Terpixe, Ibukota Kerajaan Axancec, East Zone, 3 Maret 1320.
Ledakan besar yang berulang-ulang terdengar olehnya, hal itu membuatnya berusaha mencari asal suara itu dengan mengalihkan wajahnya.
Namun, dari pada suara ledakan yang terdengar berulang-ulang kali ini disertai dengan teriakan semangat dari luar singgasana raja, dirinya lebih memilih melihat ke arah seorang mahluk di depannya.
Mahluk yang beberapa saat sebelumnya membuat jiwanya teguh untuk rela mengorbankan nyawanya demi mahluk itu, namun sekarang berganti dengan kejijikan dan menurutnya kebencian.
Mahluk di depannya itu berteriak memanggil bawahannya yang berada jauh di belakangnya yang sedang berlutut dengan kepala yang tertunduk.
Sambil melirik ke arah bawahannya, dari dalam hatinya dia menyesali dengan penuh kenapa dirinya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan dengan bawahannya.
"Apa yang kalian tunggu!? Apa kalian mau membiarkanku mati, prajurit rendahan!?"
Mahluk itu berteriak sekali lagi dengan penuh amarah dan ketakutakan, bagi dirinya, mahluk itu seperti seekor monster yang dulu pernah diburu dan dibunuh olehnya.
Ya, mahluk itu adalah sang Raja yang sebelumnya dia layani.
Memang sang Raja bagi matanya hanyalah seorang manusia.
Tapi, dari pikiran dan hatinya, sekarang dia sadar bahwa sang Raja itu adalah mahluk yang lebih rendah dari seekor monster yang pernah dibunuhnya, bahkan masih akan melindungi anaknya ketika dirinya mencoba membunuh anak monster itu.
Tapi, sang Raja, sang mahluk rendahan ini, sudah membongkar kedoknya dan hanya mementingkan keselamatannya sendiri.
"Apa kalian dengar perintahku!?"
Kalimat itu langsung membuat sang prajurit bangkit berdiri, setelah memakai helm armor yang tergeletak di lantai, dirinya langsung mendekat ke sang Raja, bukan tapi sang Mahluk rendahan.
"Prajurit, lindungi Yang Mulia..."
Perintah itu mengalir begitu saja dengan tegas dan membuat bawahannya mendekat ke singgasana sang Mahluk rendahan.
Sang prajurit menggelengkan kepalanya dan berusaha memindahkan fokus pikirannya, dirinya berusaha mengira-ngira darimana asalnya suara ledakan berulang-ulang yang membuat sang Mahluk rendahan di belakang dirinya semakin menjadi ketakutan.
Kota kah?
Tapi, tidak mungkin, karena suaranya terdengar sangat keras dan dekat.
Suara teriakan prajurit kerajaan lain yang berada di seluruh istana juga semakin terdengar jelas, hingga membuatnya yakin bahwa istana telah tertembus oleh pasukan musuh.
Pasukan musuh memang mengepung dari luar gerbang menuju istana, tapi tetap saja masih terlalu cepat kalau memang gerbang menuju istana sudah tertembus dan pasukan musuh berhasil masuk ke dalam istana.
Duar!
Sebuah ledakan terjadi lagi dan kali ini benar-benar dekat hingga membuatnya dan bawahannya langsung dengan cepat mengelilingi sang Mahluk rendahan.
Brak! Duum!
Sekali lagi suara besar terdengar dan itu berasal dari pintu megah yang tepat berada di arah kanan singgasana.
Sang prajurit sempat berpikir, kalau saja sang Mahluk Rendahan ini mendengarnya maka meraka tidak mungkin berada dalam keadaan seperti seekor buruan yang terperangkap dalam jebakan dan menunggu sang pemburu datang.
Tap! Tap! Tap!
"Huuuoooo-!"
Sebuah teriakan berasal dari seorang bawahannya yang berada dikirinya, bawahannya itu berlari ke arah pintu mewah yang roboh.
Dalam pikirannya, bawahannya itu terlalu ceroboh maju seperti itu tanpa tahu apa yang ada di depannya.
Bzzzttt! Duar!
Tubuh bawahannya yang berlari tersebut seketika terlempar dengan keras dan menghantam dinding bersamaan dengan sebuah kilat petir yang menghilang.
Sang prajurit melihat bawahannya, namun dapat dipastikan dengan jelas bawahannya itu seketika langsung mati dengan serangan itu, serangan yang begitu kuat sehingga armor bawahannya berlubang besar.
Mata sang prajurit dengan cepat langsung melihat lagi ke arah asal serangan yang menurutnya sangat menakjubkan itu.
"K-Kau! K-kau! Ternyata ka-kau yang-.... Kau yang melakukan pemberontakan ini!"
Teriakan penuh amarah sang Mahluk rendahan membuat sang prajurit akhirnya mengenal sosok yang berjalan dengan penuh keanggunan dari pintu yang telah rubuh itu.
"Aku sudah merawatmu! Aku sudah memberi tempat! Aku sudah memberimu kekuatan! Aku sudah memberi semuanya padamu!"
"Apa yang kau lakukan Jenderal Averiel! Sialan! Apa yang kau lakukan di kerajaanku!"
Sang Mahluk rendahan yang berteriak dengan kemarahan dan ketidakpercayaannya bagi sang prajurit seperti hal yang lucu baginya, meskipun dirinya juga sama tidak percayanya dengan sosok yang ada di depannya.
"Ya, kau sudah memberiku semuanya, termasuk lengan ini, dan tangan ini"
Sosok itu mengangkat tangan kirinya dan kemudian tangan kanannya yang memegang sebuah pedang rapier dengan ganggang putihnya.
Sosok itu tersenyum tipis, senyum yang menurut sang prajurit tulus namun senyum dari sosok itu berganti dengan tatapan dan raut wajah yang menunjukkan kesedihan dari balik mata hitam pekatnya seolah senyum tulus tadi hanya bayangan dalam kepala sang prajurit.
"Tapi, apa yang kauberikan ini tidak sebanding dengan yang kau ambil dari kami,"
Sang prajurit sedikit terkaget, tapi dia tahu dari sikap sang Mahluk rendahan yang ada dibelakangnya, yang lebih memilih mengorbankan nyawa orang lain untuk dirinya sendiri, sang prajurit tahu bahwa hal itu pasti sudah berkali-kali dilakukan oleh Mahluk rendahan itu.
Sang prajurit menoleh ke arah sang Mahluk rendahan yang menunjukkan raut wajah terkejut, marah dan takut.
Dan entah kenapa, perasaan jijik kemudian muncul semakin besar dari dalam diri sang prajurit yang membuatnya menurukan pedangnya yang mengarah ke sosok wanita, yang disebut Jenderal Averiel.
Sang prajurit memang mengetahui sang Jenderal Averiel, bahkan seluruh prajurit kerajaan tahu siapa dia.
Baginya dan pasukan yang lain, Jenderal Averiel, Averiel Liendzent adalah salah satu Jenderal terbaik di kerajaan itu selain dengan Jenderal Smeilterd.
"Apa yang kau lakukan bodoh!? Apa yang kau lakukan prajurit rendahan!? Bunuh dia!"
Perintah sang Mahluk rendahan itu sambil menendang sang prajurit dan beberapa bawahannya,, dan tidak cukup sampai disitu, bahkan sang Mahluk rendahan merebut paksa sebuah pedang dari tangan bawahannya.
"Maju sialan! Maju! Bunuh wanita ****** itu!"
Sang Mahluk rendahan dimata sang prajurit seperti orang gila, tidak, bahkan lebih buruk dari itu.
Sekarang sang Mahluk rendahan itu mengayun-ngayunkan pedangnya di udara yang bahkan membuat dua bawahannya terkena sayatan dari sang Mahluk rendahan itu.
"Menyedihkan... Bahkan pengawalmu tidak berniat melindungimu,"
Sang Jenderal Averiel, dengan tenang melangkah ke arah sang prajurit.
Sang prajurit terpaku diam melihat Averiel, bukan karena ketakutan akan ketenangan Averiel saat melangkah ke arahnya, namun entah perasaan yang aneh muncul begitu saja.
Sang prajurit tidak tahu dengan pasti namun sebuah teriakan yang begiru keras diiukuti dengan erangan kesakitan dan teriakan lainnya membuatnya tersadar.
"Si-sialan.! A-apa yang..."
"Uaaaaa!!!"
Sebuat teriakan dari arah belakang sang prajurit kembali terdengar bersamaan dengan suara jatuhnya sebuah tubuh yang begitu keras ke lantai.
Sang prajurit menelan ludahnya, dia hanya memikirkan satu hal tentang kejadian yang begitu cepat terjadi.
"Hahahahaha...Hahahahaa... Hahahaha... Argghhhh... Hahahaha!"
Tanpa sadar sang prajurit tertawa dengan keras, tawa yang penuh kebahagiaan yang meluap-luap dalam dirinya membuatnya terus tertawa dan tertawa layaknya kegilaan kali ini mendatanginya setelah melihat sang Mahluk rendahan.
Ya, Sang Mahluk rendahan itu, sang Mahluk rendahan yang baginya lebih rendah dari monster buruan, sekarang tersungkur di kaki singgasana dengan badan yang ditusuk berulang kali oleh para bawahannya yang berteriak sama sepertinya.
"Menyedihkan..."
Kata-kata itu terdengar dengan lirih dan mengandung rasa belas kasihan, diikuti dengan berlututnya sang prajurit sambil memegang lehernya.
"Arg...Arg...Arg..."
Sang prajurit berusaha mengucapkan sebuah kata seperti 'Apa yang terjadi?', tapi dia menyadari dirinya tidak bisa mengeluarkan suaranya.
Kemudian sang prajurit melihat kedua tangannya.
Darah?
Bzzzt! Bzzzt! Bzzzt!
Terdengar suara seperti lebah yang menyengat samar-samar didengarnya bersamaan dengan tubuh para bawahannya yang berjatuhan.
Bahkan tubuh sang prajurit juga langsung tersungkur di lantai.
Sekilas dengan pandangan yang mulai menutup dia melihat Averiel menyarungkan pedang rapier putihnya dan melihat ke arah sang prajurit.
Sambil menunggu kematian merenggut nyawanya, dalam hatinya dia hanya bisa bergumam,
"Ah, ya, ini hukuman bagiku..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments