Setelah hari di mana Rey datang untuk melamarku, tibalah hari pernikahan yang sudah dinantikan.
Ibu memilih menikahkanku di sebuah gedung karena halaman kami terlalu sempit. Tamu yang dibawa oleh Om Gunawan dan Rey pun tak terlalu banyak. Hanya sanak saudara dan sahabat saja.
Pesta pernikahan yang kudambakan memang tak terlalu mewah. Cukup sederhana dengan pelaminan simpel dan gaun yang sederhana pula. Om Gunawan banyak memujiku sebagai menantunya karena tak terlalu suka dengan hal-hal yang berlebihan.
Seorang gadis cantik terlihat mendekati kami hendak bersalaman. Tak sengaja kulirik Rey yang sedang terfokus dengan gadis itu yang semakin mendekat. Dia menaiki anak tangga dan langsung menyambar tangan Rey.
"Selamat, Rey," kata gadis itu sambil tersenyum lebar dan tiba-tiba dia juga mencium kedua pipi Rey.
Aku hanya termangu dan sedikit membuka lebar kelopak mataku. dengan mulut yang masih menganga, dia berjalan ke arahku dan mengucapkan kalimat yang sama. Ia juga mencium pipi kanan dan kiriku.
Seuntai senyum merekah sesaat sebelum ia meninggalkan panggung pelaminan.
Aku masih berfikir keras bersamaan dengan Ibu berbisik-bisik di telingaku.
"Itu, siapa? Kok main nyosor-nyosor suami orang!" bisik Ibu padaku. Dari nada berbisiknya, nampak Ibu sedang kesal dengan gadis itu.
Aku juga tak mengerti dengan beberapa orang kaya. Mereka bahkan tak ada ikatan pernikahan, bisa-bisanya mereka melakukan itu.
Setelah resepsi selesai, malam harinya aku dan Rey langsung pulang ke rumah kami. Tentu saja rumah yang sudah disiapkan oleh Papa mertuaku.
Rey yang duduk di belakang masih saja bersikap acuh meski make up yang kukenakan hari ini cukup membuat beberapa orang terpana.
Aku hanya menghela nafas dan memandangi Rey yang tengah asyik melihat pemandangan luar jendela.
"Rey,"
Dia menoleh ke arahku.
"Gadis cantik tadi, siapa Rey?"
Biji matanya sedikit menonjol setelah mendengar pertanyaanku.
"Vina," jawabnya acuh sambil melihat kembali ke arah luar jendela.
"Dia...?"
"Sahabatku."
Sahabat? sedekat apa mereka sampai cipika cipiki padahal Rey sudah menikah.
Mobil yang telah dihiasi beberapa bunga dan pita ini pun berhenti di sebuah rumah minimalis. Sopir membantu mengangkat beberapa barang yang kami bawa ke dalam rumah.
Saat aku membuka pintu kamar. Terlihat kamar pengantin yang begitu cantik. Di atas ranjang ada tumpukan bunga mawar dan putih berbentuk hati. Aku sangat senang melihat kamarku. Tapi, saat aku ingat Rey, rasa bahagia itu sirna. Rasa acuhnya terhadapku tak mungkin membuat ia menyentuhku malam ini.
"Kamu tidur di sini, aku akan tidur di kamar yang lain," kata Rey saat selesai meletakkan beberapa tas di kamar pengantin ini.
Aku hanya mengangguk pelan sambil menatapnya di tepian ranjang. Saat Rey pergi, tatapanku memandang iba ke arah kumpulan bunga di ranjang.
Hai bunga...
Malam ini kau tak bisa menyaksikan dua insan memadu kasih malam ini
Hai bunga...
Beriku kekuatan, untuk bisa menghadapi sikap lelaki yang kini kupanggil suamiku
Aku segera membereskan bunga-bunga indah ini dan langsung membuangnya. Bila aku membiarkan bunga itu semakin lama di sana, akan membuat hatiku semakin sakit saja.
Tak sengaja, aku melewati kamar Rey yang memang berhadapan dengan kamarku.
Aku berhenti di depan pintu yang tertutup. Tiba-tiba saja, tangan ini sudah membelai daun pintu berwarna coklat ini. Dengan air yang menetes dari mataku.
Aku segera berjalan cepat menuju kamarku dan menangis di sana.
Bagaimana akan kuhadapi kehidupan ini esok? Aku dan Rey sudah menikah, tapi kami seperti orang asing di bawah atap yang sama.
Tak lama aku menangis, aku mendengar suara pintu di ketuk.
Tuk tuk tuk...
Aku segera bangkit dan menghapus air mata ini. Perlahan berjalan dan membuka pintu kamar.
"Rey?"
Sambil menggaruk kepala belakang dia berucap, "Bisa, buatkan aku nasi goreng. Aku lapar." Kulirik jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam.
"Oke, tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Aku boleh, ya, tidur di kamar kamu?"
Rey diam dan memegang gagang pintu kamarku lalu menutupnya. Dengan terburu-buru, aku pun membuka kembali pintu kamarku yang di tutup Rey.
"Rey." Dia berbalik dan melihatku.
"Aku bercanda, Rey." Aku tersenyum semanis mungkin melihatnya.
Aku berjalan ke dapur dan Rey mengikuti dari belakang. Aku membuka lemari pendingin dan mengambil beberapa sayur dan bumbu.
Tanganku dengan cekatan mengambil beras dan memasaknya. Sementara Rey, hanya duduk sambil membaca koran.
Saat berkaca mata saja dia sudah sangat keren. Oh suamiku, andai saja...
Klek.. suara tanda nasi sudah matang. Aku kembali menghadap kompor dan memasak untuk suami tercinta.
"Hei..."
"Ya." Aku melihat Rey yang memanggilku.
"Apa tak ada baju yang lebih baik dari itu?"
Kenapa dia menyinggung bajuku? Bukannya bagus baju minim ini kupakai di rumah?
"Kenapa kau tanya padaku? Bukannya Papa yang sudah membeli ini?"
Terlihat Rey menghela nafas dan melepas kaca mata beningnya.
"Baju itu tak cocok untukmu."
Perkataannya membuatku sebal. Tapi, aku coba bersabar.
Aku berjalan ke arahnya dan membawa sepiring nasi goreng yang dihiasi mentimun dan tomat berbentuk hati.
Aku letakkan piring di meja makan tepat di hadapannya. Perlahan, aku duduk di meja sambil menatapnya.
"Rey." Aku mendekati wajahnya dan membungkukkan badanku.
"Selamat menikmati."
Sontak Rey berdiri dan membanting koran di atas meja.
"Kau merusak selera makanku." Dia lantas pergi.
"Rey ... " Tapi dia tak menghiraukan panggilanku.
Dengan wajah gusar, aku kembali ke dapur untuk membereskan peralatan memasak. Tanpa diduga, Rey berlari dan mengambil nasi goreng yang masih kuletakkan di atas meja. Ia membawa nasi goreng itu ke kamarnya dan mengunci pintunya.
Aku kira dia nggak laper. Hemm, dasar.
**
Dok dok dok.. Aku menggedor pintu kamar Rey.
"Rey, buka pintunya. Aku takut tidur sendiri Rey." Sambil memohon aku juga membawa bantal.
"Rey ... " Pintu terbuka.
"Rey, aku mau tidur di sini, ya. Aku takut sendirian. Kamar itu terlalu lebar untukku, Rey."
"Kamu ini bukan anak kecil. Tidur aja minta ditemenin."
"Rey, aku mohon Rey." Aku coba menerobos masuk, tapi Rey masih menghalangiku. Dia lantas mendorongku sampai aku masuk ke kamarku.
"Tidur saja di kamar kamu sendiri!"
Jedeerrr.. Kamarku di banting olehnya.
Dasar cowok. Nggak tau apa kalo aku beneran takut. Kamar ini gede banget lagi. Gimana nih. bisa tidur nggak ya.
Sambil melihat keadaan sekitar. Aku mencoba untuk tidur.
Dek. dek. dek.
Detak jam dinding mewarnai malamku. Entah jam berapa sekarang. Aku bersembunyi di balik selimut merah muda karena takut. Kalau di rumah, aku biasanya tidur dengan Ibu, lalu bila dirasa aku sudah terlelap, barulah Ibu pergi ke kamarnya.
Tapi, tak jarang aku tidur sendiri, hanya saja kamarku dan kamar Ibu bersebelahan. Hanya terhalang sekat saja. Aku mencoba terlelap kembali. Suara pintu dibuka mengejutkanku.
Aku menelan ludahku karena takut. Suara kaki berjalan ke arahku, dengan terpejam, aku semakin takut. Keringat ini, tak terasa sudah membasahi wajahku.
Siapa itu.
Deg.. deg.. deg.. suara jantungku terdengar jelas di telinga.
"Rey ... ?" bisikku lirih.
Rey duduk di ranjangku lalu merebahkan tubuhnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Kadek
next
2020-07-15
1
🍾⃝ͩкυᷞzͧєᷠуᷧ уιℓ∂ιzι🥑⃟𐋂⃟ʦ林
Semangat Thor
2020-06-27
1
Lavendulaaa
rey rey bilang mau aja susah amat
2020-06-23
1