Satu minggu dari saat aku bertemu dengan Anis telah berlalu, pertemuan singkat yang membuatku berfikir setiap malam.
Jika aku bekerja maka keinginan untuk kuliah masih bisa terbuka, walau aku tau kemungkinan itu sangatlah kecil. Bekerja beberapa tahun sambil menabung untuk biaya kuliah.
Ya, aku akan melakukannya. Aku tak mau membebani kedua orangtuaku lagi, jadi hari ini ku putuskan untuk menerima ajakan Anis untuk bekerja bersamanya.
"Apa kakak sudah yakin? Itu jauh dari rumah kak, nanti apa bisa kos? Ibu gak tega nak.." Ucap ibu ketika aku menyampaikan keputusanku.
Ibu duduk di sampingku, mengamati ekspresi wajahku, beliau tau aku kecewa karena tak bisa melanjutkan kuliah, beliau tau kemarin aku menangis sepanjang malam setelah berkata pada ayah bahwa aku mundur dari jalur beasiswa.
Aku mengambil tangan ibu, mengusapnya lembut, "Bu, Anya yakin bisa, ada Anis yang akan membantu, dia teman yang baik, nanti Anya juga bareng Kia, ibu gak usah khawatir, jadi tolong izinin Anya ya bu.." Ucapku memohon.
Ibu memejamkan mata sebentar, lalu memelukku, "Yasudah kalau kakak sudah yakin, tapi tetap hati-hati ya kak, sholat 5 waktu jangan sampai bolong, sudah izin sama ayah?"
"Sudah bu, kata ayah yang penting Anya harus bisa jaga diri dan iman Anya bu..".
Ibu melepas pelukannya, menatapku sambil berkaca-kaca. Aku tau kedua orangtuaku sebenarnya tak tega jika aku bekerja jauh dari rumah, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa, tetap di sini hanya akan membuatku sakit hati dengan banyaknya orang yang mencibir kehidupan kami.
"Kak Anya mau kerja? Dimana? Wah nanti kak Zidan kangen loh....", suara cempreng tiba-tiba mengagetkanku. Sial. Nih bocah bisa-bisanya bertanya seperti orang dewasa.
"Heh Chibi Maruko Chan kalau pulang tuh salam dulu, jangan langsung tanya-tanya gak jelas,"
"Kakak. Fani kak. FANI. F-A-N-I. Jangan ganti-ganti seenaknya ya. Itu nama pemberian ayah, kalo kakak mau ganti sana potongin kambing dulu buat syukuran", Fani bersungut-sungut kesal, wajah chubby-nya semakin terlihat bulat saat mengerucutkan bibir tipisnya dengan lucu.
"Lah kok kambing, potong tahu aja dek, dikasih telur, di campur bumbu, terus digoreng dimakan bersama," ucapku meledeknya.
"Ah itu mah tahu telur kesukaan kakak. Bu memangnya ada ya tasyakuran yang cuma menyembelih tahu?", Fani bertanya pada ibu yang sudah menahan tawa karena obrolan kami.
"Ada. Nanti deh kakak yang masakin, mau nggak?", ucapku sambil beranjak dari kursi yang ku duduki bersama ibu.
"Ogah. Nanti malah keasinan. Tapi kata kak Zidan kalau kakak gak bisa masak gak apa-apa soalnya di rumah sudah ada pembantu. Ciyyeee kakak mau nikah ya sama kak Zidan?", Fani bicara cepat tanpa jeda, membuat ibu menganga tak percaya dengan apa yang dikatakan Fani.
Astaga nih bocah makin ngawur ternyata. Aku melangkah cepat kerahnya, kujewer pipi kanan dan pipi kirinya bersamaan. "Fani sayang kalau masih sayang sama pipi bakpao kamu ini jangan lagi ngomongin kakak ke kak Zidan ya? Oke?".
"A.......... ibu... tolong.... Liat nih pipi fani jadi tambah gede. Itu tangan kakak apa tangan Chouji sih? Pas banget bisa nangkup pipi fani."
Aku berlari setelah melepas cubitan ku. Haha, rasain, salah sendiri masih ember cerita-cerita tentang kakak sendiri ke orang lain.
"Sudah dek. Sini ibu liat. Oh gak apa-apa, nanti setelah makan bisa balik seperti semula kok. Tapi besok-besok kalau kak Zidan nanyain tentang kak Anya adek jangan jawab ya", ucap ibu menenangkan Fani.
"Tapi Fani sudah gak nerima permen kok dari kak Zidan, terus kenapa Fani juga gak boleh cerita tentang kak Anya bu?" ucap Fani logis, memprotes ibu. Nih anak cerdas juga ya, bisa mengkritik omongan orang yang tidak sependapat dengannya.
"Gini loh dek. Kalau misalnya ibu yang bilang ke Devan atau ke Naya adek sudah kelas 3 tapi kadang masih suka ngompol, kira-kira adek marah gak sama ibu? malu gak sama mereka?", ucap ibu menjelaskan.
"Ya jangan bu! Jangan bilang ke mereka. Fani malu." Fani langsung menjawab tanpa berpikir.
"Nah itu juga yang dirasakan kak Anya. kalau Fani cerita ke orang lain kak Anya juga pasti marah sama Fani, malu sama kak Zidan juga,"
Fani mengerutkan kening, seolah berfikir dengan keras apa yang diucapkan oleh ibu. "Oh, gitu ya bu. Yasudah nanti Fani minta maaf ke kakak terus Fani gak akan cerita-cerita lagi deh sama kak Zidan,".
"Yasudah sekarang ganti baju terus makan siang ya."
"Siap bu," Ucap Fani sambil meletakkan tangannya di dahi, persis posisi hormat grak pada saat upacara. Ibu tersenyum lega, akhirnya Fani mengerti tanpa harus menjelaskan panjang lebar apa yang harus dilakukannya ketika melakukan kesalahan.
"Bu, Anya ke rumah Kia dulu ya, mau bahas apa saja nanti yang mau dibawa ke tempat Anis," pamitku pada ibu. Rumah Kia tidak begitu jauh dari rumahku, hanya 15 menit berjalan kaki, tapi melewati rumah para tetangga yang suka mencibir kehidupanku dan keluargaku.
"Iya, hati-hati ya nak, kalau ketemu bu Ayu atau bu Wati gak usah di ladeni," pesan ibu padaku.
"Siap bu," Aku menaruh tangan kananku dipelipis kanan, persis seperti yang dilakukan Fani saat bicara pada ibu tadi.
"Kakak sama adek kompak sekali ya sekarang, suka hormat grak sama ibu," ibu tersenyum senang, mengamati ku sampai hilang dibalik pintu.
Baru 5 menit berjalan yang di khawatirkan ibu terjadi. Aku berpapasan dengan bu Wati di depan rumahnya. Aku mengangguk sopan, tersenyum ke arahnya walau mukanya terlihat masam ketika melihatku.
"Mari bu...," ucapku berbasa-basi.
"Mau kemana Nya? Katanya mau daftar kuliah tapi gak kesampaian ya? Kasian sekali.. Makanya kalau gak punya uang gak usah sok mau kuliah, gak kasihan apa sama orang tua kamu. Langsung kerja atau nikah saja Nya, biar gak jadi beban." Bu Wati bicara panjang lebar tanpa jeda, tanpa spasi.
"Mau ke rumah Kia bu, mari..", ucapku singkat, kemudian langsung melangkah lebih cepat meninggalkan bu Wati yang masih menggerutu kesal karena kuabaikan. Selalu seperti itu. Apa salah kami yang ekonominya memang masih di bawah? Kenapa mereka yang ekonominya di atas selalu mengolok-olok kami? Tidakkah mereka berfikir bahwa kami juga berhak punya cita-cita? Punya keinginan untuk merubah nasip kami suatu hari nanti?
Huffff. Aku meniup ujung poniku. kuedarkan pandangan ke sekitar rumah Kia. Rumah yang sedikit lebih besar dari rumahku ini tampak selalu bersih, beberapa tanaman kecil juga tertata rapi di ujung teras, pohon mangga di tengah halaman menambah kesejukan di rumah Kia.
"Anya? Ayo masuk Nya, ngapain cuma berdiri disitu?", Ucapan Kia membuatku menoleh ke arahnya. Gadis manis dengan wajah dan iris mata yang indah ini adalah teman sekelas ku.
"Enggak, cuma menikmati suasana. Anginnya sepoi-sepoi enak, disini aja Ya, sejuk."
"Okelah. Bentar ya, aku ambil camilan dulu," ucap Kia kemudian masuk ke rumahnya.
Kami membahas semua hal untuk persiapan keberangkatan kami besok pagi. Sudah sepakat akan melewati ini bersama. Menghadapi dunia kerja. Dunia yang akan merubah jalan hidup kami. Yes, we are ready to go.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Senajudifa
aku nyicil y thor
2022-05-22
1
Zhree
pipi ohh pipi
2022-05-18
2
Ryoka2
Salam dari Queen System 🥰
2022-04-22
2