Terpixe, Ibukota Kerajaan Axancec, East Zone, 3 Maret 1320.
Teriakkan menggema di seluruh kota. Berulang kali bersahut-sahutan dari seluruh penjuru Terpixe.
Terpixe, sebuah ibukota kerajaan yang seharusnya damai dari keributan, namun sekarang bayangan kedamaian itu seperti hanya mimpi.
Teriakan demi teriakan yang menjadi-jadi dapat dirasakan oleh seluruh individu dalam kota itu. Teriakan kesedihan, kemarahan, kepanikan, dan seluruh hal yang menggambarkan betapa mencekamnya suasana kota itu sangat terasa dari setiap individu yang berlarian tanpa arah di jalanan-jalanan berbatuan.
Meskipun jelas yang mereka inginkan hanyalah keselamatan bagi jiwa mereka masing-masing.
"Tu-tuan pengawal... To-tolong selamatkan aku!"
Di bagian timur Terpixe yang hampir seluruh bangunannya hancur dan rata dengan tanah, seorang pria tua berusaha mengulurkan tangannya dari balik reruntuhan yang menimpanya.
Mata pria tua itu menunjukkan tatapan yang penuh harapan pada seorang prajurit kerajaan Axancec berpakaian armor lengkap berwarna perak yang melintasi dirinya.
Prajurit itu dengan segera berusaha menyingkirkan puing besar yang menimpa pria tua itu.
"Te-terima kasih... terima kasih... terima kasih..." ucap pria tua itu berulang kali setelah merasa bayangan kematian yang hampir menghampirinya telah menghilang.
Namun, ketika harapan itu akan terwujud, kematian seolah ingin bermain-main dengan pikiran pria tua itu.
Pria tua itu hanya bisa terdiam dengan wajah tidak percaya ketika melihat prajurit kerajaan Axancec yang berusaha menolongnya dan menyelamatkan nyawanya, sekarang telah tersungkur jatuh tepat di depannya.
Masih dalam kebingungannya, pria itu melihat ke kiri dan kanan.
Tangannya bergetar berusaha meraih tubuh prajurit yang telah ditinggalkan oleh jiwanya.
Perasaan takut akan kematian kembali merasukinya bersamaan dengan teriakan dan tangisan yang begitu keras dari mulutnya keluar begitu saja ketika menyadari prajurit yang tersungkur di depannya tidak bergerak sama sekali.
Pria tua itu menyadari sebuah luka besar yang menembus punggung armor prajurit itu.
Kengerian, rasa takut akan kematian menghampirinya dan merusak jiwanya.
Tap! Tap! Tap!
Entah kenapa, tapi pria itu bisa mendengar suara langkah kaki yang berat mendekatinya meskipun disekitarnya ada banyak teriakan dan tangisan yang sama dengan yang dikeluarkannya.
"Wakil Menteri Pertahanan, percuma saja,"
Suara itu membuat pria tua itu mengatup bibirnya dengan kuat ketika mendengar suara yang berat dan penuh ancaman bersamaan dengan langkah kaki yang terhenti.
"Kkkhhh-"
Pria tua yang masih terjebak di reruntuhan bangunan itu tidak bisa mengatakan sepatah katapun ketika melihat sesosok pria yang setua dirinya melihatnya dengan pandangan kosong.
Otaknya seakaan membeku namun kepalanya malah serasa akan meledak, perasaan aneh memang dirasakannya yang sudah putus asa.
"K-kau... Te-Tensen!"
Teriakan pria tua itu terdengar seperti teriakan putus asa bercampur dengan amarah
Penyebabnya adalah sosok pria tua berambut putih panjang di depannya itu.
Pandangan pria tua bernama Tensen itu berubah, yang semulanya kosong, menjadi pandangan tanpa belas ampun.
Pandangan yang menyimpan kejijikan, dan amarah.
Tensen, sang pria tua berambut putih panjang, berjalan menjauhi pria tua yang berada direruntuhan.
"Ka-kalau itu kau, Tensen... Berarti, penyerangan ini adalah ulah ka-..."
Pria itu tidak bisa melanjutkan perkataannya karena darah segar keluar bersamaan dengan batuk berkali-kali yang dialaminya.
Pria tua itu tahu bahwa dirinya sekarang sudah tidak bisa terselamatkan, seperti istri, anaknya, dan juga pelayannya yang sudah tidak bersuara dari dalam reruntuhan yang sama dengannya.
Dirinya akan mati menyusul orang-orang terdekatnya itu.
Grkkk! Grkkk!
Sambil terbatuk-batuk, dirinya mencari asal suara itu lagi.
"Ten-Tensen!... Tidak!... Tidak!... Tidak!...Ti----"
Duum!
Teriakan putus asa pria tua itu langsung hilang begitu saja bersamaan dengan dentuman yang sangat keras.
Keheningan terjadi kembali, begitu lama, seolah kematian sedang bermain-main mencari sekali lagi mangsa untuk dibawanya pergi meninggalkan dunia.
Lalu, sebuah teriakan putus asa bergema dengan keras, disambut dengan tangisan ratapan bersahut-sahutan terdengar disekitar Tensen.
"Ampuni kami!"
"Tolong! Ampuni kami!"
"Siapa saja tolong kami!"
Duk!
Tensen menjatuhkan seonggok puing bangunan yang ada ditangannya.
Seonggok puing bangunan tersebut berasal dari bongkahan puing besar yang beberapa saat sebelumnya dilemparnya ke arah reruntuhan yang menimpa pria tua yang sudah dibunuhnya, sang Wakil Menteri Pertahanan.
Teriakannya yang lantang dan tegas menggelegar bagaikan petir ditengang teriakan dan tangisan yang ada disekitarnya.
Teriakan yang sanggup membuat prajutir kerajaan Axencec yang berusaha membantu para penduduk lolos dari reruntuhan langsung goyah dan bergetar ketakutan.
Bahkan, prajurit kerajaan yang bertarung dengan pasukan lain yang mengenakan seragam militer putih tanpa armor, terdiam merasakan ketakutan.
"Kalian semua para penduduk kerajaan biadab ini! Dan prajurit yang sama busuknya dengan kerajaan ini! Rasakanlah hukuman dan kematian!"
Tensen membuat seluruh individu yang bisa mendengarnya hanya bisa menggigit gigi mereka sendiri dengan penuh putus asa.
"Kematian kalian tidak ada bedanya dengan yang kalian lakukan pada kami..." ucap Tensen dengan lirih.
Terkandung kesedihan dan penyesalan di dalamnya bersamaan dengan tatapannya yang menjadi semakin tegas.
"Exfrancion... Jangan lepaskan satu pun nyawa dari tempat ini!"
Perintah tegas itu, disambut dengan teriakan semangat para pasukan berseragam putih tanpa armor yang ada disekitarnya.
Dan, sekali lagi, bahkan berkali-kali lagi, teriakan dan tangisan keputusasaan terdengar.
--
Istana Raja, Terpixe, Ibukota Kerajaan Axancec, East Zone, 3 Maret 1320.
Raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan kepanikan dan kekhawatirannya saat melihat dan mendengar dari ibukota kerajaannya sahutan dan teriakan keputusasaan menyebar.
Teriakan itu seperti menusuk-nusuk telinganya, tapi meskipun dirinya mencoba menutup telinganya, teriakan itu tetap akan terdengar.
Sang Raja Axancec menyerah menutup kedua telinganya.
Dia hanya bisa memegang dengan kuat ujung balkon tempatnya yang melihat keadaan ibukota kerajaannya diserang oleh pasukan yang disebut Exfrancion.
"Yang Mulia... Anda harusnya berlindung, kita tidak tahu berapa lama lagi istana ini akan ditembus oleh-"
Belum sempat seorang prajurit dengan armor lengkap yang berdiri dibelakang sang Raja bersama dengan sekitar 10 prajurit lainnya melanjutkan perkataannya, sang Raja berjalan ke arahnya dengan langkah terburu-buru dan penuh kegelisahan yang terpancar di wajah sang Raja.
Sang Raja menunjuk-nunjuk wajah prajurit yang tertutup oleh helm armor yang digunakannya.
"Aku tidak perduli dengan penduduk yang ada di sana!" ucap sang Raja dengan penuh angkuh dan gelisah yang terpancar di wajahnya.
"Aku Raja! Nyawaku lebih berharga dibandingkan kalian semua!"
Sang Raja menunjukkan kesombongannya dengan menunjuk dirinya sendiri.
Meskipun wajah prajurit yang ada disekitarnya tertutup oleh armor helm, tapi dibaliknya mereka memandang sang Raja dengan penuh ketidakpercayaan dan amarah.
"Kalian saja bahkan tidak bisa membuatku pergi dari tempat ini! Dan sekarang kau mau menyuruhku berlindung pada kalian yang tidak bisa mengahabisi para pemberontak sialan itu?"
Sang Raja mendorong dada sang prajurit berkali-kali dengan penuh amarah dan keputus asaan sehingga membuat prajurit itu langsung berlutut dihadapan sang raja yang diikuti prajurit lainnya.
"Ma-maafkan kami, Yang Mulia, karena... ketidakmampuan kami... Kami-"
Jelas prajurit itu dengan tergagap-gagap, bukan karena rasa hormat dan setianya pada sang Raja.
Hormat dan setianya beberapa detik yang lalu sudah mulai pudar mengetahui sang Raja hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak pada penduduk kerajaannya, bahkan para prajurit kerajaan yang mengorbankan nyawan mereka untuk penduduk kerajaan.
"Menyingkir kalian! Kalian tidak berguna sama sekali!"
"Si-siap, Yang Mulia..."
Sang Raja berjalan dengan penuh gelisah ke singgasananya yang megah, dia langsung duduk sambil memegang kepalanya, kedua tanyannya bergetar dengan hebat menunjukkan keadaan mental dan jiwanya yang sudah hancur.
Sementara pasukan yang bersamanya masih berlutut jauh di depannya dengan masing-masing kepala yang tertunduk dan menyembunyikan kekesalan mereka pada sang Raja dari balik helm armor mereka.
"Di saat seperti ini, dimana Jenderal sialan itu! Bantuan, dari Guardian Earth sialan bahkan belum tiba!"
Klang!
Sang Raja mengumpat sambil melemparkan wadah emas yang beberapa saat sebelumnya di raih dari sebuah meja mewah kecil di samping singgasananya.
Wajah sang Raja tidak bisa menyembunyikan kemarahan juga kegelisahannya.
Alasannya, Jenderal terkuat kerajaannya saat ini, Jenderal Smeilterd, tidak berada di ibukota kerajaan Axenxec dan menurutnya hal itu membuat prajurit kerajaan ini tidak bisa mengatasi serangan yang terjadi.
Bahkan seperti yang dikeluhkannya, dirinya, seorang Raja, tidak bisa keluar dari istana yang juga sedang dikepung dan berusaha diterobos oleh pasukan musuh yang disebut Exfrancion.
Sang Raja memanglah hanya memikirkan dirinya sendiri.
Dia memikirkan bahwa seharusnya dirinya bertukar tempat dengan istrinya, sang Ratu, dan kedua anaknya, para Putri Mahkota, yang sekarang aman bersama di suatu kerajaan sekutunya yang jauh dari kerajaan Axancec.
"Kau dengar aku, prajurit rendahan? Dimana pasukan Guardian Earth itu?"
Pemimpin prajurit pengawal yang ada di ruang singgasana itu langsung berdiri dari posisi berlututnya dan dengan langkah lari yang berat karena armor dan senjata mendekat ke hadapan sang Raja, lalu berlutut sambil menundukkan kepalanya.
"Ka-kami sudah mengirimkan sinyal darurat pada mereka beberapa jam yang lalu, tetapi tidak ada respon dan-"
Duak! Brukk!
Tubuh prajurit itu terbaring di lantai bersamaan dengan helm armornya yang terlepas dan membuat suara di lantai.
Prajurit itu melihat sang Raja ada di depannya dengan ekspresi terkejut, namun dirinya langsung bangkit dan kembali berlutut dihadapan sang Raja.
"Ma-maafkan kami, Yang Mulia..."
Duak!
Sang prajurit kali ini tetap berlutut dihadapan sang Raja meskipun sepatu kulit sang Raja berada di wajahnya dan berkali-kali sang raja menendang wajahnya dengan kuat.
Sang prajurit cukup kuat dan tidak gentar hingga akhirnya sang Raja dengan kesal berhenti menendang wajahnya dan kembali duduk di singgasananya.
"Prajurit rendahan sialan! Ketika keadaan ini reda, kau yang pertama akan kuhukum!"
Sang prajurit hanya tetap berada dalam posisi berlutut sambil tertunduk, wajahnya terluka dan darah menetes dari hidungnya yang patah dan menciptakan kubangan kecil darah di lantai.
Buum! Duar! Duar! Duar!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments