Wiwik menghela nafas panjang."Kasihan Mbak Dhia. Dia pasti sedih."Ia memajukan sedikit bibirnya."Lagian Mas Dirga. Ada-ada aja, deh ... Wiwik jadi gemas banget liatnya."
"Pengen nyubit aja itu kumisnya yang tipis."cerocos Wiwik sebelum akhirnya masuk keruang kerja milik Dirga dan meletakkan tas hitam yang ia jinjing diatas meja.
"Mas ..."Panggil Dhia ketika pintu kamar terbuka.
"Mas ...." Panggilnya lagi seraya menyapukan netra pada setiap sudut kamar besar itu. Namun tetap tidak ada jawaban. Hanya gemericik air yang terdengar dalam kamar mandi. Mungkin itu Dirga yang sedang membersihkan diri.
Dhia memungut kaos kaki dan dasi yang terlempar sembarang diatas sofa santai berwarna coklat tua didalam kamar itu. Lalu beralih pada jam tangan dengan merek ternama yang hampir terjatuh dari atas nakas. Ia menaruhnya dengan hati-hati. Namun ada satu benda menyita perhatiannya. Sebuah bingkai berukuran 10 inc, berisi foto kenangan yang terlihat sudah memudar warnanya.
Gambar seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahunan tampak tersenyum bahagia diapit oleh sepasang wanita dan laki-laki yang terlihat tampan dan sangat cantik.
Tanpa sadar Dhia tersenyum."Ini pasti almarhumah Mama dan almarhum Papa kamu, Mas."Lirih Dhia mengingat cerita Dirga yang mengatakan bahwa Papa dan Mamanya sudah tiada."Dan ini kamu ...."Dhia mengusap lembut bagian wajah anak kecil digambar itu."Manis banget. Keluarga yang begitu bahagia."gumamnya pelan.
"Kamu ngapain disini?"
Dhia sontak berbalik dan melihat Dirga sudah berdiri didepan pintu kamar mandi. Terlihat sudah lebih segar dengan kaos sederhana dan celana pendek selutut berwarna abu-abu. Sedang kedua tangannya masih memegang handuk putih yang bertengger diatas rambutnya yang basah.
"Mas, aku ... "
"Lancang sekali kamu!"Dirga memutus kalimat Dhia dengan suara yang tinggi, sampai-sampai membuat bahu Dhia berjengit.
"Siapa yang suruh kamu masuk? Hah?!"Dirga berjalan mendekati Dhia. Netranya memandang gadis itu dengan sorot kebencian.
Dhia sempat bergeming. Menelisik bola mata yang ada dihadapannya. Ini bukan Dirga yang ia kenal sebelumnya. Laki-laki yang pernah membuat hatinya bertekuk lutut beberapa waktu lalu.
"Mas, kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Aku ini istri kamu, Mas. Kamu lupa dengan pernikahan kita? Baru beberapa hari loh, Mas."Dhia akhirnya berani mempertanyakan teka-teki yang selalu mengusiknya akhir-akhir ini.
"Keluar kamu." ujar Dirga tanpa menoleh.
"Nggak ... aku nggak bisa kalau kamu terus kayak gini, Mas. Jelasin sama aku .... aku salah apa, Mas?"Dhia mencengkeram kedua lengan kekar suaminya itu."Cerita sama aku. Supaya aku bisa memperbaiki kesalahanku. Jangan dingin begini. Aku nggak ngerti, Mas"
"Aku bingung."suara Dhia bergetar.
"Kamu mau tau apa salah kamu?" Dirga mamandang Dhia dengan amarah yang tertahan. Kedua telapak tangannya berbalik mencengkeram bahu Dhia dengan keras."Ini semua karena kamu ...." Dirga tidak meneruskan kalimatnya. Ia malah melemparkan tatapan yang semaki tajam. Lalu melepaskan cengkeramannya hingga membuat tubuh mungil Dhia terhempas diatas tempat tidur.
"Mas ...!"
"Mas, jangan pergi!"
Dirga berjalan keluar seraya kembali membanting pintu. Tak perduli saat Dhia memanggilinya. Ia turun kebawah dengan emosi yang berkecamuk. Bersamaan dengan Wiwik yang hendak mengantar segelas air putih kedalam kamar majikannya itu.
"Lah ... lah .... Mas Dirga kok pergi?. Ini minumannya."Wiwik menelan ludah merasa ada yang tidak beres. Ia langsung membuka pintu kamar ketika mendengar suara tangis dari dalam kamar majikannya itu.
"Mbak Dhia ... kok nangis."Wiwik terlihat cemas dan menghampiri Dhia.
"Nggak apa-apa, Wik."Dhia mengusap pipinya yang basah."Aku ke kamar dulu, ya." Ia beranjak dan langsung keluar dari kamar itu.
Hati Wiwik merasa iba. Baginya Dhia adalah wanita yang baik. Tidak tega rasanya melihat Dhia diperlakukan seperti itu.
Didalam kamar, Dhia hanya bisa menangis. Suara tinggi Dirga masih terngiang-ngiang di indera pendengarannya. Hatinya begitu sakit. Tidak menyangka pernikahan sehari yang membuatnya begitu bahagia harus berbalik dengan kenyataan pahit. Bagaimana ia harus melewati perjalanan hidup yang baru saja dimulai.? Sedang waktu yang baru berjalan menyambutnya dengan cucuran air mata.
Dhia menangis terisak ketika saat itu ponselnya berdering. Terpampang nama si penelepon dilayar ponsel.
...Mama...
...📞...
...memanggil ......
Dhia ragu. Namun rasa rindunya pada wanita paruh baya itu membuatnya tak kuasa untuk tidak menjawabnya.
"Hallo, Ma ..."sapa Dhia setelah tadi sempat menetralkan suara.
Hallo, nak ... lama banget jawabnya.
"Iya, Ma ... tadi lagi dikamar mandi."kilah Dhia.
Kamu lagi nangis? tanya Rossa karena mendengar suara Dhia yang berbeda.
"Nangis?"Dhia bertanya balik."E- enggak lah, Ma ... kenapa nangis. Ini aku cuma lagi flu aja."jelasnya lagi-lagi harus berbohong.
Oh begitu .... Rossa menjawab ambigu. Sejenak ia hening, lalu kembali bersuara.
Jangan lupa sholat. Berdoa sama yang kuasa agar pernikahan kamu selalu di ridhai. Apapun masalahnya, mengadulah kepadanya. Insyaallah ... semuanya akan di mudahkan dan mendapatkan yang terbaik.
Dhia hening. Ia menduga Mama menyadari kebohongannya yang berpura baik-baik saja. Mama adalah, Mama. Seorang wanita pemilik ikatan bathin yang kuat terhadap darah dagingnya. Sepandai apapun lidah berberbelit. Suara tak bisa membohongi meski tidak ada ruang untuk saling menatap.
"Mama ..."lirih Dhia.
Kamu wanita kuat ... berjuanglah untuk rumah tanggamu. Mama yakin kamu bisa.
...-----...
Pukul tujuh pagi Dhia bergegas turun berniat untuk sarapan dan berangkat ke kampus. Matanya sedikit sembab. Sudah pasti karena semalaman menangisi cintanya yang terluka.
Dhia ragu untuk melangkah ketika melihat Dirga sudah lebih dulu duduk dimeja makan menyantap sarapan. Namun harapan agar rumah tangganya tetap bertahan ia akhirnya mengumpulkan sisa-sisa keberanian untuk tetap melangkah.
"Mas, kamu mau minum susu, air putih atau apa?"tanya Dhia ketika Dirga hampir tersedak."Susu aja, ya ... Aku buatin ya, Mas."
"Nggak usah!"tolak Dirga cepat.
"Udah, Mas ... nggak apa-apa. Aku nggak buru-buru, kok." jemari Dhia dengan lincah dan cepat membuatkan segelas susu putih pada Dirga."Ini, Mas ... udah siap."ucapnya seraya menyodorkannya pada Dirga.
"Nggak usah."tolak Dirga lagi.
"Jangan gitu dong, Mas .. kamu har ....."
Praangg!
Segelas susu yang dibuat Dhia dengan cinta akhirnya mendarat dilantai. Bersamaan dengan serpihan-serpihan gelas kaca yang berserakan tak tentu arah.
Tubuh Dhia berjengit. Netranya menahan bulir bening yang hampir tumpah kepermukaan.
"Aku bilang nggak usah, nggak usah!"bentak Dirga tanpa rasa bersalah. Pria itu langsung berlalu. Dhia hanya memandangi punggung bidang suaminya itu dengan hati hancur. Hingga menghilang dari balik dinding pembatas dapur dan ruang tamu.
...-----...
Empat orang gadis cantik keluar dari ruang kelas management. Salah seorang gadis itu adalah Dhia.
"Kemana kita hari ini?"Yuli bertanya pada Dhia, Amel, dan Dini.
"Kemana lagi? Ya seperti biasa, lah ... Panti asuhan, Panti jompo."Kali ini Amel yang menjawab.
"Aku suka tantangan."Sahut Dini cepat.
"Ya ampun Dini .... Ini kita lagi mau donasi, berbagi. Bukan mau traveling." Sahut Yuli gemas pada Dini.
"Iya, aku tahu, Yuli ... maksud aku itu, gimana kalau kita donasi ketempat-tempat yang tidak biasa. Ke RSJ, gitu?"
"Rumah Sakit Jiwa maksud kamu?"Amel melebarkan mata pada Dini. Gadis berambut pirang itu langsung mengangguk yakin.
"Yang benar aja kamu, Din ... Ini ceritanya mau nganter kamu, gitu?"Yuli tertawa meledek.
Disusul Dhia dan Amel yang juga ikut tertawa.
"Gua jahit juga itu bibir. Lemes amat kalau ngomong."Dini mencebikkan bibir."Maksud aku tuh, kita berbagi ke RSJ. Sekali-kali cari tempat baru. Jangan salah ... lihat-lihat ODGJ juga seru, loh ... ada yang bisa diajak bercanda. Hihihi."Dini terkikik pelan."Dulu aku ingat. Waktu kecil dikejar-kejar sama, ODGJ. Takut sih, tapi ada serunya juga."
"Emmm." Amel menimbang-nimbang."Boleh juga, tuh. Gimana menurut kamu Dhi ....?"tanyanya pada Dhia yang sedari tadi hanya mendengarkan.
"Itu juga ide bagus. Mereka juga pasti membutuhkan sesuatu. Makanan misalnya ..."
"Oke ... jadi fix nih, kita ke RSJ?"tanya Yuli memastikan tempat berbagi kali ini. Ini adalah kegiatan yang biasa mereka lakukan sebulan sekali setiap hari Jum'at setelah pulang kuliah. Dan hari ini, semuanya memutuskan untuk memilih, RSJ.
"Dhia!"
Dhia menoleh dan berhenti ketika Dhanu memanggilnya.
"Kalian duluan saja."Ujar Dhia pada ketiga temannya."Nanti aku nyusul."
"Oke."sahut Amel mengerti.
"Ikut aku."Dhanu menarik lengan Dhia pada tempat yang sedikit sepi disekitar kampus.
"Dhanu ... kamu apa-apa, sih?" Dhia mengusap lengannya yang memerah karena Dhanu menariknya.
"Dhia ... katakan padaku kalau kabar pernikahanmu itu tidak benar."
"Dhia ... please, jawab aku."Dhanu terus menuntut jawaban ketika gadis itu hanya diam.
"Dhia ..."
"Itu benar, Nu."
Dhanu menyugar rambutnya kasar."Kenapa Dhia? Kenapa??"
"Aku tahu kamu peka, Dhia. Aku juga tahu kalau kamu tahu perasaanku. Aku suka sama kamu dari dulu Dhia."
"Maaf, Nu ... tapi dari dulu aku nggak pernah punya perasaan yang lebih dari seorang sahabat sama kamu."
"Sahabat kamu bilang?"Dhanu menatap Dhia kecewa."Jadi selama ini kebaikanku, ketulusan yang aku beri hanya kamu anggap sebatas sahabat?"
"Maaf, Nu ..."Dhia membalas tatapan Dhanu dengan rasa bersalah. Ia tahu, pria itu menyimpan kekecewaan yang besar kepadanya.
"Kamu pasti bisa mendapatkan wanita yang lebih baik. Wanita yang bisa membalas perasaan mu. Percayalah."
"Aku pergi dulu, Nu. Yuli dan yang lain sudah menungguku."Dhia langsung pergi. Meninggalkan Dhanu yang masih berdiri dengan perasaan sakit dan kecewa.
Lima belas menit dalam perjalanan. Dhia akhirnya sampai ditempat yang telah disepakati bersama ketiga temannya. RSJ, Binawangsa, Jakarta. Ia berjalan santai melewati lorong. Mencari ketiga temannya yang telah sampai lebih dulu. Seraya memperhatikan orang-orang yang merupakan pasien ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Ada rasa iba dihatinya. Tidak sedikit orang-orang yang berusia masih muda. Namun harus mendekam dan dirawat ditempat itu.
Masa depan meraka terenggut. Hilang akal dan tidak tahu apa-apa. Dhia tersenyum haru melihat wanita paruh baya yang terlihat menyisiri rambut dari benda mati. Sebuah boneka usang yang sudah robek pakaiannya. Wanita itu begitu tulus memperlakukannya. Mungkin ada kisah mendalam baginya dibalik semua itu. Kisah yang pada akhirnya merenggut akal sehatnya.
Dhia terus menyapukan pandangan. Netranya tertuju pada wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas. Namun kulitnya terlihat putih dan bersih. Wanita itu duduk menghadap pada sebuah jendela. Diam, tidak bertingkah aneh seperti pasien-pasien ODGJ lainnya.
Jiwanya terpanggil untuk melihat lebih dekat. Dhia pun berniat melangkah. Namun langsung berhenti ketika melihat seorang pria tinggi berpenampilan rapih dengan setelan jas biru tua. Masuk, dan menghampiri wanita paruh baya itu.
Ngapain dia disini? bathin Dhia. Ia langsung menoleh ketika seorang perawat jiwa melewati lorong tempat nya berdiri.
"Mbak ..."
"Iya ... ada yang bisa dibantu?"tanya perawat jiwa tersebut.
"Iya, saya mau tanya ... ibu, ibu yang duduk di kursi roda bersama pria itu siapa, ya?"
"Maaf, Mbak ... kami tidak bisa memberi tahu. Karena itu privasi bagi pasien disini."
Dhia sedikit kecewa. Tapi ia tetap harus menghargai peraturan yang ada di Rumah Sakit Jiwa tersebut."Oh gitu"
Perawat jiwa tersebut mengangguk."Permisi, Mbak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Meylin
aduh dia bodoh bngetttz ya tau s Dirga ga mau masih mksa🥴
2022-02-04
1
keke global
Ibuknya Dhirga yaa
2022-01-18
0