New Witches
Namaku Sarah, usiaku 21 tahun. Ketika berusia 12 tahun, aku berpikir bahwa patung-patung dan lukisan-lukisan di rumah nenek dapat berbicara dan bergerak. Saat itu, liburan tengah tahun 2010 untuk pertama kalinya ayah dan ibu membawaku ke rumah nenek.
Nenek tinggal di desa Rejo di dekat kaki gunung Gedi. Jalan menuju ke rumah nenek hanya dapat dilalui denganm satu mobil. Pohon-pohon jati berdiri kokoh di sepanjang jalan, bagaikan prajurit yang berbaris. Pohon yang kayunya digunakan sebagai bahan baku perabotan rumah karena seratnya yang bagus ini, kata ayah, sudah tumbuh kurang lebih 100 tahun sejak negara ini masih di jajah bangsa asing.
Saat kami sampai, kulihat seorang wanita kurang lebih berusia 60 tahun yang kuprediksi sebagai nenekku sedang duduk di kursi kayu yang terletak di halaman rumah. Ia tampak menunggu kedatangan kami.
Setelah kami turun dari mobil, nenek beranjak menghampiri ayah dan ibu lalu, memeluk mereka secara bergantian. Sesaat setelahnya, nenek berpaling kearahku sambil tersenyum lalu memelukku erat. Nenek melepaskan pelukkannya dan menatapku lekat.
“Cucuku kau terlihat sepertiku ketika muda.”
“Benarkah? Apakah nenek terlihat cantik ketika muda?” tanyaku antusias.
“Tentu saja! Banyak sekali pemuda yang mengejarku ketika masih muda,” sahut nenek sambil tertawa.
Tak lama setelah kami bercengkrama secara singkat, sebuah mobil jip memasuki halaman rumah nenek. Seorang lelaki paruh baya dengan istri dan anak perempuannya keluar dari dalam mobil. Ia adalah paman Hadi, adik ayah. Istrinya bernama tante Salma dan anaknya bernama Dinar yang berusia satu tahun lebih muda dari padaku. Aku sudah pernah bertemu paman Hadi dan keluarganya ketika berusia 7 tahun.
"Lihatlah! Keponakkanku, kau sudah besar rupanya," sapa paman Hadi sambil mengacak rambutku.
****
Selama tinggal di rumah nenek aku dan Dinar tidur di kamar yang sama. Kamar itu merupakan kamar bekas mediang kakekku. Kamar ini hanya berukuran sekitar 3x4 meter. Terdapat satu ranjang tempat tidur yang cukup untuk dua orang anak kecil berusia 12 dan 11 tahun. Tepat di samping kaki tempat tidur terdapat lemari berukuran 2 meter dengan kaca berbentuk oval di pintu depannya. Tepat di samping kepala tempat tidur berhadapan dengan lemari, terdapat jendela kayu berukuran 1x0,5 meter, jendela itu di pagar menggunakan kayu. Tepat di samping jendela terdapat meja kayu kecil yang terlihat tidak kalah tua dengan perabotan lain di kamar ini. Dinar sudah jatuh tertidur lebih dulu karena kelelahan setelah perjalanan jauh. aku yang baru memasuki kamar segera ikut berbaring di sampingnya hingga terlelap tidur.
“Sarah.” Aku membuka mata perlahan saat seseseorang berbisik di telingaku sambil menyentuh pundakku. Aku yang masih mengantuk menyipitkan mata melihat dinar berdiri di samping tempat tidur.
“Kenapa?” tanyaku, aku masih sangat mengantuk. Ini sudah lewat tengah malam, tidak bisakah ia membaca jam?
“Temanin aku ke WC,” ujar Dinar degan wajah memohon.
“Baiklah, ayo!”
Aku menunggu Dinar di depan pintu WC hingga ia menyelesaikan buang air kecilnya. WC dan kamar mandi nenek terletak di bagian belakang rumah, tepatnya di belakang dapur dan ruang makan. Lampu di ruangan ini redup seperti sudah lama belum di ganti, mungkin karena nenek tinggal seorang diri sehingga merasa tidak perlu mengganti lampu. Beberapa kali ayah ataupun paman menganjak nenek untuk tinggal berama, tapi nenek selalu menolak dengan alasan tidak mau meninggalkan rumah tuanya. Setelah menunggu 5 menit, tak lama pintu kamar mandi terbuka. Aku dan Dinarpun segera kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur kami yang terganggu akibat panggilan alam yang tidak bisa di tunda ini.
Kami berjalan melewati dapur dan ruang makan yang digabung menjadi satu. Di atas meja makan terdapat lukisan pinggir pantai dengan pohon kelapa.
“Sarah, lihat!” seru Dinar sambil menghentikan langkahnya di belakangku.
“Ada apa?” ujarku malas tanpa menoleh kebelakang.
“Pohon kelapa itu bergerak.”
"Sedang bicara apa dia," pikirku.
“Tidak ada pohon kelapa di dalam rumah, Dinar.”
“Bukan di dalam rumah, tapi di dalam lukisan. Lihat itu!” Dinar menunjuk ke arah lukisan di atas meja makan.
Aku mengalihkan pandangan ke arah lukisan yang ditunjuk Dinar. Bukan main, pohon kelapa itu benar-benar bergerak seakan-akan tertiup angin. Kami mendekat kearah lukisan sambil menyipitkan mata mengamati lebih dekat lukisan tersebut, lalu menggosok-gosok mata kami untuk memastikan bahwa apa yang kami lihat adalah nyata.
"Sarah, cubit aku!"
"Aaaww!" Dinar berteriak tertahan setelah aku mencubit lengannya.
"Bukan salahku, kamu yang meminta," aku membela diri tanpa diminta.
"Sakit tau," Dinar menggosok-gosok lengannya.
"Salahmu sendiri!" aku menggerutu.
Dinar berhenti menggosok lengannya sejenak. "Lihat! pohonnya sudah tidak bergerak lagi."
Kami kembali memfokuskan perhatian kami ke depan lukisan di hadapan kami. Keningku masih berkerut saat tiba-tiba kami dikagetkan dengan keluarnya seekor burung dari dalam lukisan. Keluarnya burung kecil berwarna coklat secara tiba-tiba tersebut, membuatku mundur selangkah. Masih dengan rasa tidak percaya, burung itu terbang mendekati kami lalu pergi meninggalkan ruangan. Sebelum pergi burung tersebut sempat berhenti di hadapan kami selama sepersekian detik, seolah-olah berharap agar kami mengikutinya.
“Ayo, kita ikuti dia,” ajak Dinar.
Kami lalu setengah berlari mengikuti burung tersebut. Kami melewati ruang keluarga menuju lorong kearah ruangan dengan pintu setinggi 2 meter. Pintunya sedikit terbuka sehingga burung tadi dapat masuk melewati celah pintu. Aku mengenggam pergelangan tangan Dinar yang hendak pergi menyusul burung tadi masuk.
“Kita tidak diizinkan masuk ke sana,” bisikku ke arah Dinar takut apabila suara kami lebih nyaring sedikit saja, dapat membangunkan seisi rumah.
“Tidak apa-apa, toh para orang tua sedang tidur.”
Aku hanya memandangi wajah Dinar sambil masih memegang pergelangan tangannya.
“Sebentar saja, kita akan kembali sebelum para orang tua terbangun. Kau tidak penasaran apa yang ada di dalam sana? Bisa jadi lebih menakjubkan daripada burung yang keluar dari lukisan.”
“Oke, sebentar saja. Kita akan kembali ke kamar sebelum para orang tua terbangun.”
Kami berjalan menuju pintu misterius tadi. Dinar mengintip kedalam ruangan. Aku yang berada di belakangnya bertanya penasaran, “Bagaimana?”
“Gelap, tidak ada yang terlihat. Kita harus masuk kedalam mencari sakelar.” Dinarpun membuka pintu dan kami memasuki ruangan tersebut secara bersamaan. Seketika kami masuk saat itu pula lampu menyala. Terdengar suara bisik-bisik segerombolan gadis.
“Mereka benar-benar mirip.”
“Sangat mirip.”
“Aku seperti sedang nostalgia.”
Kami menoleh ke asal suara yang berada di belakang kami. Terdapat lukisan di 4 orang gadis berusia 18an tahun di pinggir sumur dengan membawa baskom berisi pakaian. Gadis-gadis di dalam lukisan itu bukan hanya dapat berbicara, tetapi juga bergerak.
“Hei, mereka melihat kita,” ujar seorang gadis berambut pendek. Dengan gaun berwarna hijau.
“Apa kalian bisa berbicara?” tanya dinar penasaran.
“Ya, semua di ruangan ini hidup,” jawab gadis berbaju putih dengan rok berwarna biru langit. Gadis itu berambut panjang yang dia ikat seperti ekor kuda. Aku dan dinar mengedarkan pandangan keseluruh ruangan setelah gadis ekor kuda menjawab pertanyaan dinar. Dan benar saja patung kuda di sudut ruangan bergerak kearah kami.
“Hai penjaga.”
Patung kuda itu berbicara! Tak hanya itu, dua patung kurcaci di atas lemari ikut melompat turun.
“Selamat datang penjaga.”
“Kami bukan penjaga,” sahutku yang masih mencerna keadaan.
“Kalian ditakdirkan menjadi penjaga, anak muda,” sahut seorang kakek tua yang berada di dalam lukisan yang terletak di bawah patung naga yang sekarang sudah terbang mengelilingi rungan. Di dalam lukisan kakek tua itu bersama istrinya sedang berada di meja makan. sang naga berhenti di hadapan kami. Lalu kembali berputar putar di sekitar kami.
“Senang bertemu kalian,” kata salah satu kurcaci bertopi.
“Hai, namaku Dinar dan dia Sarah sepupuku,” ujar dinar sambil melambaikan tangan kaku.
“Tentu saja kami sudah tau,” sahut salah satu gadis bergaun kuning yang berada di dalam lukisan sumur.
“Benarkah?” tanyaku.
“Ya, nenekmu sudah bercerita,” jawab nenek dalam lukisan ruang makan.
“Dengar, sebentar lagi malam segera habis. Para orang tua akan segera bangun. Kami tidak boleh didapati menyelinap ke ruangan ini,” seru Dinar sambil setengah berbisik.
“Ya, kami harus pergi. Bolehkah besok kami datang kembali?” tanyaku.
“Tentu saja, kalian di terima di sini,” sahut para patung kurcaci.
Kamipun kembali ke kamar sebelum para orang tua terbagun. Aku memandangi langit-langit di atas tempat tidur sambil mencerna kejadian yang baru saja terjadi hingga jatuh terlelap. Keesokkan harinya kami mendapati bahwa kejadian malam itu tidaklah nyata. Entahlah, semua terasa nyata. aku bahkan tidak bisa membedakan mana yang lebih nyata, pikiranku atau benda mati di hadapanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Nirwana Asri
hai salam kenal, keren nih fantasi tapi masih masuk di otak aku,bahasanya ringan, aku udah kasih semangat, nanti gantian ya,
2022-04-13
0
X.in [iKON]
emaak aku mampiir
2021-04-20
1
Abu Alfin
like
mampir bntar 🙏
2021-04-03
1