Setelah kami selesai berbelanja, Rey langsung mengantarku pulang. Seuntai senyum yang sedari tadi tak bisa aku sembunyikan, membuat Ibu yang menungguku di ruang tamu memandangku dengan penuh pertanyaan.
"Ihh. Anak Ibu senyum-senyum terus. Kenapa?" Aku tersenyum lebih lebar setelah mendapat pertanyaan dari Ibu.
"Tadi Alma, kan diajak belanja, Buk."
"Terus Reynya sekarang kemana, Ma. Kok nggak mampir?" tanya Ibu sambil mencari Rey.
"Oh, iya. Tadi dikira Ibu lagi sibuk, makanya dia nggak pamit. Dia mau langsung ke kantor katanya."
"Katanya kamu belanja. Mana, nggak bawa apa-apa?" tanya Ibu sambil memastikan tak ada yang kupegang.
"Dibawa Rey semua, Bu. Kata Om Gunawan lusa mereka mau ke sini. Mau ngasih baju tunangan dan melamar Alma."
"Wah. Nggak terasa, anak Ibu sudah mau menikah."
Ayah datang dari dapur dan membawa secangkir kopi.
"Ma. Nanti, kalo kamu sudah menikah, buatin kopi suami kamu, ya. Jangan sampai dia buat sendiri," kata Ayah sambil mengaduk-aduk kopi yang ia bawa.
"Liat, nih, Ayah. Setiap hari membuat kopi sendiri," tambahnya sambil melirik Ibu.
Ibu mendekat dan mencubit perut ayah.
"Waaa... Sakit, Bu!" teriak Ayah.
Aku hanya tersenyum memandangi mereka.
"Jangan lebay, Yah. Orang, tadi pagi juga Ibu yang buatin kopi. Setiap hari juga Ibu yang buatin kopi."
Aku tertawa kecil.
"Ma. Nanti, kalau kamu udah ikut sama suami kamu, Ibu sama Ayah pasti kesepian," ujar Ibu.
"Ibu kaya Ayah, deh. Lebay. Ibu, kan berdua sama Ayah. Pak Gunawan tuh sendirian nggak kenapa-kenapa," sahutku.
"Iya. Malah enak, Bu. Kita, kan seperti pengantin baru," sahut Ayah.
"Ayah, kumat, ya," kata Ibu.
Karena obrolan semakin tak karuan, aku memutuskan untuk pergi ke kamar dan merebahkan badanku di ranjang.
Si cuek mau jadi suamiku? Dia ganteng, kaya, berpendidikan, tapi, akan seperti apa hidupku kelak?
Kuambil ponsel di dalam tas dan mengirim pesan ke pada Rey.
Akan aku coba untuk mengenalnya. Mungkin saja, kan dia bisa sedikit berubah. Yang lebih bagus lagi kalau dia bisa suka sama aku.
[Hai Rey]
lima menit, pesanku tak kunjung dibalas.
Apa dia sibuk? Oke, akan aku tunggu sebentar lagi.
Setelah setangah jam, pesan tak juga dibalas.
"Alma, ayo makan dulu"! teriak Ibu dari luar.
"Iya, Bu."
**
"Ma. Nanti anterin Ibu ke warung Bik Sarti, ya," pinta Ibu.
"Mau belanja apa, Bu?"
"Mau beli sayur, bahan buat bikin kue, sama beli daster. Daster ibu udah pada sobek. Kan, malu sama Pak Gunawan."
"Kenapa nggak besok aja, Bu. Mereka ke sini, kan lusa."
"Besok kita buat kue, Nak."
"Oh, iya."
"Tadi katanya, Alma belanja?" tanya Ayah yang baru datang dari belakang.
"Iya, Yah. Beli baju, sama perhiasan."
"Ingat, ya. Alma. Setelah kamu menikah, kamu harus melayani semua kebutuhan suami kamu. Jangan melawan perkataannya, karena syurga seorang istri ada pada suaminya," jelas Ibu.
"Iya, Bu. Alma ngerti."
Melihat sikap Rey yang begitu acuh, apa aku bisa melakukan semua yang Ibu katakan.
Aku menghela nafasku perlahan.
Makan siang pun selesai. Aku membantu Ibu membereskan sisa makanan dan mencuci piring. Aku melihat Ibu memasukkan beberapa lauk yang tak habis ke dalam lemari pendingin.
"Bu," panggilku sambil melihatnya.
"Ya, ada apa, Ma?"
Aku memutar bola mata sejenak.
"Apa, dulu Ibu dan Ayah juga dijodohkan?" tanyaku sambil membilas piring.
Ibu tersenyum dan berjalan ke arahku.
"Ibu dan Ayah dulu juga dijodohkan, Sayang. Kakek kamu dulu imam masjid di kampung. Dia tak mau anaknya ini pacaran. Karena dulu ada tetangga Ibu yang hamil sebelum menikah. Kakek, dulu sangat ketat ke pada Ibu. Kalau Ibu tak menurut, kaki Ibu dicabuk sampai merah."
Aku berhenti sejenak dan mendengarkan cerita Ibu.
"Terus, terus, Bu."
"Tapi, Ibu cukup bandel. Dulu ada laki-laki yang suka dengan Ibu. Pas Ibu di ajak nonton layar tancep diam-diam, ketahuan juga sama Kakek." Ibu tertawa kecil.
"Ibu dijewer dari lapangan bola sampai ke rumah. Rasanya hampir copot telinga Ibu."
Aku antusias mendengar cerita Ibu. Ternyata, kekonyolanku mungkin saja menurun dari Ibu.
"Sejak saat itu, Ibu tak pernah keluar malam lagi. Dan waktu umur Ibu 20 tahun, Ibu dijodohkan dengan Ayah kamu."
"Dan akhirnya mereka hidup dengan bahagia," pungkasku.
"Kaya cerita Cinderella, dong."
Kami tertawa bersama.
Bisa jadi, dulu Ayah juga seperti Rey sekarang. Agak lega, sih setelah dengerin cerita Ibu. Seenggaknya ini bisa jadi semangat buatku. Aku juga nggak boleh membuat Om Gunawan kecewa. Walau bagaimanapun, aku yang diharapkan Om Gunawan menjadi menantunya.
**
"Ibu, cepetan," panggilku dari luar.
"Iya, Ibu ambil dompet dulu!" teriak Ibu dari dalam rumah.
Haa. Emak-emak.
Setelah beberapa ratus menit kemudian, Ibu muncul dari dalam rumah. Ia langsung melenggang dan menaiki motor berumur lima belas tahun milik Ayah.
"Ayo cepetan. Dah telat ini," kata Ibu.
Busyet dah, Ibuku satu ini. Yang nunggu lama juga Alma dari tadi. Arrgh.
Aku hanya mampu berkata dalam hati saja. Takut bila Ibu sakit hati.
Aku mengengkol motor Ayah dan berjalan perlahan. Tak sampai 15 menit, kami sampai di warung Bik Sarti. Aku memarkirkan motorku di bawah pohon mangga yang cukup rindang.
Terlihat beberapa ibu-ibu dan anak-anak yang sedang berbelanja di sana. Cukup ramai di sini.
Warung ini cukup besar. Mulai dari sayur mayur, sembako, sampai daster dengan harga terjangkau ada di sini. Cukup lengkap sehingga membuat ibu-ibu gemar belanja di sini.
"Eh, Ibunya Alma. Temben belanja ke sini? Sudah lama si Ibu tidak ke warung saya, sedang sibuk, ya?" tanya pemilik warung dengan logat sundanya.
"Iya. Ini saya mau belanja lumayan banyak, buat acara lamaran si Alma."
"Waah. Alma mau lamaran. Sama anak siapa, Bu Al?"
"Anak Pak Gunawan, yang punya show room mobil itu, Bik."
"Atuh yang punya show room mobil banyak di sini, Bu Al. Hem, berarti calonnya si Alma teh, kaya pisan, ya."
"Alhamdulillah." Ibu tersenyum.
Begitulah sebagian obrolan mereka yang kudengar.
Karena menunggu Ibu berbelanja, aku jadi menguap. Panas yang cukup terik ini membuat otot mata sedikit mengendur, apalagi otot perut yang mengencang.
"Alma!" teriak Ibu dari dalam.
Hah?
Aku terbangun setelah sebentar meletakkan kepala di stang motor. Aku mencari segera mencari sumber suara yang memanggilku.
"Ini, ditata di motor. Bukannya bantuin Ibu malah tidur."
"Ngantuk, Bu. Huuaaam."
Dengan setengah mengantuk aku menata barang belanjaan Ibu. Setelah beres semua, kami bergegas pulang.
"Bu." Aku memanggil Ibu sambil menyetir.
"Apa."
"Alma tadi di kasih ATM sama Om Gunawan."
Tiba-tiba, kepalaku didorong dengan dua jari Ibu.
"Kenapa nggak bilang dari tadi, Alma. Ibu, kan nggak perlu ngeluarin duit."
"Lupa, Bu. Maaf."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Kadek
semngt kk
2020-07-15
1
Lavendulaaa
like like like kakak
2020-06-23
1
Li Na
like
2020-06-17
1