Gedung-gedung tinggi, hilir mudik ramainya kendaraan, serta pohon-pohon yang terlihat kecil dari atas gedung lantai sepuluh itu, menjadi pemandangan bagi Dirga yang tengah berdiri menghadap kaca besar yang menjulang.
Bayangan dua puluh tahun silam. Kehilangan, air mata, tragedi yang paling menyakitkan, sampai saat ini masih terekam jelas dalam memori ingatannya. Langkahnya masih baru dimulai. Menguak semua topeng dari wajah-wajah orang yang telah merenggut kebahagiaannya. Yang sampai saat ini masih berkeliaran menikmati ketenangan dunia.
Suara pintu yang terbuka berhasil menarik kesadarannya. Dibelakangnya sudah berdiri seorang lelaki sedang meletakkan sebuah amplop berukuran besar di atas meja.
"Ini data mengenai orang itu."
Dirga langsung berbalik. Ia bergegas duduk dan membuka amplop tersebut. Netranya tajam membaca biodata dari gambar orang yang juga berada didalam amplop itu.
"Itu data dan foto lama."cetus Gio yang sudah dianggap menjadi tangan kanan Dirga."Kalau sekarang wajahnya pasti sudah tua."
Dirga mendengarkan. Tapi netranya masih tertuju pada kertas putih berisi biodata dan gambar itu. Gambar seorang pria yang mungkin saat itu masih berusia sekita 35 tahunan.
"Kabarnya juga pria itu sudah tidak berada di Indonesia. Gimana, masih mau dilanjutin?"
Dirga langsung memandang Gio dengan sorot mata tajam. Pertanyaan Gio seolah menganggap dirinya orang yang mudah menyerah.
"Santai lah, bro. Aku kan, cuma tanya."Gio meringis.
"Saat ini dia adalah satu-satunya orang yang bisa kita jadikan kunci untuk menguak kasus itu. Aku tidak akan menyerah, walau harus mencari dia keujung dunia sekalipun."
Gio manggut-manggut. Ia mengerti Dirga adalah orang tidak mudah untuk menyerah. Dendamnya seolah sudah mendarah daging. Sulit, dan rasanya tidak mungkin untuk bisa diredam.
"Usut dan cari tahu kemana dia pergi. Dia bukti kuat untuk bisa menjebloskan pria laknat itu ke penjara."
"Oke."sahut Gio mantap."Mau pulang?"tanyanya ketika melihat Dirga memasukkan berkas berkas pekerjaan kedalam tas kerja.
Gio langsung tersenyum penuh arti. Seraya melirik jam yang memang sudah menunjukkan pukul lima sore. Dirinya baru menyadari ternya waktu memang sudah menunjukkan jam pulang kantor.
"Kenapa senyum-senyum?"Dirga mamasang wajah kesal.
"E-enggak ... enggak apa-apa."Sahut Gio cepat."Saya juga mau pulang "Sahut Gio dan langsung berjalan keluar.
"Berhubung hari ini tidak ada lembur, kalian boleh pulang sekarang!"seru Gio pada seluruh karyawan. Sontak seruan itu disambut oleh seluruh karyawan dengan antusias.
"Yang sudah punya anak, silahkan bermain dengan anak yang sudah menunggu dirumah."sambung Gio lagi."Dan yang sudah punya istri .... "Gio langsung melirik Dirga yang kebetulan lewat disebelahnya, hendak pulang.
"Silahkan bermanja-manja dengan istri dirumah."
Sontak Dirga melemparkan tatapan tajam pada Gio. Sementara pria yang tidak terlalu tinggi itu hanya tertawa cekikikan.
"Hei ... bro. Tungguin.!"Seru Gio seraya berlari kecil mengimbangi langkah bosnya itu."Pulang sendiri? Si Dody mana?"tanyanya ketika Dirga berhenti disamping pintu kemudi.
"Cuti."sahut Dirga datar.
"Nebeng dong,"
"Mobil kamu mana?"
"Lagi diservis. Nebeng ya ... nggak mungkin kan, kamu tega biarin aku pulang naik ojek mendung-mendung begini."ujar Gio seraya memandang langit yang memang sudah mendung dan akan segera tumpah. Namun pandangan matanya teralihkan pada sebuah kayu besar dari lantai paling atas yang sepertinya akan jatuh.
"Awas, Ga ...!"
Gio sempat mendorong tubuh Dirga sebelum mengelak menyelamatkan diri.
Namun ternyata kayu besar itu lebih dulu jatuh menimpah kepala Dirga hingga pria itu limbung, lalu terjatuh. Dan kayu tersebut pun mencederai kakinya.
"Astaga, Ga!"Gio langsung menolong Dirga, dibantu oleh beberapa karyawan laki-laki yang kebetulan juga baru keluar dari dalam gedung.
...------...
"Ya ampun ... Ini Mas Dirga keadaannya sudah gimana, ya."Entah sudah berapa lama wanita itu bergumam sambil berjalan mondar-mandir tak henti-henti.
"Kasih tau Mbak Dhia, nggak, ya?"tanyanya pada diri sendiri."Tapi tadi Mas Gio pesan katanya harus dikasih tau. Tapi kalau Mas Dirga tahu aku ngasih tahu, Mas Dirga pasti marah."
"Mas Dirga kan, nggak suka lihat Mbak Dhia. Ini aku harus gimana, ini?"ucapnya sambil terus berfikir.
"Walaaah ... mumet ndasku."
"Wik ... kamu kenapa?"Dhia yang baru saja pulang dari kampus memandang heran pada Wiwik, berjalan mondar-mandir, tidak bisa tenang seperti cacing kepanasan.
Wiwik langsung terkejut. Sikap latahnya membuat kakinya langsung melangkah mendekati Dhia.
"Ini, Mbak ... anu ..."
Dhia dengan sabar menunggu Wiwik yang tiba-tiba berubah gagap.
"itu ... anu ..."
Aduh, kasih tahu nggak ya. Tapi nanti kalau dikasih tahu Mbak Dhia pasti cemas. Bathin Wiwik menimbang-nimbang.
"Wik!"seru Dhia sedikit keras.
"Mas Dirga ketimpa kayu."sahut Wiwik cepat."Tuh, kan keceplosan."Wiwik menutup bibir dengan tangannya.
"Hah ... Ketimpa kayu?? Kok bisa ....? Kapan? Dimana?"cecar Dhia saking paniknya.
"Terus keadaannya gimana sekarang?"
"Tadi Mas Gio nelepon, Mbak. Katanya Mas Dirga nggak bisa jalan."
"Kakinya patah maksud kamu?"
"Ya nggak tau sih, Mbak."sahut Wiwik ragu."Cuma Mbak Dhia nggak perlu khawatir, tadi Mas Gio bilang sebentar lagi pulang dari rumah sakit, kok."
"Ya ampun, Mas ..."Lirih Dhia namun masih terdengar oleh Wiwik."Walaupun kamu jahat sama aku. Tapi tetap aja aku nggak tega mendengar kamu kayak gini."
"Kayunya besar nggak, Wik?"
"Laah ... Mbak Dhia. Ya mana saya tahu, Mbak."
Selang beberapa menit pintu penthoes terbuka. Didepan pintu terlihat Gio yang kesusahan memapah tubuh besar Dirga, yang memang lebih besar darinya.
"Elah, berat banget kamu. Ketahuan nih, banyak dosa sama istri."Cicit Gio yang memang tahu niat terdalam Dirga untuk menikahi Dhia.
"Berisik kamu. Pelan-pelan dong. Sakit ini!"sahut Dirga kesal. Mendengar itu Gio hanya terkekeh pelan.
"Mas, kamu nggak apa-apa?"Dhia menghampiri Dirga dan Gio. Disusul Wiwik yang juga mengekorinya.
"Nggak apa-apa gimana? Ini kaki udah diperban begini bisa-bisanya kamu tanya nggak apa-apa."Dirga menjawab dengan ketus seraya menunjukkan kaki kanannya yang sedang dibaluti perban.
"Maaf, Mas ... aku cuma cemas."ujar Dhia, lalu mengikuti Gio mengantarkan Dirga kedalam kamar.
"Gue pulang dulu. Ada apa-apa kabarin gue."
"Hemm."sahut Dirga datar.
"Mas ... Kamu mau apa, biar aku buatin."ujar Dhia menawarkan. Dirga sempat memandangnya sinis. Namun sedetik kemudian air wajahnya terlihat lebih tenang.
"Enggak perlu."ujar Dirga seraya berpegangan pada dinding untuk berdiri.
"Mas, kamu mau kemana?"Dhia berniat membantu Dirga berdiri.
"Mau mandi. Kenapa? Kamu mau ikut?"tanya Dirga kesal.
Sebenarnya keadaan memang sedang tidak memungkinkan. Tapi Dirga adalah laki-laki yang mengutamakan kebersihan. Seharian bekerja membuat kulitnya terasa lengket. Baginya tidak mungkin jika tidak mandi. Tak peduli meskipun saat ini kakinya sedang terluka.
"Enggak, Mas. Tapi kaki kamu lagi sakit. Aku papah, ya?"
"Kamu pikir aku anak kecil.?"
Dhia akhirnya diam. Sementara Dirga tetap kekeuh untuk berjalan sendiri. Namun sedetik kemudian terdengar pria itu meringis dan hampir terjatuh.
"Mas ... "Dhia langsung menangkap tubuh tegap suaminya. Itu pun, ia hampir terhuyung karena hilang keseimbangan."Tuh, kan ... apa aku bilang. Kamu nggak bisa."
"Pergi kamu!"
"Mas, cukup ... sekarang ini kamu memang memerlukan bantuan orang lain. Jadi tolong, kali ini libur dulu marah-marahnya."
"Kalau mau dilanjutin, nanti pas sudah sembuh."
Entah keberanian dari mana tiba-tiba saja Dhia mendadak menjadi perempuan yang cerewet. Anehnya, Dirga sama sekali tak bisa membantah.
Dengan hati-hati Dhia memapah tubuh besar suaminya itu. Saat sudah berada didalam kamar mandi, ia pun langsung mengatur suhu shower agar menjadi hangat.
Bukannya keluar, Dhia justru masih berdiri. Dan baru sadar ketika Dirga membuka suara.
"Kamu ngapain disini? Mau liatin aku mandi?!"
Dhia langsung tergeragap."Oh, oke ... iya, aku keluar."ucapnya dan langsung buru-buru keluar.
"Bisa nggak, Mas ... buka pakaianya? Kalau nggak bisa biar aku bantuin!"teriak Dhia dari luar kamar mandi. kedua sudut bibirnya tertarik. Senyum mengembang menghiasi wajah ayunya.
Selang dua puluh menit, Dirga selesai. Ia terkejut melihat Dhia yang ternyata sudah tertidur diatas sofa.
"Perasaan aku mandi enggak lama. Cepat benget molornya nih, anak."Dirga bergeleng tak percaya. Ia mengamati wajah Dhia yang tengah tidur dengan begitu intens. Wajah itu memancarkan keanggunan dan kecantikan yang alami.
Tanpa Dirga sadari, satu tetasan air menetes dari rambutnya yang basah. Menitik tepat diwajah Dhia. Gadis itu terusik, lalu mengusap sendiri dengan jemarinya yang lentik diikuti dengan bibirnya yang berdecak-decak manja.
Melihat itu Dirga langsung menahan tawa hingga bahunya berguncang. Lagi, satu tetesan jatuh kembali diwajah gadis itu. Dhia pun langsung terbangun.
"Mas ... Kamu ...."
"Auw ..."Dirga meringis ketika tanpa sengaja lengan Dhia menyenggol lututnya yang cedera.
"Ya ampun, Mas ... maaf, maaf .... Aku nggak sengaja. Tadi aku kaget pas liat kamu tiba-tiba nongol didepan aku."
Dirga tak lagi meringis. Kali ini ekspresinya berubah kesal."Kaget pas liat aku? Kamu pikir aku hantu."
"B-bukan begitu, Mas ..."Dhia menjadi serba salah."Oke, deh ... untuk menebus kesalahanku karena udah menyenggol lutut kamu, malam ini aku bantu kamu ganti perban."
"Nggak perlu."Dirga berjalan pincang menuju tempat tidur.
"Perlu, Mas ... Kamu, perlu."Dhia mengimbangi langkah Dirga."Perban kamu juga udah basah. Harus cepat-cepat diganti."
"Sini aku bantu."Dhia langsung menarik lengan kokoh Dirga dan menuntunnya duduk ditepi tempat tidur.
"Bisa nggak, jangan pegang-pegang. Cari kesempatan aja kamu."
"Iya, maaf ... pegang dikit aja nggak boleh. Pelit banget."
"Kamu cerewet banget, sih?"
Dhia menghela nafas panjang. Ia bergegas membuka sebuah boks kecil berisi obat-obatan yang memang sengaja dibawa dari rumah sakit.
"Sini ... keningnya dulu."Dhia meminta Dirga untuk lebih mendekat. Dengan telaten dan hati-hati ia membuka perban yang terlihat sudah berdarah lagi dipelipis Dirga.
"Bisa pelan-pelan nggak kamu."Dirga meringis.
"Ini udah pelan Mas. Aku udah hati-hati. Nanti kamu marah lagi, kalau aku nyentuh kulit kamu. Makanya diam ... jangan gerak-gerak."ujar Dhia sambil terus melakukan tugasnya.
"Kalau gerak-gerak aku takut nanti lukanya tersenggol. Kalau tersenggol pasti berdarah lagi."Dhia terus berbicara. Dirga pun tanpa sadar terus memperhatikannya. Satu detik, dua detik, masih dalam posisi yang sama. Jarak yang sangat dekat saat ini berhasil membuat Dirga sadar bahwa wanita yang terus berbicara dihadapannya ini adalah wanita yang sangat cantik.
"Kalau berdarah lagi ... aku juga nanti yang repot harus bolak-balik bantuin kam ...."Dhia akhirnya berhenti, ketika menyadari suasana rupanya sudah menjadi hening. Karena jelas tak ada lagi kata-kata yang terlontar dari bibir pria dingin itu. Dhia memberanikan diri menatap Dirga. Seketika netra keduanya beradu, dan itu berlanjut selama beberapa detik. Waktu yang terbilang cukup untuk meraba hati masing-masing.
Rupanya Dirga lebih dulu menyadari. Dhia akhirnya tersentak ketika Dirga tiba-tiba saja menepis tangannya.
"Kamu keluar. Aku bisa sendiri."ujar Dirga tanpa melihat Dhia.
Dhia sepertinya mengerti, ia pun menurut untuk pergi.
Aku tidak akan menyerah, Mas, walau bagaimanapun kamu memperlakukanku. Demi rumah tangga kita agar tetap bertahan. Aku rela jika harus menjadi gadis bermuka tebal. Aku rela melakukannya, sampai kamu bisa menerimaku suatu hari nanti. bathin Dhia sambil tersenyum tipis. Lalu melangkah menuju kamarnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
M'oiselle Caels
Duhhhhh kakkk maaf aku gak like dari awallll. nanti klw selesai aku balik lagi ke awal supaya ngelaik lagi. maaf bgt. tak kasih vote aja ya. janji nanti kembali ke awal lagi 🤟🤟🤟😭
2022-06-20
0
Jans🍒
mmpir... kk
2022-02-18
0
keke global
penulisannya rapi beraturan.. kere...othor banyakin promo biar makin rame ini karya
2022-01-18
3