadeeeeh, mana pernah aku ingat sholat. Dasar aku!
Untung di mushola itu ada mukena, karena memang aku nggak pernah bawa mukena kemana-mana.
"Udah siap?" tanya nya.
"Hah? Udah," jawabku sedikit terkejut, sambil memakai mukena.
"Jadi makmumku ya," ucapnya sambil membetulkan posisi peci yang ternyata dia bawa di dalam ranselnya.
"Hah? Oh, oke," jawabku gagu.
Mulai Rania, jantungmu berdisco, padahal mau sholat fokus dulu, fokus!
Selesai sholat kami pun kembali ketempat dimana tadi sebelumnya kami mengobrol.
"Mas boleh nanya nggak?"
"Boleh, tanya aja," jawabnya.
"Masih belum bisa lupa ya?"
"Lupa? Lupa apa?" tanya sambil menatapku.
"Itu yang di foto," ku sisipkan sedikit senyum yang kupaksakan, biar nggak kelihatan cemburunya.
"Oh itu, belum sempat dikeluarkan dari dompet aja," jawabnya santai.
"Ngeluarin foto gitu doang emang butuh waktu berapa lama? Atau jangan-jangan memang masih berharap dia kembali?" ledekku.
"Berharap sih nggak, tapi kalau memang ada jodoh dan dia kembali, berarti nggak perlu dikeluarin kan fotonya," jawabnya sambil tersenyum dan menatapku.
Seketika itu aku bisa merasakan panas di pipiku. Iya, panas. Sepertinya memerah, dan sepertinya hatiku tidak suka dengan jawaban itu, padahal aku yang nanya.
Makanya Raniaaa, nggak usah mancing, sakit sendiri kan?!
Aku pun terdiam, lagi-lagi sangat diam. Aku nggak tau harus ngomong apa lagi. Aku bingung, aku cemburu banget.
"Nih dek, dimakan, pasti tadi juga belum sarapan kan? Ini juga udah siang banget, apa mau cari makan?" tanyanya sambil memberikan sebungkus roti.
"Nggak mas, nanti aja makannya, belum lapar. Ini aja dulu nggak papa," jawabku.
Akhirnya kamipun kembali melanjutkan obrolan santai itu, aku alihkan semua obrolan ke hal yang lain, tidak membahas sesuatu yang nantinya justru akan membuat ku kehilangan mood lagi.
Tanpa terasa setelah ngobrol ngalor ngidul, berjalan menyusuri pinggir pantai, bercanda, kami pun memutuskan untuk pulang. Karena jam sudah menunjukan pukul 15.00.
"Aku aja yang bayar parkirnya," kataku sambil membuka dompet.
"Makasih," katanya.
Beberapa saat kemudian motor itu pun melaju. Sepanjang jalan seperti biasa, kami hanya diam. Tapi seperti biasa juga, otakku, hatiku, seolah berbicara sendiri.
Ran, masih kerasa cemburu nya? Tolonglah Ran, kamu bukan siapa-siapa nya. Kalian itu hanya berteman, kenal juga baru. Ketemu baru dua kali. Ya walaupun ngobrol di HP sudah beberapa bulan. Tapi kan tetap saja kamu itu bukan siapa-siapanya. Inget ya Ran, ini semua kamu yang memulai. Mulai menghubunginya duluan, mulai nanya-nanya hal yang akhirnya jawabanya nyakitin hatimu sendiri. Makanya jangan terlalu GR, cuma karena tadi dia memintamu jadi makmumnya saat sholat, kamu jangan ngerasa sudah special di matanya, itu hal biasa. Namanya juga sholat bareng dan memang hanya ada kalian berdua di mushola itu. Inget kamu bukan siapa-siapanya. Jadi berhentilah berangan-angan terlalu jauh tentang hubungan ini.
Tiba-tiba motor itupun berhenti.
"Kenapa mas?" tanyaku.
Dia menunjuk sebuah mushola di seberang jalan.
"Asharan dulu ya dek, takutnya sampe rumah nanti nggak terkejar waktunya," ajaknya.
********
Selesai sholat kami pun kembali melanjutkan perjalanan, tadi pas sholat ashar lagi-lagi dia mengajakku berjamaah, tapi kali ini hatiku biasa saja, jantungku biasa saja. Aku mencoba untuk mentralkan rasa.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanan akhirnya kami pun tiba di kosku, dan aku tidak merasakan pusing, mual seperti saat berangkat tadi.
Saat aku turun, dia membuka helm dan maskernya.
"Dek, boleh lihat dompetnya?" tanya nya.
"Hah? Buat apa?" tanyaku heran.
"Coba sini, pengen liat sebentar aja," jawabnya.
Aku pun mengambil dompetku dan memberikannya kepadanya.
Lalu dia membuka dompet itu, mengambil fotoku yang memang aku pasang di sana. Foto itu saat aku lagi jalan-jalan ke Pantai Parangtritis bersama teman-temanku, kebetulan terlihat bagus, akhirnya ku cetak dan ku letakkan di dompet itu.
"Buat apa?" tanyaku masih terheran.
Tanpa ku sangka dia pun mengambil dompetnya dan memasang foto ku disana. Karena fotoku memang seukuran dompet, jadi semua foto nya yg ada di dompet itu tertutupi. Lalu dia mengambil foto si wanita yang tadi aku lihat di Pantai, kemudian diletakkannya di selipan dompet lain yang tidak terlihat,
dan dia pun tersenyum padaku.
Aku yang masih bengong dan heran melihat apa yang dia lakukan pun tidak sempat membalas senyum itu.
"Aku minta ya fotonya, mungkin bisa menjadi rasa yang baru, tadi aku liat foto itu pas di parkiran Pantai, aku pulang dulu," ucapnya dengan senyum yang tidak pernah bisa aku lupakan sampai hari ini.
"Oh iya mas, hati-hati," jawabku singkat.
Aku masih tertegun lama di depan pintu gerbang kosku, sambil melihat dia berlalu.
Raaann, fotomu ran! Ya Tuhan, raniaaaa! Dia minta fotomu dan meletakkanya di dompetnya? Tidak bisa lagi ku gambarkan betapa bahagianya perasaanku saat itu.
Dikamar kos aku melompat berkali-kali, ku dekap bantal gulingku sambil teriak kegirangan.
Selalu ada kejutan dari lelaki satu ini, aku tidak pernah sabar menunggu sikap dan kejutan nya yang lain. Apakah ada yang akan membuatku terkejut lagi setelah ini?
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Almira
aku ikut berbunga2,berdebar² dan juga merasakan cemburu seperti rania..jiwa mudaku meronta²..
2021-10-24
0
Arin Minty
kya lg baca diary...keren thor...👍
2021-06-13
1
Zuriyanti Sasmita
bener ingat pas pacaran diboncengin pake motor....dan pas juga kuliah di yogya.😃😃😃
2021-05-26
1