Sesuai dugaan Hanindita, malam ini Megan melancarkan aksinya. Apalagi kalau bukan memfitnah dirinya dihadapan ayahnya sehingga lagi-lagi ia mendapatkan kekerasan fisik dan verbal. Sudah tak terhitung lagi banyaknya rasa sakit yang diberikan orang-orang yang disebutnya keluarga itu.
Pernah terpikir di benaknya untuk kabur dari rumah ini. Rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, tapi mungkinkah? Rumah ini ... rumah ini satu-satunya kenangan dari sang ibu. Peninggalan ibunya. Tak rela rasanya bila harus mengikhlaskan rumah ini pada orang-orang yang tak ada hubungan dengan ibunya itu. Selain itu, ia tak memiliki uang sama sekali. Ia pun tidak mengenal dunia luar. Ia tidak tau caranya keluar dari desanya itu. Ia bagai burung dalam sangkar. Bahkan burung pun di masukkan ke dalam kandang lalu diberi makan tanpa mengalami kekerasan dan tanpa perlu kerja keras, tapi dirinya ... Hanindita merasa ia bagaikan seorang budak. Harus tunduk dan melakukan segala perintah sang majikan. Jadi, bagaimana ia bisa kabur dan harus ke mana? Bisa-bisa ia berakhir menjadi gelandangan atau bisa juga diculik kemudian dijual atau mati diperkosa. Dilema. Itulah yang Hanindita kini rasakan.
Hingga sekarang, Hanindita penasaran mengapa sang ayah begitu membenci dirinya. Pun ibunya. Bahkan, ia pernah memergoki sang nenek yang menangis menatap foto ibunya. Ia meminta maaf dan merasa sangat menyesal menjodohkan ayahnya dan ibunya. Mungkinkah ayahnya membenci dirinya dan ibunya akibat perjodohan itu? Mungkinkah saat itu sebenarnya ayahnya telah memiliki orang yang ia cintai? Entahlah. Semuanya masih abu-abu. Namun, hatinya berjanji, suatu hari nanti pasti akan mengungkapkan semuanya.
"Dasar, ja*lang tak tahu diri! Berani-beraninya kau menggoda kekasih saudaramu sendiri!" geram Lidya seraya menarik lengan Hanindita ke kamar mandi lalu menekan wajahnya ke dalam wastafel yang telah ia isi air hingga penuh.
"Sudah aku katakan aku tidak menggodanya." tegas Hanindita dengan mata bergetar dan nafas memburu karena hampir kehabisan oksigen.
"Sudah salah masih berkilah, hah?" bentak Lidya
"Benar Bu, dasar pembohong. Karena ulahmu, Alan jadi memutuskan diriku. Pasti dia memutuskanku karena kau sudah menggodanya, bukan! Kau yang menyuruhnya memutuskan hubungan kami kan!" Megan tetap berupaya memprovokasi Lidya.
Lidya yang emosi lalu mencengkram rambut bagian belakang Hanindita tanpa rasa kasihan. Entah terbuat dari apa hati kedua orang itu. Dengan tega-teganya mereka menyiksa Hanindita tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Tapi begitulah sifat mereka, tak penting benar ataupun salah, bila itu berurusan dengan Hanindita, maka semuanya salah.
"Ada apa ini?" tanya Handoko dengan suara menggelegar. Sorot matanya begitu kejam dan mengintimidasi membuat Megan segera berlari memeluk ayahnya dengan menangis tersedu-sedu.
"Yah, Dita, Yah, Dita, dia ... dia menggoda pacarku. Padahal aku sudah lama menyukainya dan baru beberapa hari yang lalu kami bisa jadian. Tapi ... tapi ... tadi waktu Megan ngajakin Alan mampir ke sini, Dita malah menggoda Alan dan menyuruh Alan memutuskanku." lirihnya membuat rahang Handoko mengeras.
"Kau ... kau memang sama seperti ibumu. Sama-sama ja*lang. Rasakan ini!" seru Handoko dengan nafas memburu.
Lalu dengan sekali sentak, ia melepaskan sabuk dari pinggangnya dan mencambuk punggung Hanindita berkali-kali sampai terlihat darah merembes di bajunya. Dapat dipastikan itu adalah luka bekas setrika panas siang tadi. Luka yang belum kering itu kini justru makin parah. Hanindita menjerit kesakitan tapi Lidya dan Megan hanya menyeringai puas.
Hanindita menjerit tertahan sambil mengepalkan tangannya. Ia bersumpah, mereka akan menyesali semua ketidakadilan ini.
Setelah melihat Hanindita tersungkur, barulah Handoko menghentikan cambukannya. Dilihatnya darah yang merembes begitu banyak bagaikan kulitnya dicambuk dengan sebilah pisau. Ia sudah kerap kali mencambuk Hanindita dengan ikat pinggangnya, tapi tak pernah sampai separah itu. Handoko sampai tercenung sendiri menatapnya.
Diantara lemah tubuhnya, Hanindita tetap berusaha bangkit dari lantai. Lalu ia menatap nyalang Lidya dan Megan yang terlihat acuh. Kemudian tatapannya beralih ke Handoko.
"Sudah puas? Apa Anda sudah puas tuan Handoko yang terhormat?" desisnya dengan suara yang begitu lirih dan lemah. "Tak pernah kah kau mencari tahu dahulu kebenarannya sebelum melakukan sesuatu? Jadi seperti inilah tuan Handoko yang dihormati warga sini? Semoga Anda tidak menyesali segala perlakuan kalian yang begitu kejam ini." ucapnya dengan sorot mata tajam penuh kebencian dan kekecewaan.
Kemudian, dengan tertatih Hanindita meninggalkan ketiga orang itu yang memandangnya dengan perasaan campur aduk.
...***...
"Ryl, weekend entar loe sibuk nggak?" tanya Vano yang kini sedang bersantai ria di sebuah cafe milik Vino.
Berryl tampak berpikir, lalu Vino menghampirinya dengan membawa 3 cangkir kopi racikannya.
"Udah, nggak banyak mikir! Ikut kita yuk! Refreshing di desa, suntuk menghirup udara kota yang nggak pernah jauh dari polusi." ujarnya sambil menyodorkan kopi buatannya.
"Ke desa? Emang loe punya rumah di desa?" tanya Berryl yang terkejut mendengar sahabatnya mengajak liburan ke desa sebab setahunya teman-temannya itu tidak memiliki rumah ataupun keluarga yang tinggal di desa.
Vino terkekeh, "Bukan rumah, tapi vila. Bukan punya kami sih, itu punya ... gebetan baru gue. Doi ngajakin ke sana jadi loe mau ikut nggak? Itung-itung cuci mata siapa tau loe bisa dapat gebetan di sana." ujar Vino sambil mendudukkan bokongnya di sofa yang memang diperuntukkan untuk dirinya dan para sahabatnya.
"Iya Ryl, bener kata Vino tuh." bujuk Vano seraya melempar kulit kacang ke arah Berryl.
"Ck ... ogah kalo gue jadi obat nyamuk." tolak Berryl. "Lagian apa kata loe tadi? Dapat gebetan? Cewek kota yang cantik-cantik aja sekelas model dan artis aja gue nggak doyan, apalagi cewek desa yang pastinya wajahnya ndeso, bukannya napsu, malah ... rrrr, nggak deh!" imbuhnya
"Gue jamin, loe nggak bakal jadi obat nyamuk kok. Tessa ngajakin temennya juga. Cewek, cantik, dan seksi juga. Siapa tau tiba-tiba loe pengen nyobain nyocol di sana jadi aunty Ivanka nggak perlu ribet lagi nyariin loe calon bini. Di sana dingin, bro. 11 12 lah sama puncak." lanjut Vano lagi terus membujuk.
"Lagian ya Ryl, kata siapa cewek-cewek desa itu pasti ndeso, justru sebaliknya, bro. Mereka masih alami. Kecantikannya murni. Jangan berprasangka jelek dulu. Ikut aja gih, dari pada loe suntuk nggak ada kegiatan apalagi hiburan." imbuh Vino lagi.
Berryl tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Nggak ada salahnya juga pikirnya. Apa yang dikatakan Vano dan Vino ada benarnya. Dari pada suntuk, mending dia refreshing.
"Oke lah! Kapan kita berangkat?" tanya Berryl.
"Jum'at sore aja, jadi Minggu sore kita udah bisa balik. Perjalanan ke sana makan waktu sekitar 4 jam nonstop. Kalo pake singgah-singgah bisa lebih." sahut Vino.
"Oke sip, jadi Jum'at sore kita udah stay di sini ya! Kita berangkat dari sini."
"Sip!" seru Berryl dan Vino berbarengan lalu mereka melakukan fist bump sebagai tanda deal.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Desyi Alawiyah
Lidya,Megan dan Handoko ngga pantas disebut manusia...apalagi Handoko,dia ayah kandungnya Hanindita kan...kok tega sih menyiksa anak sendiri
2024-04-22
0
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝑫𝒊𝒕𝒂 𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝑩𝒆𝒓𝒚𝒚𝒍 𝒚𝒂
2024-04-09
0
Wahida Nur
lanjut
2024-03-29
0