Aku memegang tangan Bex dan segera naik ke punggung Larna yang diikuti oleh Dinar dan Rox di belakangku. Kami memegang sebuah tali yang tebalnya setebal genggaman tangan kami dan ujungnya tersambung langsung tali kekang. Bex menepuk Larna dan berkata "Ketempat kerjaku, Larna. Turunkan kami di tempat biasa."
Tanpa aba-aba Larna langsung terbang. Ini merupakan pertama kalinya aku menunggangi seekor hewan dalam hidupku. Tekanan udara yang datang berlawanan arah dengan kami, mengantam wajahku. Aku memejamkan mataku rapat sejak Larna pertama kali mengepakkan sayapnya. Keadaan sekitarku sudah terasa lebih tenang, sepertinya larna sudah tidak naik ke atas lagi dan terbang pada ketinggian yang stabil. Aku bisa merasakannya tanpa membuka mata.
"Ya, bagus sekali. Pejamkan saja mata kalian! Jangan membuka mata dan mengencingi celanamu. Larna benci tubuhnya kotor. Jika kalian mengotori tubuhnya dengan kencing di celana, aku yakin dia akan segera melemparkan kita ke bawah," Rox berteriak di belakang kami sambil terkekeh.
Aku takut di lemparkan jadi aku mengenggam tali di genggamankku dengan lebih erat.
"Itu tidak lucu Rox! bukalah mata kalian. Pemandangannya sangat indah dan jangan khawatir akan terjatuh, Larna sudah sangat handal. Ia tak akan membuatmu terjatuh," kata Bex menenangkan tetapi aku belum juga membuka mataku.
"Wow, kau benar Bex," teriak Dinar di belakangku.
Aku membuka mataku perlahan dan menatap kebawah dan benar saja. Ini indah. Kami melewati pegunungan yang memiliki kawah yang berbentuk danau. Ada buah danau yang letaknya berdekatan dengan warna yang berbeda. Ketiga danau itu terlihat luas, meskipun dilihat dari kejauhan. danau yang berwarna merah dan biru letaknya tepat bersampingan. Sedangkan danau yang berwarna hijau tosca letaknya agak terpisah dari keduanya.
"Mengapa satu danau terpisah dari yang lainnya?" tanyaku sambil menunjuk kebawah.
"Oh, itu daerah khusus berkumpulnya arwah orang-orang tua yang mati dengan kebijaksanaan," kata Bex menjawab pertanyaanku.
"Bisakah kita melihatnya lebih dekat?" tanya Dinar.
"Terbang lebih rendah, naga baik," pinta Bex pada Larna sambil menepuk tubuhnya.
Larna sedikit menukik kebawah. Aku berpegangan kencang pada tali di genggamanku.Aku tidak lagi memejamkan mataku seperti terakhir kali dan menikmati pemandangan dibawahku. Pepohonan memenuhi tubuh gunung-gunng di bawahku. Aku melihat danau tiga warna lebih dekat. Mereka lebih terlihat cantik jika disaksikan secara langsung.
Kami sudah menjauh dari danau tiga warna. Masih terbang rendah dan melewati gunung-gunung.
"Apakah itu juga danau?" tunjuk Dinar ke arah depan kami.
"Tidak juga. Lebih tepatnya itu adalah telaga," jawab Rox dari belakang.
"Bukankah sama saja?" tanya Dinar.
"Tidak benar-benar sama. Telaga berukuran lebih kecil dari pada danau."
Kami melewati banyak telaga di bawah kami. telaga-telaga itu di kelilingi pepohonan rindang. Letaknya masih di atas pegunungan. Yang lebih menakjubkan adalah warna setiap telaga berubah-rubah setiap beberapa detik.
"Wow, itu luar biasa," teriak Dinar dan aku mengangguk setuju.
****
Kami masih terbang di atas hutan dengan pepohonan yang sangat rindang saat larna menukik mendekat keawah dan memutar tubuhnya 360 derajat yang memuat kami semua jatuh keawah.
"AKU TIDAK MENGENCINGINYA!" teriak Dinar terpatah patah karena ketakutan jatuh dari ketinggian.
"AKU JUGA!" aku juga ikut berteriak merasa tak terima dilemparkan dari ketinggian.
"Apa ini akhir dari hidupku?" pikirku.
Aku menatap kebawah, Pepohonan yang berdiri rapat, perlahan bergeser. Pohon-pohon itu membuat lahan menjadi kosong di awah kita dengan pola lingkaran. "Apakah mereka sepakat untuk membunhku leih cepat?" pikirku. Karena jatuh dengan melewati pepohonan lebih dulu terlihat leih baik dari pada langsung jatuh ke tanah. Semakin rendah kami erada semakin bertambah pula kecepatan kami jatuh rasanya Aku memejamkan mataku, pasrah dengan cara kematianku yang tak terduga ini.
Aku tidak juga merasakan sakit di tuuhku akibat menghantam tanah . Sebaliknya aku merasakan seperti tubuhku jatuh ke sebuah jaring yang lembut. Aku membuka mataku perlahan sambil tanganku meraba-raba sekitarku. Ketika aku sudh sepenuhnya membuka mata, aku menatap sekitarku. Benar saja, aku terjatuh di sebuah jaring yang sangat besar.
"Menyenangkan bukan?" kata Rox.
Aku mengangkat kepalaku sedikit menatap Rox tak percaya. Aku menjatuhkan kepalaku lagi dan berbaring terlentang menatap langit biru lalu aku memejamkan mataku sambil menghela nafas.
"Aku merasakan jantungku naik ke tenggorokkan tadi ketika kita melayang jatuh di udara. Aku rasa itu tidak menyenangkan sama sekali."
"Aku rasa aku tidak ingin naik naga lagi jika selalu begitu cara kita mendarat," kata Dinar yang sebelumnya, aku sempat melihat wajahnya pucat pasi.
Bex dan Rox terkekeh mendengar komentar kami. Mereka lalu mengajak kami turun dari jaring raksasa itu.
****
"Aku tidak melihat ada jaring sebelumnya," kataku membuka pembicaraan. Setelah turun dari jaring, aku dan dinar tidak banyak bicara karena masih terlalu syok. Aku bahkan masih merasakan lututku bergetar.
"Memang tidak terlihat. Jaring itu hanya terlihat jika ada makhluk yang mendarat di sana," jawab Bex.
Kami sedang melintasi hutan yang sangat rimbun. pohon-pohon di hutan ini memili batang yang sangat besar.
"Hutan ini sepi sekali. Apa tidak ada maluk lain selain pohon yang hidup di sini?" tanya Dinar yang juga sedang memperhatikan sekitar.
"Karena ini perupakan wilayah para kurcaci, para makhluk lain tidak tahan tinggal di sini."
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Mereka takut dijadikan bahan material kerajinan kami," kata Rox asal.
"Benarkah? Apakah kalian berencana menggunakan kami juga?" Dinar menghentikan langkahnya dan menatap dua kurcaci di hadapannya tak percaya.
"Ya!" jawab Rox.
"Tidak!" Bex menimpali
"Mereka tidak tinggal di sini karena terlalu ribut saat malam hari karena kami adalah kelompok pengrajin terbesar," lanjut Bex yang membuat Dinar menghela nafas dan melanjutkan langkahnya.
Kami bertemu dua pohon besar yang akarnya membentuk sebuah jembatan di atas jurang. Di sebrang jembatan aku melihat dua pohon serupa. Dua pohon itu akarnya juga terhubung dengan jembatan yang sekarang sedang kusebrangi. Kupikir jembatan ini rapuh, tetapi ketika kuinjakkan kakiku di atasnya jembatan itu tidak bergoyang sama sekali. Bahkan ketika kami berempat sudah berada di atasnya, jembatan ini tnpak tidak terusik sama sekali.
"Jadi, kalian berkerja pada malam hari?" tanyaku sambil terus melangkahkan kaki di atas jembatan.
"Sebagian besar kami bekerja pada malam hari, tidak ada jam kerja khusus," jawab Bex
"Kenapa malam hari?" tanya Dinar di belakangku.
"Tidak ada alasan khusus, hanya saja terkadang lebih banyak inspirasi pada malam hari," jawab Bex lagi.
Aku menatap jurang di bawahku. Jurang di bawah kakiku ini terlalu dalam untuk melihat apa yang ada di bawah sana. Terlalu gelap juga.
"Apa yang ada di bawah sana?" tanyaku sambil menatap ke bawah.
"Kau akan tau, jika kau mengijinkanku melemparkanmu ke bawah sana," kata Rox asal.
"Aku tidak ingin tau, terimakasih." Aku lalu melanjutkan langkahku.
****
Kami sampai ke sebuah goa berbentuk vertikal seperti seuah sumur. Aku tidak dapat memprediksi seberapa dalam goa ini karena dasarnya tidak terlihat begitu jelas dari atas. Akan tetapi, mulut goa ini aku perkirakan memiliki luas sekitar 50 meter.
"Apakah kita akan melompat, seperti yang kalian suka biasanya?" tanya Dinar.
"Tidak," kata bex lalu memukul seuah lonceng besar yang di letakkan tak jauh dari kami. Tak lama kemudian muncullah sebuah sangkar berbentuk kubus yang meluncur dari bawah dan berhenti tepat di hadapan kami. Pintu sangkar terbuka otomatis dan kami masuk kedalamnya. Setelah Bex menutup pintu, sangkar itu terjun dengan cepat ke bawah goa.
Kami tiba di dasar goa. Akhirnya aku dapat memperkirakan berapa kedalaman goa ini. Goa ini mungkin memiliki kedalaman sekitar 90 meter sehingga aku merasa ketika turun tadi, seperti goa ini tidak berujung. Aku menatap kesekitar goa. Tanpak indah karena cahaya matahari masuk dari atas dan di pantulkan oleh bebatuan di sekitar goa. Udara di sekitar goa terasa lembab tetapi tidak buruk.
****
Kami memasuki lorong goa. Awalnya lorong goa ini gelap tanpa cahaya dan aku bertanya tanya mengapa Bex dan Rox tidak membawa lampu penerangan seperti senter dan hal lainnya. Ternyata ketika kita melewati lorong satu persatu obor menyala di sudut-sudut lorong mengikuti langkah kita.
"Aku penasaran, apakah kalian yang membuat mahkota untuk Larna?" tanya Dinar di tengah-tengah perjalanan.
"Ya, lebih tepatnya aku yang membuatnya. bagus bukan? Aku memberikan mahkota itu pada hari ulang tahunnya tahun lalu," kata Rox berangga diri. Kuakui mahkota yang di pakai memanglah indah. Coraknya unik dengan bagian belakang lebih tinggi daripada mahkota pada umumnya.
"Berapa umur Larna? ia belum tampak begitu tua," tanyaku.
"Mungkin sekitar 980 tahun," kata Rox.
Kami sampai di sebuah pintu yag sangat besar yang otomatis terbuka saat kami datang. Di dalam ruangan besar sangat sepi hanya beberapa kurcaci yang sedang bekerja yang berada di dalamnya sehingg aruangan itu terlihat sangat luas. terdapat botol-botol dan tabung-tabung cairan yang aku tidak tahu cairan apa saja itu. terdapat juga tempat memahat, menepa besi bahkan tempat paling remeh sekalipun seperti tempat merajut.
"Kenapa sangat sepi di sini? Kemana semua orang?" tanyaku penasaran.
"Seperti yang kubilang sebelumnya kami jarang bekerja pada siang hari. Kami lebih suka bekerja pada malam hari. Ketika malam hari tempat ini akan penuh dan kalian tidak akan bisa bergerak sedikitpun tanpa membuat kekacauan. Itulah sebabnya kami tidak membawa kalian pada malam hari dan melupakan tidur siang kami," jawab Bex
Bex dan Rox membawa kami ke sebuah ruangan dan memperkenalkan kami dengan Dan. Dan lalu memberiku dan Dinar sebuah koper yang saat kami buka berisi berbagai macam senjata.
"Setiap keturunan penyihir memiliki koper itu sejak lahir. Kami selalu mempersiapkan satu set senjata untuk setiap kelahiran satu orang keturunan penyihir," jelas Bex melihat keterkejutan di wajahku dan dinar.
Rox lalu melemparkan sebuah tongkat kepadaku. Awalnya tongkat itu hanya sepanjang 30 cm tetapi ketika ku genggam tongkat itu berubah panjangnya menjadi setinggi badanku. Tongkat itu sangat ringan di tanganku seperti tidak bermassa. Tengahnya bolong dengan ujung runcing dan berwarna abu-abu metalik. Seperti pipa yang di runcingkan. Aku tidak mempunyai ide terbuat dari apa tongkat ini.
"Namanya burun. Ukuran burun bisa membesar atau mengecil sesuai kehendakmu. Karena itu sudah menjadi milikmu ia akan menurutimu. Ia sangat kuat dan tidak bisa hancur. Karena aku selalu membuat senjata-senjata dari dari logam terbaik yang aku miliki. Dan satu lagi yang perlu kamu ketahui, ketika kamu melemparkan burun ia akan selalu kembali kepadamu," Bex menjelaskan panjang lebar.
"Setiap penyihir punya senjata khusus," kata Rox sambil melemparkan sebuah belati kepada Dinar.
"Kurasa itu cocok untukmu," kata Bex.
Belati yang di genggam dinar memiliki ujung tajam. Berbentuk sedikit datar lalu melengkung seperti sebuah bulan sabit.
"Sama seperti Sarah, belati itu juga akan setia kepadamu dan akan terus kembali ke tanganmu. Namanya kujan. Walaupun berukuran lebih kecil, akan tetapi kujan merupakan senjata yang juga cukup mematikan. Satu goresan dapat membakar sebagian besar tubuh musuhmu."
"Musuh?" tanyaku.
"Ya, karena kalian sudah mengetahui identitas kalian sebagai penjaga, akan ada beberapa musuh yang mengancam kalian," gantian Dan sekarang yang berbicara.
"Oke, aku akan menjelaskan hal-hal lainnya di perjalanan menuju laut selatan," kata Bex kepada kami berdua ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Dan. "Dan, kau sudah mempersiapkan barang-barang yang kami butuhkan bukan?"
Dan mengangguk lalu mengeluarka sebuah kotak dan sebuah kantong berwarna coklat dari laci di belakangnya.
"Untuk apa kita ke laut selatan?" tanyaku.
"Mencari ilmu pengetahuan," jawab Bex.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
zien
wah cerita yang sangat bagus 👍
mampir juga di novelku JODOHKU YANG LUAR BIASA 😊
2021-02-25
0