Aku duduk di tengah antara Ibu dan Ayah, setelah terjadi adegan kejar-kejaran aku dan Ibu.
Kek film indiho aja suka kejar-kerjaran. Bhahah. kataku dalam hati. Namun, tertawa kecil itu didengar oleh Ibu. Ia menyenggol lenganku dengan cepat.
Sedari aku datang, aku terus tertunduk malu dengan kelakuanku. Memang, kadang aku suka bersikap sedikit konyol, walau umurku sudah tak belia lagi.
Tertawa kutahan ketika ingat aku berlari sebelum melihat Rey. Pria gemuk, brewokan dan berkepala botak di depan itu adalah Pak Gunawan, Ayah Rey. Rey berada di sampingnya dan tak terlihat olehku karena tertutup tubuh tambun Ayahnya.
Sesekali aku tertawa dan melirik Rey. Dia hanya memandang ke sana ke mari seperti merasa tak nyaman. Tak berapa lama, Rey berpamitan ingin ke toilet. Aku berinisiatif mengantar Rey. Walaupun rumah ini tak terlalu besar, ini adalah kesempatan untukku lebih dekat dengan calon suami idamanku.
Aku bangkit dari duduk dan berjalan ke belakang. Rey membuntutiku di belakang.
"Itu." Aku menujuk pintu berwarna biru di pojok dapur.
Sambil menunggu, aku menarik kursi dan duduk. Telapak tangan kiri kuletakkan di bawah dagu. Jemari tangan kananku gretakkan di meja.
Apa orang ganteng itu kalo pipis lama banget? tanyaku dalam hati sambil melihat pergelangan tangan yang tak ada jamnya.
Setelah sekian, sekian, sekian menit, Rey pun keluar dari tempat persembunyiannya.
"Apa ada tisu?" Aku yang mendengar pertanyaannya segera berlari ke kamarku mengambil tisu.
"Ini."
Rey mencabut sehelai tisu dari kotak yang sedang kupegang. Ia menyapu-nyapu wajahnya dengan tisu. Terpejam sebentar karena kelopak matanya juga ia bersihkan.
Ia lantas memberikan kepadaku tisu bekas usapan wajahnya. Aku mencium tisu itu.
Hem, wangi.
Buru-buru aku buang saat dia menoleh kepadaku.
"Rey," sapaku.
Ia berhenti dan membalikkan badan.
"Ya."
"Apa kamu lupa denganku?"
Ia lantas mengerutkan kening tanda sedang memikirkan sesuatu.
"Kamu..."
"Kamu..."
Aku sedang menanti jawaban.
"Kamu Alma, kan."
Haa? Gubrak! Dia lupa. Bukankah belum berganti hari?
"Oo, kasir minimarket?"
Aku tersenyum datar. Dia tersenyum tipis dan menggaruk kepala belakangnya.
Waaah, tampannya. Boleh nggak sih aku cubit pipi itu? Kuci.. kuci.. kuci..
"Emm, mau nggak temenin aku ngobrol." Tanpa jawaban, Rey menarik kursi di sebelah kursi yang aku duduki tadi. Aku pun menyusulnya duduk.
Nggak mau nanya duluan gitu?
Aku meliriknya yang sibuk memandangi dapurku.
"Emm, Rey. Kamu inget sama aku nggak?"
Dia menoleh dan memandangiku saksama. Dia kembali mengerutkan kening. Namun, belum ada jawaban.
"Bukannya, dulu kamu pernah sekolah di Jakarta?" tanyaku
"Ya."
"Berarti, benar. kalau kamu dulu kakak kelasku. Kamu dulu ketua OSIS, kan?"
Ia mengangguk. "Ya."
Aku menoleh ke depan. Nggak ada jawaban lain apa? Ya, ya.
"Apa kamu lupa denganku, Rey. Almaira Syafitri? Adik kelasmu dulu?" tanyaku antusias.
Lagi-lagi Rey hanya diam tanpa jawaban.
"Yang waktu MOS memberiku bunga sepatu dan permen coklat itu?"
Kenapa dia mengingat hal konyol itu?
Aku tertunduk lesu dan menggeletakkan kepala di atas meja.
Drrrk.. suara derit kursi.
Rey meninggalkanku di dapur. Sementara aku masih lesu dengan masa lalu memalukan itu.
Saat itu, kali pertama aku melihat Rey. Semua anak baru, terutama anak perempuan, menjerit histeris saat pertama kali melihat Rey. Saat aku ketahuan memotret Rey diam-diam, aku dihukum oleh Kakak kelas yang lain. Hukuman itu beruap menyatakan cinta langsung kepada Rey.
Aku mengambil bunga sepatu di depan pagar sekolah, dan membeli permen coklat lima ratus rupiah. Dengan dandanan bak orang tidak waras, aku berjalan dengan percaya diri ke tengah lapangan basket.
"Kak," sapaku. Seketika ia menoleh melihatku.
"Maukah kau jadi pacarku?" sambil membungkuk dan melipat satu kaki kebelakang.
Kekonyolanku dulu sangat luar biasa. Walau riuhan sorak dan tepuk tangan teman-teman yang lain mulai membuatku gemetar, aku tak boleh mundur saat ini.
Dia memandangku, aku menunduk karena tak kuat melihat wajahnya. Di ambilnya permen coklat dan langsung ia makan di sana. Dan saat ia mengambil bunga sepatu yang mulai layu, langsung dijatuhkannya begitu saja. Dan ia pun meninggalkanku terdiam di sini.
Suara telapak tangan beradu di belakang. Ternyata, Rey dan temannya sedang mempermainkanku. Aku hanya terduduk lemas di tengah lapangan sambil mendengar teman-teman yang lain meneriakiku semakin kencang.
Sebal, kenapa harus kenangan konyol itu yang dia ingat?
"Ma, Rey dan Papanya mau pulang, nih." Aku terkejut dan berlari ke depan.
Aku memandangi mereka yang masuk ke dalam mobil hingga mobil tak tampak dari pandangan. Aku menghela nafas.
Dia masih seperti dulu. Cuek. Bisa jadi itu alasan mengapa dia belum menikah sampai sekarang.
Drrrtt... drrrt... Ponsel bergetar.
Sebuah pesan masuk. Tapi, hanya nomor saja.
[Ini, saya. Rey]
Aku loncat kegirangan melihat pesan dari Rey. Dengan cepat aku membalasnya.
[Hai, Rey. Kok bisa dapat nomorku?]
[Ayahmu] balasnya.
[Hemm]
[Besok, Papa akan mengajakmu pergi]
Hah? Papanya? Aku mau nikah sama Rey, atau sama Papanya.
[Sama Papa kamu?]
[Denganku juga]
Haa, leganya. Emang, nih orang suka buat aku spot jantung.
[Oke] balasku sebagai penutup pesan.
**
"Bu, hari ini Alma diajak pergi sama Rey dan Papanya."
"Kemana?" tanya Ibu.
"Nggak tau."
Aku pergi ke kamar dan melihat satu persatu pakaianku di dalam lemari. Kebetulan hari ini aku sedang shift malam di minimarket. Jadi, aku bisa bebas jalan-jalan dengan Rey. Satu persatu pakaian ku lihat.
Satu lemari kenapa nggak ada yang cocok?
Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB. Sebentar lagi Rey datang.
Gawat!!
Kuraih handuk dan segera mandi. Aku terburu-buru dari biasanya. Hingga Rey kini sudah ada di rumahku. Aku hanya mengenakan bedak dan lipstik saja.
Gawat, gara-gara aku sibuk dengan pakaian, sampai tak sempat untuk berdandan.
"Ibu, Alma berangkat. Assalamualaikum," pamitku dan mencium tangan serta pipi Ibu.
Aku berjalan seanggun mungkin di depan Rey. Jangan sampai aku menunjukan kekonyolanku lagi di depannya hingga membuatnya ilfeel. Aku tersenyum saat memasuki mobil hitam mengkilap miliknya.
Di perjalanan, aku hanya memandangi wajah Rey yang sedang fokus menyetir.
"Jangan lupa berkedip," katanya. Sontak aku melotot dan menoleh memandang ke arah depan.
"Kita mau kemana Rey?" tanyaku.
Dia diam.
Jawab kenapa kek.
"Ke rumahku," jawabnya.
Aku mengangguk mengerti. Tak lama kemudian, aku menguap dan tertidur. Perjalanan satu jam ini, membuatku tertidur di mobil.
Beberapa saat, aku merasakan tubuhku digoncangkan perlahan. Aku bangun dan kembali menguap. Aku terkejut saat turun dari mobil.
Wah, ini rumah apa istana?
Aku berjalan dengan santai mengikuti Rey dari belakang.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Kadek
kk aku titip boomlike nya n rate di sini
2020-07-15
1
Angela Jasmine
Lanjuuuttt lagi kakak 👍👍
2020-07-11
1
Zanuba Mashud (ririn)
semangat
2020-06-25
1