Ch.2

"Dita, bangun kamu!" pekik Lidya seraya menggedor-gedor pintu kamar Hanindita.

Dengan kepala berdenyut nyeri, Hanindita berusaha bangun dari tidurnya. Dengan sempoyongan, ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu dan membukanya. Baru saja, kunci pintu ia putar, tiba-tiba ...

Brakkk ...

Lidya mendorong kasar pintu kamar Hanindita hingga ia terjungkal ke belakang.

"Kamu ya, bukannya bangun pagi-pagi dan siapkan sarapan, malah asik-asikan tidur. Dasar anak nggak ada guna! Bangun kamu. Nggak usah pura-pura kesakitan gitu." bentak Lidya tanpa mempedulikan Hanindita yang kesusahan untuk bangun.

Saat ini Hanindita sedang demam. Mungkin karena kemarin disiram Megan dan ia tidak langsung mengganti pakaiannya. Cuciannya masih banyak jadi ia memilih melanjutkan mencuci pakaian hingga selesai baru mengganti pakaian. Alhasil, malam harinya, Hanindita mulai merasakan meriang di sekujur tubuhnya dan demam.

"Tapi bu ... "

"Tak ada tapi-tapian. Cepat siapkan kami sarapan sebelum ayah kamu berangkat bekerja." tegas Lidya membuat Hanindita pun berusaha berdiri kemudian berjalan menuju dapur. Ia sampai menghela nafas berkali-kali. Entah sampai kapan ia akan mendapatkan penyiksaan lahir dan batin seperti ini. Ayahnya masih ada tapi begitu membencinya. Apalagi ibu tirinya. Hanindita tak pernah tau apa salahnya, yang ia tau tak ada satupun dari keluarganya yang menyayanginya. Andaikan sang nenek masih hidup, mungkin hidupnya tidak akan senelangsa ini. Tapi apa boleh dikata, Tuhan begitu mencintai nenek dan ibunya, meninggalkan dirinya yang kehilangan tempat bersandar.

"Makanan sampah apa ini, hah!" bentak Handoko seraya membanting sendok ke atas piring hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Karena kepalanya pusing dan lidahnya pahit, rasa dan bentuk masakan Hanindita jadi tidak seperti biasanya. Karena sudah tak berselera makan, Handoko pun berlalu dari meja makan meninggalkan anak dan istrinya yang masih duduk di sana.

Hanindita hanya bisa mematung di dekat wastafel. Ia sedang mencuci peralatan bekas memasak. Mengetahui sang suami marah karena rasa masakan yang aneh, lagi-lagi Lidya memarahi Hanindita dan menarik rambutnya hingga ke tertarik ke belakang.

"Aaarrgh ... am-pun Bu, Dita ... Dita ... "

"Tutup mulut kamu anak nggak tau diri! Bukannya bekerja yang benar, malah seenaknya saja. Kamu seharusnya berterima kasih kami mau menampung kamu. Kalau nggak memikirkan kamu juga anak mas Handoko, sudah kami buang kamu ke jalanan." seru Lidya dengan sorot mata tajam penuh kebencian.

Sekuat tenaga, Hanindita tahan air matanya. Ia tak mau menangis. Menangis pun tiada guna, bukannya mereka iba, mereka justru makin merendahkan dan mengejeknya.

'Ya Tuhan, bolehkah aku menyerah pada kehidupan ini?' batin Hanindita menjerit, meraung, dan merintih.

Hanindita hanya bisa menatap nanar orang-orang yang ada di dalam rumah itu, mengapa satupun dari mereka tak ada yang peduli sedikit saja pada penderitaannya.

Morgan dan Megan, kakak adik beda ayah itu hanya menatap acuh apa yang dilakukan ibunya pada gadis malang itu. Tak ada rasa iba apalagi peduli. Tak ada satupun yang menyayangi Hanindita. Ia bagaikan hidup sebatang kara di dunia ini. Di rumah itu, ia tak pernah dianggap layaknya keluarga. Yang ada dirinya diperlakukan seperti budak yang tak memiliki hak apa-apa. Bahkan pendidikannya pun hanya sebatas tingkat pertama. Ayahnya menganggap percuma ia sekolah tinggi-tinggi sebab tugasnya tetap kembali ke dapur. Ia tak layak mendapatkan perlakuan baik apalagi mendapatkan pendidikan tinggi. Padahal, Hanindita gadis yang cerdas. Sebenarnya ia bisa saja melanjutkan sekolahnya sebab pihak sekolah telah memberikan surat rekomendasi untuk mendapatkan beasiswa, tapi Handoko menentangnya keras. Hanindita pun hanya bisa pasrah menerima takdir hidupnya yang sepertinya takkan pernah mengecap bahagia.

...***...

Hari sudah pukul 9 pagi, Handoko telah pergi ke pabrik pengolahan teh miliknya, Lidya pergi entah kemana, sedangkan Megan pergi kuliah meninggalkan Hanindita dan Morgan hanya berdua saja di rumah. Kampus Megan ada di kota. Namun jaraknya hanya memakan waktu tempuh 2 jam, jadi Megan lebih memilih pulang ke rumah dari pada tinggal di asrama putri.

Kediaman Handoko terletak desa di dekat lereng pegunungan. Keluarga mereka memiliki perkebunan teh di area sana. Perkebunan itu tidak terlalu luas, namun hasilnya cukup memuaskan apalagi mereka memiliki pabrik pengolahan sendiri tentu hasilnya dapat mereka nikmati sendiri sepuas hati.

Seperti biasa, pagi hari diisi Hanindita dengan kegiatan beres-beres rumah. Fisiknya masih sakit, tapi ia tetap berusaha mengerjakan semuanya sendiri. Percuma pikirnya mengadu kalau ia sedang sakit, sebab takkan ada yang peduli.

"Hai Dita!" panggil Morgan seraya menyeringai. Hanindita yang sedang menyapu rumahnya. Rumah yang sudah ditempatinya sejak kecil itu. Rumah yang menurut neneknya merupakan rumah turun temurun dari keluarga sang ibu karena itu meskipun ia tersiksa lahir batin di rumah itu, ia tetap berada di sana dan menjaga serta merawatnya dengan baik. Lagipula, bila pun ingin pergi, kemana ia harus pergi. Ia tak tahu dunia luar. Ia tak pernah pergi jauh dari rumahnya. Kalaupun pergi paling jauh ke pasar untuk belanja kebutuhan harian rumah itu. Ia hanya tau keindahan dunia luar dari potongan-potongan koran pembungkus belanjaan atau sesekali melalui tv bila ia sedang beruntung alias bisa sambil lewat lalu saat Lidya tengah menonton televisi.

Hanindita mengacuhkan panggilan Morgan. Ia tau apa tujuan lelaki me-sum itu mendekatinya. Apalagi kalau bukan berusaha mendekati bahkan beberapa kali ia berusaha melakukan pelecehan padanya. Beruntung ia selalu bisa menyelamatkan diri. Tapi apakah mungkin ia bisa selalu menyelamatkan diri, sedangkan mereka saja tinggal di satu atap?

"Hei, tak usah sok jual mahal kau! Gadis nggak ada guna, cepat kemari!" bentak Morgan yang mulai emosi karena diacuhkan.

"Apa? Aku sibuk." sahut Hanindita ketus tanpa menoleh. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya.

Tiba-tiba saja Morgan menarik sapu yang dipegang Hanindita dan melemparkannya asal. Lalu tangannya mencengkram rahang Hanindita kencang membuatnya sampai meringis kesakitan, tapi Hanindita tak mau memperlihatkan kesakitannya. Ia balas tatapan tajam Morgan tanpa rasa takut. Ia telah terbiasa mendapatkan perlakuan intimidasi dari lelaki me-sum itu jadi sudah tidak ada rasa takut lagi dalam benaknya.

"Semakin hari mulutmu ini sepertinya makin lancang. Apa harus aku minta ayah membuangmu ke jalanan agar kau tau bagaimana menakutkannya dunia luar." desis Morgan.

"Kau pikir aku takut!" balas Hanindita membuat Morgan makin kesal.

Kesal, Morgan pun berusaha mencium bibir Hanindita yang sejak dulu menggoda jiwa liarnya. Ia memang playboy dan sudah banyak bibir gadis yang dicicipinya, tapi tak ada yang seindah bibir Hanindita karena itu ia begitu ingin merasakannya, mencicipinya, melu*matanya, mencecap dan memagutnya mesra, serta membelai lidahnya. Tapi belum sempat bibir itu menyatu, Hanindita lebih dahulu mengangkat lututnya hingga mengenai tepat di pusat kelelakian Morgan hingga membuatnya menjerit kesakitan.

"Aaargh ... Sial! Kurang ajar kau, Dita! Tunggu pembalasanku!" desisnya sambil mengusap perkutut miliknya yang terasa nyeri.

...***...

"Ryl, malam ini kau harus makan malam di rumah. Kita akan makan malam bersama keluarga uncle Rafael. Putrinya baru pulang dari London dan mom ingin kau hadir malam ini." tukas Ivanka melalui sambungan telepon.

"Apa mommy belum menyerah juga?" ketus Berryl yang sambil memijit pelipisnya. Pusing, ibunya sepertinya tak pernah bosan untuk mencarikannya calon istri.

"Menyerah? No way."

"Mom, tak bisakah biarkan saja seperti air yang mengalir? Percuma saja menjodoh-jodohkan ku, aku takkan tertarik. Kalau sudah waktunya aku juga akan menikah, tapi belum sekarang sebab aku belum menemukan gadis yang menarik hati dan minatku."

"Bagaimana kau bisa menemukannya kalau tak berusaha, Berryl. Mau sampai kapan? Mom bosan menunggumu membawa seorang gadis ke rumah ini. Ingat umurmu dan ingat usia orang tuamu ini sudah makin menua, kami ingin melihatmu menikah dan memberikan kami cucu. Jadi sebelum kau menemukan gadis yang membuatmu tertarik, maka mom nggak akan pernah bosan mengenalkan mu dengan gadis-gadis anak teman mommy." tegas Ivanka.

"Mom, kalau kau ingin cucu kan bisa meminta Berliana menikah lebih dahulu."

"Yang kami inginkan itu kamu, Berryl. Lagi pula usia adikmu masih terlalu muda. Tidak sepertimu yang sudah kepala 3."

"Yayaya, terserah mom sajalah. Tapi aku ingatkan, aku tetap memiliki hak menentukan dan aku tak ingin dipaksa."

"No, problem!" sahut Ivanka acuh lalu menutup panggilan teleponnya.

"Mommy mu?" tanya Vano yang baru saja masuk ke ruangannya.

"Hmmm ... "

"Dinner again?" timpal Vino yang menyusup sambil tersenyum lebar.

"Hufth, apa lagi! Setiap menelpon pasti mommy mengabarkan perihal makan malam dengan temannya yang memiliki anak gadis."

"Turuti saja, siapa tau salah satu dari mereka cocok untukmu." saran Vano sambil membuka kaleng bir yang baru saja diambilnya dari dalam kulkas mini di ruang kerja Berryl.

"Hah, entahlah!" sahut Berryl pusing.

...***...

...Happy reading 🥰🥰🥰...

Terpopuler

Comments

Desyi Alawiyah

Desyi Alawiyah

hai kak, 🙋🙋🙋


aku mampir yah...kayaknya bagus ceritanya...🤗

2024-04-22

0

Desyi Alawiyah

Desyi Alawiyah

kamu yg kurang ajar Morgan...😩

2024-04-22

0

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕

𝑫𝒊𝒕𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒈𝒊 𝒂𝒋𝒂 𝒅𝒓 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒎𝒖 𝒊𝒕𝒖 𝒅𝒓𝒑𝒅 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒊𝒌𝒔𝒂

2024-04-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!