"Aku melihat sikap manja Liliana ke Danu tak suka, tapi aku tak boleh memperlihatkan ketidak sukaanku pada mereka," guman Tiara, hatinya sedih tetapi ia mencoba untuk bisa tersenyum, ya senyum yang dipaksakan, sehingga terasa sangat getir, sempat Tiara beradu mata, tak kuasa untuk berlama menatap bola matanya, Tiara akhirnya mengalihkan pandangan pada hamparan menghijau kebun teh di depannya.
" Dan, makan roti dulu, kamu repot pegang kamera, aku suapi ya!" pinta Liliana riang, Danu mengangguk. Tiara melihat Liliana perhatian sama Danu menjadi tambah terluka hatinya walau dia tetap bisa menutupi perasaannya.
" Li, masih ada rotinya?" tanya Tiara.
" Masih, mau Mba?" ucap Liliana sambil menyodorkan roti ke Tiara.
" Udah yuk lama lama kedinginan, cari makanan!" ajak Danu.
" Beli sate kambing saja Dan!" ajak Liliana manja, yang lain menyetujui. Mereka berempat menuju ke kedai sate kambing terkenal enak di kota ini, karena jam makan siang sehingga ramai. Tapi masih ada kursi, Liliana tak mau pisah duduknya dengan Danu, bahkan dia selalu menyuapi Danu dan selalu menyapu bibir Danu dengan jarinya yang lentik dan putih. Sampai sejauh ini Tiara tetap mampu menahan rasa sakit di dada pada sikap Liliana yang selalu memamerkan kemanjaannya pada Danu.
Setelah makan, karena sudah cukup lama di kota hujan, mereka pulang.
" Nganter kamu dulu Li," ucap Danu.
" Kenapa enggak nginep sih, bisa nginep di Vila orang tuaku," ajak Liliana.
" Rencana enggak nginep, sehingga kita tak bawa pakaian," jawab Danu.
" Lain kali saja, di rencanakan ya Dan," ucap Lliana.
" InsyaAllah," jawab Danu.
Danu menyetir dengan kecepatan sedang, karena sambil menikmati jalanan yang padat.
Dan sore hari baru mereka sampai di rumah, setelah mengantar Liliana lebih dulu.
Malamnya Danu duduk di ruang tamu, kumpul bertiga dengan memiliki kesibukan masing masing, Danu membuka laptop terus mengedit sekitar satu jam, terus sisa waktu berikut untuk membuka tugas tugas kuliah dan Pertiwi yang sama sibuknya, berusaha memutar otak untuk cari kesempatan berdua dengan Danu.
" Di kampus tidak bisa karena Liliana selalu lengket, sedang di rumah ada Tiara, satu satunya kalau masuk kuliah jam berangkat sama," gumannya di hati.
" Dan, besok kuliah jam berapa?" tanya Tiwi, Tiara menatap wajah Danu.
" Pagi Mba, berarti besok berangkat bareng ya," ajak Danu ke Tiwi, kebetulan jadwal Tiwi di ubah, besok masuk jam ke 3, tapi tak apa biar di kampus nunggu dua jam, bisa meneruskan buat cerita di taman.
Pagipun tiba, Tiwi sesuai rencana berangkat bareng Danu.
" Dan, aku tak melarang siapapun jadi jodohmu, tapi cari orang yang kedua orangtua wanita itu mau menerima kita, kalau nanti Liliana tahu tentang ayah ibu kita tentu dia mundur," nasehat Pertiwi sedih, terpaksa Tiwi bicara di jalan yang padat kendaraan, tentu Danu butuh konsen menyetir.
" Iya mba, aku tidak mencintai Liliana!" jawab Danu, ia sedih juga punya orang tua entah dimana keberadaannya.
" Ya syukur, ingat Dan status kita tak sepadan bahkan dengan Tiara, sebaik apapun orang tua mereka belum tentu putrinya boleh menikah dengan kamu!" nasehat Tiwi penuh penekanan. Danu mengiyakan.
" Mba Tiwi aku tahu lagi disukai oleh Mas Fabian teman satu kampus dengannya, tapi dia anak orang berpengaruh, sehingga Mba Tiwi tak begitu merespons padanya, bahkan yang aku tahu Mas Fabian selalu kejar kejaran IPnya setiap semester dengan Mba Tiwi," gumannya di hati.
" Dan, aku mau duduk disitu!" ujar Tiwi.
" Lho, lagi enggak ada kuliah Mba?" tanya Danu.
" Nanti siang!" jawab Tiwi, Danu pun tahu maksud Pertiwi berangkat ikut dengannya, untuk mengingatkan Danu agar tahu diri tentang statusnya.
Waktu terus berjalan maju, melewati hari hari yang selalu berganti dengan ditandai siang malam, dan yang menjadi pemikiran Pertiwi tak meleset, orangtua Liliana teman bisnis dengan Pak Darmawan dan Tiara dijodohkan dengan kakaknya sebagai pewaris bisnis orang tua. Demikian Liliana setelah tahu tentang status Danu orang tua melarang berhubungan dengannya, bahkan Liliana diancam akan dipindahkan ke luar negeri kalau tidak menuruti kehendak orangtua.
" Dan, sudah ku bilang sebaik apapun mereka pada kita tak mungkin anaknya boleh menikah dengan kita yang tak jelas keberadaan orangtuanya," kata Tiwi, ia menunduk sedih.
Perjalanan waktu tak bisa berhenti, hidup Pertiwi hari harinya diwarnai dengan tugas tugas rutin, belajar dan belajar, ia belum ingin hatinya terisi oleh seorang cowok yang bisa mengubah takdir hidup, oleh karena nya dapat menyelesaikan studi tepat waktu dengan nilai yang sangat membanggakan, lalu ia telah bisa mendapat gelar dokter umum.
" Dan, aku mau cari bea siswa, ingin meneruskan spesialis ke luar negeri," kata Tiwi.
Pertiwi dapat bea siswa di salah satu kampus di Munich, Jerman, dan sejauh ini Pertiwi berusaha menjauh dari cinta demikian adik adiknya.
Satu tahun kemudian Danu menyusul ke Jerman, sambil tak henti mereka berusaha mencari keberadaan orang tua lewat media, tapi tak juga orang tuanya ketemu atau menemui, mereka hampir menyerah, bahkan dalam hati mereka menganggap kalau orangtuanya sudah wafat.
Tiga tahun Pertiwi yang dapat bea siswa dari negara menyelesaikan studinya di luar negeri, iapun kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di daerahnya sendiri bekerja di rumah sakit pemerintahan.
" Wi, apa kamu belum ingin menikah?" tanya Bu Darmawan, beliau sengaja menemui saat Pertiwi pulang dari kerja, yang ditanya menunduk.
" Kakakku punya anak laki laki, kamu tahu Pak Handoyo, dia menghendaki anaknya menikah denganmu!" lanjut Bu Darmawan, Pertiwi yang selalu ingat nasehat neneknya agar bisa balas budi pada keluarga Darmawan pun mengangguk.
" Iya Bu, aku mau, tapi Pak Handoyo tahu kalau aku tak punya orangtua," ucap Pertiwi, ia menunduk lesu.
" Tahu Wi, Pak Handoyo juga istrinya tidak memikirkan itu, mereka setelah melihatmu cocok banget!" jawab Bu Darmawan.
Singkat cerita Pertiwi menjadi istrinya Mikko nama panggilan sehari hari, dan Pertiwi pindah kerja di Jakarta karena harus mengikuti Mikko.
" Wi, kamu jangan membayangkan kita akan di rumah Papi!" ucap Mikko sengol setelah resmi jadi suami Pertiwi.
" Iya Mas, terserah kamu saja," jawab Pertiwi. Setelah keduanya serumah, Mikko yang tidak mencintai Pertiwi demikian juga Pertiwi, tidur di kamar sendiri sendiri.
" Itu kamarmu dan aku tak menggunakan asisten untuk beberes rumah!" kata Mikko, matanya menatap tajam dengan tatapan membunuh. Pertiwi memindahkan baju dari koper ke almari. Dan pagi ini Pertiwi langsung berangkat kerja dengan membawa mobil sendiri.
" Mas, aku sudah masak, tapi aku tak bisa menemani makan!" ucap Pertiwi hati hati.
" Aku makan diluar, kamu bawa kunci rumah!" jawabnya sengol.
Pertiwi pamit berangkat kerja, tapi Mikko tidak mempedulikannya.
Kerja di rumah sakit ini mengingatkan Pertiwi saat kuliah, ingat pada teman teman terutama Fabian yang selalu bersaing dalam mendapatkan nilai terbaik, tapi dia selalu mendekatinya untuk mendapat cinta Pertiwi.
" Bian, aku belum bisa menjawab permintaanmu!" jawab Tiwi saat Fabian mengutarakan isi hatinya, dan orangtua Fabian lama lama tahu keberadaan orangtua Pertiwi maka dia dilarang untuk bertemu dengannya.
" Wi, kita ketemu lagi disini!" kata Fabian di parkiran mobil yang katanya sengaja menyambut kedatangan Pertiwi di hari kerja pertamanya.
" Kita sudah lama tidak jumpa, padahal sama sama di Eropa kita dulu ya!"ujar Pertiwi tersenyum.
" Kamu serius banget kuliahnya sehingga tak pernah keluar," jawab Fabian.
" Iya betul, habis target 3 tahun harus selesai, beda donk sama kamu!" jawab Pertiwi tertawa.
" Aku dengar kamu sudah bersuami, semoga cepet dapat momongan," kata Fabian.
" Iya, kamu juga sudah punya jagoan?" tanya Pertiwi menebak, dan Febianpun tertawa renyah.
" Kita akan selalu satu team!" katanya tersenyum, karena keduanya ambil specialis sama, Pertiwipun tersenyum.
Pertiwi pulang sore hari, dia membuka pintu gerbang untuk memasukkan mobil ke garasi.
" Hmmm mobil Mikko sudah ada di garasi, berarti dia sudah pulang," gumannya. Dia masuk ke ruang tengah,
" Kok ada ******* di kamar Mikko!" guman Pertiwi karena ******* itu terdengar jelas di ruang tengah bahkan terdengar juga di kamar Pertiwi yang bersebelahan dengan kamar Mikko. Pertiwi tak memperdulikan, kalau toh itu Mikko walau dia jadi istrinya tapi karena tidak mencintai, tentu tidak merasa sakit hati.
Pertiwi langsung mandi, dan menuju ke ruang makan, dan masakan pagi yang tidak disentuhpun oleh Mikko akhirnya di makan Pertiwi, saat Pertiwi mau masuk ke kamar, kamar Mikko dibuka tak sengaja mata Pertiwi melihat Mikko sedang memeluk wanita di kamarnya.
" Hmmm wanita dan lelaki tak punya rasa malu, atau disengaja untuk memanasiku!" guman Pertiwi tak mempedulikan dia terus langsung menuju kamar.
Terdengar getar ponsel, Pertiwi mengambilnya di nakas.
"Fabian," guman Tiwi.
"Halo dokter cantik, besok aku pengin ngajak kamu makan di rumah makan kenangan saat kuliah," suara Fabian disana.
" Nanti kalau istrimu tahu bagaimana Bian?" dan Mikko dengan wanitanya telah berada di dekat pintu kamar Tiwi, Mikkopun menatap Tiwi tapi dia tak mempedulikannya, tangannya langsung memegang handel terus ditutup pintu kamarnya.
" Suamimu enggak merajuk kalau tahu kamu dihubungi laki laki?" ujar Fabian disana,
" Enggak, suamiku laki laki baik hati dan tidak cemburuan dokter Bian," suara Tiwi sengaja di keraskan biar Mikko dengan wanita itu dengar.
" Bagaimana tawaranku dokter cantik?" desak Fabian disana.
" InsyaAllah Bian."
Terdengar suara Adzan Magrib sehingga mereka menutup ponselnya.
Malam hari saat Mikko pulang, kamar Tiwi langsung di kethuk oleh Mikko, Tiwi langsung membuka pintu.
" Hai, ternyata sangat mudah untuk melepasmu!" kata Mikko dengan tangan mencekeram kasar baju depan Tiwi,
" Tapi rugi kalau aku belum mencicipimu dokter!" lanjut Mikko beringas, Mikko langsung mendekap kasar tubuh Tiwi, pakaiannya ditarik kuat sehingga baju depan Tiwi sobek sampai kebawah, ternyata tenaga Mikko sangat kuat sehingga Tiwi kewalahan, bahkan pakaian dalamnya ditarik kuat dan dimasukkan ke mulut Tiwi, tangan Tiwi di pegang kuat oleh tangan kekar Mikko dan tubuh Tiwi di dorong keatas kasur. Mikko menindih tubuh Tiwi, dengan nafas terengah Mikko menghantamkan tanpa ampun berkali kali ke Tiwi, Mikko sama sekali tak mempedulikan jeritan Tiwi, setelah selesai Mikkopun pergi, Tiwi sangat sakit dan sedih hatinya, diapun meneteskan air mata pilu, dengan terseok seok Tiwi bangkit menuju kamar mandi.
"Aku tidak perlu menangis, aku wanita kuat dan tak perlu meratapi nasib!" gumannya lirih. Sebagai dokter walau bukan spesialisnya ia berusaha menjaga kebersihan dan kesehatan, karena Mikko baru saja bersama wanita, dia tidak tahu tentang status wanita itu, yang ada dalam pikiran Tiwi adalah kuman yang membahayakan kesehatan dirinya.
Malam semakin larut, Tiwi mengunci kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur, matanya mulai ngantuk, iapun tidur.
Paginya Tiwi memasak, paling tidak untuk sarapan sendiri, dan dia melihat Mikko menuju ruang makan, mungkin hidungnya mencium bau masakan Tiwi atau kelaparan, dia duduk di kursi, dan nasi di piring dengan gurameh lombok hijau langsung dimakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments