Saat itu aku hanya terdiam. Melihat matanya, hidungnya, semua wajah nya, yang dari tadi tersembunyi di balik masker itu. Seolah aku tidak mempercayai apa yang aku lihat saat itu. Memang bayanganku tidak terlalu melambung tinggi, aku sadar diri kalau aku pun biasa saja. Tapi wajah itu, masyaAllah manisnya.
Serius ini mas Farhan?
Oh raniaaa, bersiaplah setelah ini dia nggak bakalan menghubungi mu lagi. Farhan ini kebagusan buat kamu.
Hah? Gimana? Buat aku? Kok bisa mikir buat aku? Maksudnya apa? Ke PD an banget!
Ketemu baru hari ini, jangan-jangan kamu cuma diajak ngobrol lima belas menit dan setelah itu akan langsung diajaknya pulang ke kos. Fisik dia seganteng itu (menurutku saat itu), mancung, matanya cekung, alisnya tebal, rambut hitam dan sedikit panjang, type wajahnya mirip once. Iya, once.
"Dek, kenapa bengong? ayo ikut, kita cari tempat duduk," ucapnya mengejutkanku yang masih mematung karena terpesona dengan wajah itu.
Kami pun mencari tempat duduk. Di sana ada beberapa warung kecil seperti pondok-pondok yang terbuat dari kayu, dan semua rata-rata menjual makanan dan minuman yang sama, seperti jagung bakar, camilan, wedang ronde, dan masih banyak lagi.
Akhirnya kami pun mendapatkan tempat duduk di semen pinggir jalan. Semacam pembatas jalan, aku nggak tau deh apa namanya, pokoknya kalau kita duduk di situ kita bisa langsung menghadap ke arah kota Yogya, dan bisa langsung melihat pemandangan jutaan lampu yang membentang, seperti bintang. Tapi posisi bintang itu ada di bawah kita, karena posisi kita lah yang di atas bukit, itu kenapa dinamakan bukit bintang.
"Mau pesen apa? Wedang ronde mau? Atau mau makan sekalian?" tanya mas farhan padaku.
"Boleh mas, wedang ronde aja, aku belum lapar," jawabku sambil tersenyum.
Kulihat mas farhan berjalan ke arah salah satu warung untuk memesan wedang ronde.
Sambil menunggu mas farhan kembali, pikiranku mulai menari lagi, semakin kemana-mana.
Rania, apapun yang terjadi setelah pertemuan ini, ikhlas ya. Kamu tuh loh tembem, pendek, nggak cantik babar blas. Jadi kalau nanti ujug-ujug si farhan jadi males menghubungimu, kamu kudu strong. Ya, semoga saja farhan mau sekedar berteman, kan lumayan punya temen ganteng, wangi, dan sepertinya baik.
"Ini dek rondenya, monggo." Mas farhan pun datang dengan membawa dua mangkuk wedang ronde dan memberikan salah satunya padaku.
"Makasih mas," ucapku sambil mengambil ronde yang ada di tanganya.
"Pernah kesini sebelumnya?" Mas farhan membuka obrolan.
"Belum, soalnya jauh, nggak berani kalau pakai motor sendiri. Jalannya berliku dan tinggi," jawabku.
"Ya jangan sendiri, ajak temen atau pasangan buat malem mingguan," ucapnya sambil senyum dan melihat ke arahku.
Senyumnya itu masyaAllah, dari tadi baru kali ini aku melihat nya tersenyum, dan itu hanya dua detik saja, sangat kilat. Tapi senyum itu seolah bersarang di kepalaku dan aku tidak pernah melupakannya sampai detik ini.
"Aku ndak punya pasangan, kan aku udah pernah bilang di telpon, kalau aku punya pasangan nggak mungkin aku telponan, sms an sama kamu sampai jam dua malam bahkan sampai menjelang subuh," jawabku sambil mengaduk ronde dan menyembunyikan kegugupanku.
"Udah berapa kali kenalan sama orang lewat radio dan ketemuan begini?" tanyanya lagi.
"Baru kali ini, baru sama kamu."
"Masa' sih? Sama kalau gitu," jawabnya datar.
Entah kenapa saat mendengar ucapan itu jantungku rasanya seolah mau lompat keluar. Andai suara jantung ini bisa terdengar orang lain, pasti berisik sekali. Deg-degan nya ngalahin kalau mau pidato di depan umum, dan kali ini jauh lebih deg-degan lagi. Iya, saat itu aku memang lebay banget rasanya.
"Mas, kenapa kok bisa ikut ngirim biodata di program itu? Emang sengaja nyari kenalan atau iseng?" tanyaku penasaran. Karena memang selama tiga bulan ngobrol dengannya lewat hp aku belum pernah menanyakan hal itu, seingatku.
"Cari jodoh," jawabnya datar tanpa ekpresi. Sambil memakan ronde yang ada ditanganya dengan tatapan yang lurus ke depan.
Hah? Jodoh? aku nggak tau mau bilang apa. Rasanya kok mendadak seperti orang oon, bahkan mulutku yang sedang mengunyah ronde pun mendadak berhenti.
Beberapa detik kemudian dia pun menoleh ke arahku, karena memang kami duduk bersebelahan, dan sama-sama menghadap ke arah kota Yogya yang terbentang luas. Lagi-lagi dia tersenyum, senyum itu semakin membuat jantungku semerawut rasanya.
"Iya, jodoh, siapa tau aja dapet, ikhtiar bisa dengan cara apapun kan?" ucapnya sambil memandangku.
Raniaaa, jangan GR, jangan ke PD an, dia nyari jodoh dan belum tentu itu kamu. Ingat, kamu baru pertama kali ini ketemu dengan dia, dan yang barusan itu hanya omongan dia aja. Jadi kamu jangan GR, jangan salah tingkah, jangan merasa bahwa kamulah jodoh yang dicarinya. Sadar rania, sadar!
"Kok nyarinya di radio mas? Memangnya di sekitar mas nya ndak ada? Yang mungkin sudah dikenal?" tanyaku semakin penasaran dan mencoba sebiasa mungkin, untuk menutupi sikap salah tingkahku.
"Dulu pernah, pernah deket dengan seseorang. Nggak pacaran sih, cuma saling menjaga perasaan, saling perhatian, tapi mungkin belum jodoh. Akhirnya lost contact begitu saja, sudah setahun yang lalu," jelasnya.
"Kenapa nggak dipacarin? Kenapa nggak dilamar sekalian mungkin, biar nggak hilang," gurauku.
"Aku nggak begitu paham pacaran itu yang bagaimana, dan konsepnya seperti apa. Menurutku cukup dengan dia tau aku menyayanginya, perhatian denganya, mengkhawatirkannya, lalu kita saling menjaga hati, dan yakin dengan hati masing-masing, seharusnya itu sudah cukup untuk nenjelaskan bahwa hubungan itu special. Saat itu aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk melamarnya, tapi sayang dia pindah kerja keluar Yogya, dan sejak itu sama sekali nggak pernah kontek-kontekan lagi. Sepertinya dia ganti nomer, nomer lamanya sudah tidak bisa dihubungi lagi," jelasnya panjang lebar.
"Jadi nggak pernah ada yang nembak? Nggak pernah ada yang menyatakan cinta? Nggak berkomitmen satu sama lain?" cecarku.
"Nggak," jawabnya singkat.
"Bisa gitu ya, perempuan tuh kalau berada dalam suatu hubungan biasanya butuh kepastian mas. Jadi biar dia yakin, dan tau kalau laki-laki itu miliknya, dan dia milik laki-laki itu. Jadi hubunganya jelas, terlepas mau diikat dengan sebuah pernikaha itu kapan, yang penting hubunganya jelas dulu, ada statusnya," cerocosku memberikan pengertian padanya dari sudut pandang seorang perempuan.
"Adek juga gitu?" tanyanya.
Dueeeeerrr, selow ran, selow, jangan salah tingkah. Tahan rania, jangan ke GR an. Stop berangan-angan, ini baru pertemuan pertama oke. Dia hanya cerita, dan dia sekedar nanya. Please jaga sikapmu Rania. Aku mencoba meredam jantungku yang berdebarnya nya setingkat lebih cepat dari yang sebelumnya, ku tarik nafas panjang perlahan agar dia tidak melihat salah tingkahku yang akut ini.
"Aku?" tanyaku memastikan sembari menetralkan jantung.
"Iya, dek Rania juga begitu? Kalau punya hubungan special sama laki-laki harus punya status? Harus ada label pacaranya? Baru percaya kalau hubungan itu bukan biasa-biasa saja?" tanya nya semakin mendetail.
"Sejauh ini, yang pernah aku alami, iya. Aku sudah pernah punya seseorang yang special dua kali, meskipun saat ini semua sudah kandas, tapi saat menjalani nya dulu ya namanya pacaran. Ada yang menyatakan perasaan dan ada yang menerima, lalu berkomitmen untuk saling menjaga," jelasku.
"Tapi akhirnya kandas juga? Lantas apa bedanya sama yang nggak ber label pacaran?" tanya nya.
"Iya sih, mungkin juga sama. Tapi saat menjalaninya kan status itu penting. Karena kalau nggak ada status, rasanya nggak berhak untuk cemburu kalau dia dekat dengan orang lain, nggak berhak melarang kalau dia mau melakukan sesuatu padahal aku nya nggak suka dia melakukan itu, dan yang pasti nggak berhak berangan-angan untuk sebuah hubungan yang lebih serius lagi," jawabku memberi penjelasan padanya tentang apa itu pacaran menurut pendapatku.
"Kalau nanti ada yang perhatian, sayang, peduli, dan berencana melanjutkan ke hubungan yang lebih serius tapi tidak memberikan status, tidak menyatakan perasaan dengan ucapan, apa dek rania akan menolak semua yang diberikan?" tanyanya sambil melihat ke arahku, dan mata kamipun bertemu.
"Hah? Maksudnya? Kalau ada yang seperti mas nya? Dan mendekatiku begitu?" tanyaku sambil merubah sedikit posisi dudukku yang tadinya santai menjadi agak sedikit tegang.
Dia mengangguk, dan tersenyum sambil melihat mataku.
Entah bagaimana lagi aku harus mendekripsikan apa yang aku rasakan saat itu, tanganku mendadak berkeringat dan terasa begiru dingin. Jantung? Nggak usah ditanya. Malam ini untung saja aku nggak kena serangan jantung, karena dari tadi jantungku bekerja lebih keras dari biasanya sepertinya.
"Nggak tau mas, mungkin bisa saja aku menjalaninya, tapi entahlah," jawabku sekena nya. Karena aku tidak tau mau jawab apa lagi.
Jujur saja aku benar-benar salah tingkah saat itu, andai mulut ini nggak ada filternya, mungkin aku akan langsung nyerocos dan bilang mau. Kalau laki-lakinya kamu, aku mau bangeeeet ngejalaninnya. Sumpah aku mau, hahahaa. Haduh rania kaleeem, kalem.
Ternyata pertemuan itu bukan hanya lima belas menit seperti yang aku perkirakan. Tapi justru berlangsung selama tiga jam. Obrolan panjang lebar yang mengawali pertemuan itu membuat hatiku ini merasa sangat happy, walaupun aku merasa deg-degan berkali-kali. Tapi sungguh aku menikmatinya, dan mas farhan, jauh lebih menyenangkan dari pada yang ku bayangkan sebelumnya.
"Sudah jam setengah sebelas dek, ayo mas antar pulang ke kos, ndak enak sama anak kos lain nanti kalau kamu pulang kemalaman," ajaknya.
"Oke, aku bawa kunci sendiri kok mas, jadi nggak akan ganggu siapa-siapa," ujarku.
Akhirnya kamipun meninggalkan tempat itu, Bukit Bintang Wonosari. Saksi bisu pertemuan kami pertama kali, dan semua adegan yang terjadi di sana tidak akan pernah bisa aku lupakan.
Sepanjang perjalanan pulang sama seperti tadi, tidak ada obrolan apapun di atas motor. Karena dia mengendarai motornya dengan cepat. Selama perjalanan itu aku terus terbayang dengan semua hal yang terjadi sebelumnya. Wajah nya, suaranya, ucapan-ucapan nya, senyumnya terutama, semua membuatku senyum-senyum sendiri sepanjang jalan.
Beberapa saat kemudian akhirnya motor itupun berhenti di depan kos ku.
"Sampe dek," katanya, sambil kembali menyodorkan tangan kirinya supaya bisa kujadikan pegangan untuk turun dari motor itu.
"Terimakasih ya mas, sudah diajak ke Bukit Bintang, dianter pulang, di jajanin ronde," ucapku sambil tersenyum.
"Sama-sama dek, ngomong-ngomong tempat mana lagi yang belum pernah dek Rania datangi selama di Yogya, selain bukit bintang? Pantai indrayanti sudah pernah belum?" tanya nya sambil memperbaiki sarung tangan yang tadi dia lepasnya saat mau membantuku turun dari motor.
"Hah? (Entah sudah berapa 'hah' yang ku ucapkan malam ini) belum pernah mas, aku tau nya cuma Pantai Depok, Parangtritis, Samas, baru itu aja. Itu juga diajak temen-temen kos," jawabku sambil menyembunyikan jantungku yang lagi-lagi berdetak lebih dari biasanya. Aku berusaha terlihat sebiasa mungkin.
"Yaudah, minggu depan Mas jemput ya, jam sepuluh siang. Kita ke Pantai Indrayanti."
"Oh, oke mas. Makasih sebelumnya." jawabku cepat sambil tersenyum. Tanpa keraguan dan tanpa penolakkan.
Rasanya aku ingin segera masuk ke kamar dan melompat-lompat setinggi yang aku bisa.
Motor mas farhan pun berlalu, sampai motor itu tidak terlihat lagi baru aku masuk ke dalam kos.
Entah bagaimana caranya aku menggambarkan perasaanku saat itu. Ada rasa yang tidak biasa, yang membuat ku melompat-lompat dan berlari di tempat saat sudah berada di kamarku. Pipiku terasa pegal karena senyum-senyum terus dari tadi. Lebay? Iya kali ya, waktu itu aku lebay. Tapi gimana dong, yang aku rasain ini belum pernah aku rasain sebelumnya dan yang tadi nya ku pikir dia nggak bakalan menghubungiku lagi setelah tau wujudku begini, tapi justru mengajakku jalan- jalan sekali lagi, dan itu ke sebuah pantai.
Malam itu aku tidak bisa tidur, semua kejadian di bukit bintang tadi berputar terus menerus di kepalaku.
Ini pertama kalinya aku merasa ingin hari minggu itu segera tiba, karena biasanya aku benci hari sabtu dan minggu. Sebab biasanya aku pasti akan sendirian di kos. Ya, biasanya teman-teman satu kos pulang kerumah masing-masing melepas rindu dengan keluarga, karena rumah mereka masih di sekitaran Yogya-Jateng. Sementara aku stay di kos karena kampungku jauh di Sumatera sana, dan aku pulang hanya saat lebaran saja.
Wahai hari minggu, segerlah datang kepadaku.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Rahwaningsih
karena KBM
2022-06-16
0
Herlina Maharani
lanjut,, sy suka
2021-02-22
1
Ari Martiana
pertama kali ketemuan 3 jam ngobrol walaupun cuma sekedar ngobrol rasanya......
2021-02-16
2