9 tahun kemudian
Setelah 9 tahun tidak bertemu langsung dengan Dinar, akhirnya aku bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Hari itu aku sedang berada di perpustakaan mencari bahan untuk tugas kuliahku.
"Ini, silahkan kunci lokernya," ucap laki-laki paruh baya yang merupakan petugas perpustakaan, dari wajahnya kuperkirakan kurang lebih berusia empat puluh lima tahun.
"Baik, pak." Aku tersenyum kepada petugas perpustakaan yang ternyata bernama Ucup, terlihat dari tag nama yag terpasang di seragamnya. Setelah menerima kunci loker aku lalu menyerahkan kartu identitasku sebagai jaminan peminjaman kunci loker.
Aku sedang memasukkan tasku kedalam loker ketika terdapat panggilan dari nomor tak dikenal di layar ponselku, yang untungnya selalu kuatur dalam mode getar. Aku hanya menatap layar ponselku hingga berhenti bergetar lalu memasukkannya ke saku belakang celana jinsku. Belum sempat aku melangkah meninggalkan loker, ponselku bergetar lagi. Masih degan nomor tak dikenal yang sama. Kutolak panggilan tersebut tanpa pikir panjang. Belum sempat aku mematikan ponselku, panggilan dari nomor yang tak dikenal itu masuk lagi. Sepertinya si penelpon tidak akan menyerah hingga aku menjawab panggilannya.
"Baiklah aku menyerah," batinku sembari menyetuh tombol hijau di layar ponselku.
Belum sempat aku menempelkan ponsel ke telinga secara sempurna, terdengar seruan nyaring seorang perempuan yang tak lain berasal dari ponselku.
"HEI! BERANI SEKALI KAU MENOLAK PANGGILANKU!"
Aku menjauhkan ponsel sejenak dari telingaku, lalu menempelkannya kembali, "ini sia-"
"Dimana kamu sekarang?"
"Ini siapa?"
"Astaga! jadi selama ini kau tidak menyimpan nomorku?" tanyanya bingung.
"Hei! seharusnya aku yang lebih pantas bingung di sini!" pikirku.
"TIDAK! bagaimana mungkin aku menyimpan nomor orang tak dikenal," jawabku malas
"Oh, jadi kau sudah tidak mengenal saudara sepupumu lagi?"
"Saudara sepupu?"
"Ini Dinar, Sarah! Kamu lupa?"
"Oh."
"Cuma oh?"
"Aku tidak menyimpan nomormu karena kau berganti nomor ponsel dan juga aku tidak mengenali suaramu karena sudah lima tahun sejak terakhir kali kita berbicara lewat telpon. Setidaknya kau harus memberitahuku terlebih dahulu kalau ini adalah nomor barumu," aku membela diri tanpa diminta.
"Aku sudah memberitahumu lewat pesan teks tadi pagi!"
Aku menjauhkan ponsel dari telinga dan membuka riwayat pesan masuk. Benar, dia mengirimiku pesan dan belum kubuka sejak tadi pagi.
"Maaf aku baru saja memeriksa pesan masuk."
"Kamu dimana? Kata tante tadi, kamu pergi keperpustakaan kota. Aku ada di perpustakaan kota sekarang, kamu dimana?" tanya Dinar tanpa memperdulikan permintaan maafku.
"Aku di ruangan loker sekarang."
"Tunggu disana!" perintahnya sebelum panggilan diakhiri.
***
"Jadi kau pindah ke kota ini?" tanyaku kepada dinar sambil menelusuri rak buku di depanku. Rambutnya sekarang lebih panjang dari yang kuingat sebelumnya. Badannya masih lebih tinggi beberapa centi dariku hal selalu membuatku iri sejak kecil.
"Iya, ayah memutuskan menetap di kota ini. Ah, aku juga berkuliah di universitas yang sama denganmu," jawabnya sambil mengekor dibelakangku.
"Kamu tidak merasa kesulitan karena pindah kuliah?
"Pindah kuliah?" Dinar menaikkan satu alisnya heran.
"Aku mahasiswi baru," lanjutnya sbagai penjelasan.
"Kupikir, kau langsung berkuliah setelah tamat SMA. Jadi, apa yang kau lakukan setelah tamat SMA?" tanyaku sambil membawa buku yang kucari sejak tadi ke meja baca di sudut ruangan.
"Bermain," kata Dinar sambil tertawa kecil dan duduk di sebrangku.
"Enggak heran sih, kalau kamu yang ngomong begitu," jawabku asal sambil membuka laptopku untuk mulai mengerjakan tugas kuliahku.
"Ngomong-ngomong, Sarah. kapan terakhir kali kamu ke rumah nenek?"
"Satu bulan atau tiga minggu lalu, jika aku tidak salah ingat. Kota ini tidak jauh dari kota tempat nenek tinggal jadi, aku cukup sering ke sana."
"Ayo kita kesana akhir pekan ini!"
"Tiba-tiba?" tanyaku spontan sambil mengalihkan pandangan dari layar laptop.
"Sudah 9 tahun sejak terakhir kali aku ke rumah nenek."
"Kamu belum pergi ke sana dengan paman dan tante sejak pindah ke kota ini?"
"Belum, baru dua hari sejak kami pindah dan mereka masih sibuk mengurus banyak hal."
"Baiklah, ayo kita pergi ke sana. Nenek pasti sangat senang bertemu denganmu," ujarku sambil menaikkan bahu lalu mengangguk setuju.
***
Aku dan Dinar pergi ke rumah nenek hanya berdua tanpa ayah dan ibu serta paman dan tante. Keempatnya sedang sibuk dengan pekerjaan mereka. Kami pergi ke rumah nenek pada siang hari menjelang sore. Kira-kira kita akan sampai di sana ketika matahari akan terbenam.
Karena kota tempat nenek tinggal tidak jauh dari tempat kami tinggal, aku dan Dinar pergi ke rumah nenek menggunakan sepeda motor. Jalanan menuju rumah nenek masih seperti dulu, seperti tidak ada yang berubah. Pepohonan masih menyambut setiap orang yang melewati jalanan terebut. Rumah-rumah di desa tepat nenek tinggal jugalah masih terlihat sepi, bahkan terkesan semakin berkurang jumlahnya sejak sepuluh tahun lalu. Kata nenek, penduduk desa ini yang berusia muda kebanyakan pergi ke kota lain untuk mengadu nasib. Sedangkan, orang-orang yang lebih tua satu-persatu mulai meninggalkan dunia. Sehingga penduduk desa ini lambat laun semakin berkurang. Walaupun, ada sebagian anak muda yang masih menetap di desa, demi membangun desa ini.
Akhirnya, kami sampai ke kediaman nenek. Nenek tampak sumringah menunggu kedatangan kami di depan rumahnya. Sebelumnya, aku memang sudah mengabari nenek lewat telepon. Nenek memang seperti itu, ketika ada keluarga yang mengabarinya akan berkunjung, ia akan menunggu di depan rumah hingga orang yang akan berkunjung sampai ke rumahnya.
"Ne..neeekkk," Dinar langsung berlari ke arah nenek dan memeluknya sesaat setelah aku memarkir sepeda motor di halaman rumah nenek.
"Cucu nenek sudah besar sekarang," kata nenek bahagia melihat Dinar.
Aku berjalan menghampiri nenek dan dinar sambil tersenyum. nenek yang sudah melepaskan pelukkanya dari Dinar bergantian memelukku.
"Eh, sudah pada datang. Ayo masuk dulu, istirahat. Tante sudah masak banyak," terdengar suara hangat seorang wanita paruh baya dari ambang pintu. Itu merupakan suara tante Dwi, dia merupakan orang yang menemani nenek tinggal di rumah tuanya semenjak delapan tahun yang lalu. Sebenarnya tante Dwi masih merupakan kerabat jauh. Ia adalah keponakkan nenek. Suaminya meninggal muda sebelum mereka memiliki anak, sehingga tante Dwi sekarang tinggal seorang diri. Karena masih kerabat, tante Dwi menolak diberi bayaran untuk menemani nenek. Ayah dan paman yang merasa tidak enak akhirnya hanya mengirim uang belanja bulanan dan beberapa uang untuk kebutuhan mendadak.
****
Setelah makan malam dan mandi, aku dan Dinar pergi ke kamar untuk beristirahat. Kami pergi ke kamar yang biasa kami tempati ketika tinggal di rumah nenek. Ketika sedang berganti pakaian, tante Dwi masuk membawa selimut.
"Nenekmu sebelumnya sering ke kamar ini. Sepertinya ia kangen sama kalian," kata tante Dwi sambil membawa selimut.
"Ini tante bawain selimut. Nanti, kalau ada butuh apa-apa ke kamar tante aja ya," lanjut tante Dwi.
"Iya tante, makasih," "Makasih, tan" ucapku dan Dinar berbarengan.
Tante Dwi mengangguk dan tersenyum lalu meninggalkan kamar kami.
Aku sudah bersiap-siap tidur ketika Dinar berkata. "Eh, Rah. Ingat gak dulu, kita ngelihat lukisan patung dan lain-lain di rumah nenek ini hidup," katanya sambil menyusul berbaring di sampingku. Aku yang sudah hendak memejamkan mata, mengurungkan niatku. Akupun menatap langit-langit mengingat kejadian malam sembilan tahun yang lalu.
"Tapi, itu semua mimpikan?" tanyaku
"Kalau semua itu mimpi, kenapa kita bisa memiliki mimpi yang sama persis?" Dinar balas bertanya.
"Buktinya, esok siang kita ke ruangan itu tidak terjadi apa-apa. Semuanya normal. Tidak ada yang hidup. Lagi pula, gak masuk akal aja lukisan patung dan benda mati lainnya bisa hidup," ujarku mengahiri obrolan kami sebelum aku jatuh terlelap.
****
(Sembilan tahun yang lalu)
Saat makan siang.
"Ayah, aku semalam sama sarah ngelihat ada burung keluar dari lukisan itu," kata Dinar kepada ayahnya sambil menunjuk lukisan di ruang makan itu.
"Kamu ada-ada aja," jawab paman tidak begitu menanggapi. Akan tetapi, aku melihat wajah nenek sekilas terlihat tegang. ia lalu tertawa menanggapi perkataan Dinar.
"Mana mungkin burung bisa keluar dari lukisan," kata nenek sambil terkekeh.
"Beneran, aku sama sarah ngikutin burung itu sampe keruangan depan yang isinya lukisan sama patung. Lukisan sama patungnya bisa bicara. Iyakan sarah?" Kata Dinar mencari dukunganku. Padahal kita berjanji tidak membicarakannya karena itu merupakan ruangan terlarang dan kita pasti akan kena marah.
"Kalian kesana?" tanya ayah menatapku.
Aku hanya menunduk dan mengangguk.
"Kan ayah sudah pernah bilang, jangan masuk keruangan itu. nanti kalau barang-barang nenek rusak bagaimana? Itu semua barang peninggalan kakekmu."
"Tapi, benar kata Dinar. Kemarin burung dari lukisan ngajak kita masuk kedalam ruangan itu. Terus di dalam ruangan patung sama lukisannya bicara, mereka bilang kami adalah penjaga," ujarku membela diri.
Nenek diam sejenak, lalu ia tersenyum. "Sudah-sudah. Ayo kita lihat sekarang buat masitiin, apa benar yang kalian lihat tadi malam atau hanya bunga tidur kalian saja," kata nenek sambil mengajakku dan Dinar ke ruangan yang selalu di tutup rapat itu.
Sesampainya di sana kami mendapati bahwa patung dan lukisan-lukisan itu hanyalah benda mati.
****
(Saat ini)
Aku dan Dinar terbangun dari tidur kami ketika matahari sudah mulai memasui celah-celah jendela. Saat akan turun dari ranjangnya dinar melihat seekor tikus berlari di bawahnya. hal itu membuatnya berteriak dan jatuh terjembab ke belakang menghantam lemari di samping tempat tidur. Aku yang belum sepenuhnya sadar dari tidurku, hanya duduk bersila di atas kasur menonton pertunjukkan di hadapanku sambil mengumpulkan nyawa. Belum, lengkap penderitaan dinar, sebuah buku yang aku duga sebelumnya terletak di atas lemari terjatuh mengenai kepala dinar. Hal itu di sebabkan lemari yang bergoyang ketika tubuh Dinar menghantam lemari.
"AAHHH," Dinar memekik sambil memegangi kepala.
Aku yang sudah benar-benar sadar pergi ke ujung tempat tidur untuk melihat buku yang jatuh mengenai Dinar tersebut.
"Buku apa itu?" tanyaku penasaran. Buku itu bersampul kecoklatan dan terdapat jarum jam berwarna keemasan di sampul depannya.
"Nih lihat sendiri," kata Dinar sambil menyodorkan buku tersebut kepadaku.
Aku mebuka buka isi buku tersebut. Tetapi, tidak ada tulisan maupun coretan apapun di dalamnya. "Gak ada isinya," gumamku.
Dinar yang juga penasaran, segera bergabung di sampingku ikut melihat isi buku tersebut. Karena, tidak menemukan apapun, kamipun menutup buku tersebut.
Sebelum mengembalikan buku tersebut ke atas lemari. Aku seperti terhipnotis oleh jarum jam di sampul depan buku tersebut dan menyentuhnya.
"AWW." ternyata jarum jam itu tajam dan membuat jariku terluka. Darahku menetes mengenai sampul buku. Seketika, jarum jam itu bergerak memutar dan muncul sebuah garis melingkar terang berwarna keemasan di sekitar jarum jam. Jarum jam itu sepertinya menunjukkan waktu sekarang.
"Jam itu lebih cepat 10 menit dari waktu sekarang," kata Dinar yang sedang memegang ponselnya. Aku mengacuhkannya dan masih menatap buku di hadapanku.
Tak lama setelah itu, simbol-simbol memenuhi sampul buku tersebut. Hanya bebarapa detik karena setelah itu buku itu berubah menjadi berwarna keemasan dan sampul depan buku itu menjadi polos lalu muncul tulisan perlahan.
Buku sihir panduan tentang negri RE (Reven Ereht)
Kami membuka-buka halaman buku tersebut. Buku itu sudah penuh berisi tulisan. Kami membaca halaman pertama buku tersebut.
Di situ tertulis:
Hanya keturunan darah para penjagalah yang dapat membaca buku ini.
Apa ini artinya kejadian pada malam sepuluh tahun yang lalu benar adanya? Tapi, apa yang harus kita jaga? kami membuka halaman selanjutnya. Halaman kedua memiliki isi yang lebih panjang. Kami mulai membacanya perlahan.
Pengenalan singkat.
Bumi manusia dan reven ereht merupakan "Bumi" dengan realitas berbeda. Reven ereht merupakan tempat di mana mahluk-mahluk motologi, mahluk mistis dan sihir belum di hancurkan oleh manusia. Para penjaga bertugas....
"tok.. tok.. tok...," terdengar ketukan dari pintu membuat kami secara refleks menutup buku yang belum selesai kami baca tersebut dan menyembunyikannya di bawah selimut.
"Dinar, Sarah, kalau sudah mandi ayo turun sarapan," kata nenek dari balik pintu.
"Iya, Nek," sahut kami bersamaan. Kami lalu pergi bersiap-siap untuk mandi dan sarapan. Sejenak kami melupakan buku misterius yang belum selesai kami baca tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
X.in [iKON]
waah munguts tan panjang banget 🤧
2021-04-23
3