Aku masuk mengikuti Rey dari belakang. Ia langsung menuju ruang makan. Di sana ada Om Gunawan yang duduk di kursi sambil membaca koran.
"Duduk Alma," kata Om Gunawan.
Aku duduk di sebelah Om Gunawan. Sementara Rey duduk di depanku.
"Rey. Nanti kamu temani Alma belanja," titah Om Gunawan kepada Rey.
"Belanja apa, Pa?" tanya Rey pada Papanya.
"Belanja kebutuhan pertunangan. Apalagi," jelasnya.
Aku dan Rey sama-sama terkejut. Kami sesaat saling menatap, tapi Rey hanya diam saja dengan perkataan Papanya.
Rey bangun dan pergi entah ke mana.
"Alma. Maklumi saja, Rey. Dia memang seperti itu. Anak tanpa Mama mungkin memang seperti itu."
"Iya, Om. Alma sudah tau Rey seperti itu."
Om Gunawan tersenyum kecil dan mengangguk.
"Apa kamu tau kenapa om akan menjodohkan anak om itu dengan kamu?"
Aku menggeleng. "Enggak, Om."
"Kamu setuju, kan kalo jadi menantu, om?"
Ya elah, nanya sekarang.
"Iya, Om. Ayah saya kalo nggak dituruti suka ngamuk," jawabku polos.
"Jadi kamu terpaksa menuruti kemauan Ayah kamu?"
"Oh, enggak, Om. Saya dan Rey pernah satu sekolah. Sampai di umur saya ke 25 ini, saya masih belum menikah, mungkin, saya memang berjodoh dengan Rey," tuturku.
Ngerti atau enggak, nggak masalah, deh. Masa iya aku bilang kalo aku suka sama Rey. bisa turun harga diri.
Aku tersenyum ke pada Om Gunawan.
"Dulu, sekitar 15 tahun yang lalu, saya pernah diselamatkan oleh Ayah kamu. Saat itu, saya baru saja keluar dari bank untuk mengambil uang. Perampok hampir mengambil uang saya."
Aku mendengarkan Om Gunawan saksama.
"Untung ada Ayah kamu. Dia berani melawan perampok-perampok itu, hingga mengundang banyak orang dan mengeroyok perampok," lanjutnya.
"Saya berjanji kepada diri saya sendiri bahwa saya akan menjodohkan anak saya dengan anak Romi, yaitu kamu."
Aku tersenyum dan mengangguk. Rey datang dari arah belakang mengejutkanku. Kepalanya di goyangkan ke arah samping satu kali tanda mengajakku pergi.
Aku bangkit dari kursi dan pamit kepada Om Gunawan.
"Saya pergi dulu, Om, Assalamualaikum," pamitku. Sementara Rey, langsung pergi begitu saja.
"Sebentar, Alma," cegah Om Gunawan.
Aku berjalan kembali karena ia memanggilku.
"Ini, buat kamu. Kamu nggak usah kerja lagi di minimarket itu, ya." Om Gunawan memberiku kartu ATM. Aku melihatnya dengan terkejut.
ATM? Seneng atau gimana, nih. Kan aku sama Rey belum nikah. Seneng aja deh. Nanti Om Gunawan tersinggung lagi, gumamku dalam hati.
"Kenapa? kurang?" tanya Om Gunawan.
Kurang gimana? Aku, kan nggak tau isi dalamnya berapa.
"Enggak, Om. Terima kasih."
"Ya, nanti minggu depan, akan om suruh Rey transfer lagi."
Aku hanya tersenyum dan berlalu menyusul Rey yang sudah ada di dalam mobil.
Setelah aku masuk, ia lantas memacu mobilnya. Di dalam mobil, kami hanya diam saja. Sesekali kupandangi Rey yang sibuk menyetir.
"Rey?"
"Hemm."
"Apa.. Kamu terpaksa menerima perjodohan ini?" tanyaku sedikit ragu-ragu.
"Iya," jawabnya singkat.
Ohh, jujurnya. Kenapa hatiku terasa tertusuk jarum? Auu
"Kalau memang terpaksa, lalu kenapa kamu setuju, Rey?" tanyaku lagi.
"Aku nggak mungkin nolak, Papa punya riwayat sakit jantung," tuturnya.
Aku hanya mengangguk. Saat ini, entah harus bahagia atau sedih tentang perjodohan ini. Aku harus bagaimana bila Rey tidak mencintaiku?
Mobil pun sampai di depan toko perhiasan. Kami turun dan langsung berjalan ke sana. Aku melihat bermacam-macam perhiasan yang terjejer rapi di sana.
"Silakan dipilih perhiasannya," kata seorang wanita menghampiri kami.
Aku menunjuk cincin emas bermotif kupu-kupu.
"Rey, itu bagus nggak?" tanyaku menunjuk cincin yang kupilih.
Dia melirik dan mengangguk saja.
Ya ampun, dia pikir ngomong itu berbayar, ya? huuh.
Aku memilih satu cincin dan Rey membayarnya.
"Saya tambah dengan satu paket perhiasan," katanya.
Aku melotot memandang Rey.
Ehh, sekalinya dia ngomong berapa duit tuh.
"Buat apa, Rey?"
"Perintah Papa,"
Oh, Om Gunawan. Sudah kukira. Nggak mungkinkan dia inisiatif beliin perhiasan sebanyak itu?
"Ke toko baju nanti," ucapnya.
"Yaaa!" jawabku sedikit berteriak.
Setelah membayar perhiasan, kami melanjutkan perjalanan menuju toko pakaian.
Mungkin, dia akan beli baju untuk tunangan nanti. Seperti kata Om Gunawan tadi.
Aku dan Rey sampai di butik. Butik Almira.
Hampir sama kaya namaku, sih, hihi.
Wanita di sana memilihkan baju yang cocok denganku dan Rey.
Baju di sini biasa saja menurutku. Modelnya juga biasa aja. Kenapa Rey ke sini?
Saat aku melangkahkan kaki mendekati meja, aku melihat kacamata terjejer rapi di sana. Aku memandangi satu per satu kacamata itu. Saat aku mencoba mekihat harganya, terkejut dengan harga yang tertera.
"Haah? kacamata jelek begini 2 juta? Hup." Sontak aku menutup mulutku. Wanita muda yang sedang memilihkan baju untuk Rey melirikku dengan sinis.
Astaga, tu mata tajem amat. Apa aku maling?
Setelah aku dan Rey selesai memilih-milih baju, kami pun pergi. Kami masuk ke dalam mobil. Setelah baru saja duduk, tiba-tiba aku merasakan sakit di perutku.
Aku memegangi uluhati dan menekannya. Rey malihatku dan bertanya, "Kamu kenapa?"
"Sakit," jawabku sambil menggigit bibir bawahku menahan sakit.
"Kamu belum makan?" tanya Rey.
Aku hanya menggeleng kecil.
Rey memacu mobilnya. Aku berkeringat dingin. Rasa perih kurasakan semakin tak tertahan. Semetara Rey, masih diam dan menyetir. Ia lantas membawaku ke sebuah klinik yang tak jauh dari tempat kami sebelumnya.
Rey keluar terlebih dulu dan membawa kursi roda. Ia dibantu perawat wanita, menggendongku dan meletakkanku di kursi roda. Perawat wanita mendorongku masuk ruangan. Aku masih menahan sakit sampai seorang dokter datang.
Setelah aku darahku di tensi, dokter langsung menyiapkan resep obat. Maag-ku kambuh. Begitulah kiranya kata dokter klinik.
Setelah sebuah pil obat kutelan dan rasa sakit ini berangsur membaik, aku diperbolehkan pulang oleh dokter. Nampak sedikit raut wajah kesal di wajah Rey.
"Kenapa kamu nggak bilang kalo belum makan?" tanyanya di dalam mobil.
Aku menunduk dan merasa bersalah.
"Iya, maaf," kataku perlahan.
Mobil dipacu kembali. Kali ini entah aku akan dibawa ke mana. Hanya sepuluh menit berjalan, mobil berhenti di sebuah rumah makan.
"Wahh, rumah makan Minang," kataku bahagia.
"Heeeh," cegah Rey. Dia memegang kerah baju belakangku bagaikan anak kucing. Aku yang ingin berlari ke sana terhenti oleh sikapnya.
"Apa?"
"Jangan makan banyak-banyak."
Cie perhatian, hihi.
"Nanti kalo ada apa-apa, aku yang disalahkan," kata Rey.
Huu. Sambil manyun.
Aku masuk tanpa Rey. Okelah, aku makan sendiri. Lamak bana.. Hahaha
**
"Haaah, kenyang, aaaak." Aku bersendawa di depan Rey sambil tertawa puas. Raut wajahnya tetap datar.
Bodo amat, ah. Mau ilfeel, tofeel, trifeel, calon suami ini. Dia, kan nggak bisa nolak Papanya.. Huhuhu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Kadek
lanjutkan kk
2020-07-15
1
Galuh Radya
aku udah hadirrr 😂😂😂
2020-06-26
2
🍾⃝ͩкυᷞzͧєᷠуᷧ уιℓ∂ιzι🥑⃟𐋂⃟ʦ林
lama baru nyampai sini
2020-06-25
0