Sepulangnya dari berdonasi, Dhia langsung kembali ke penthouse. Suasana penthoes terlihat sepi. Hanya ada Wiwik yang sedang sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring didapur. Sementara Dirga, pria dingin itu sepertinya belum kembali.
"Wik ..."
"Iya, Mbak? ada apa? ada yang bisa dibantu? mau makan?, mau minum atau ..."Wiwik menjawab dengan pilihan seraya mencuci kedua tangannya dari bekas sabun.
Dhia berdecak pelan."Nggak, Wik ... saya cuma mau tanya sedikit tentang keluarganya Mas Dirga.
"Boleh?"Dhia bertanya ragu.
"O, boleh, boleh, Mbak ... silahkan"Sahut Wiwik cepat."Dari mana dulu? Wiwik akan jawab semua yang Wiwik tahu."
Dhia tersenyum tipis."Oke. Emmm ... Orang tuanya Mas Dirga sudah lama meninggal?"
"O, iya, Mbak ... Dari cerita yang saya dengar sebelumnya dari pekerja, pekerja sebelum Wiwik, katanya sih, Papa Mas Dirga sudah meninggal sekitar dua puluh tahun lalu. Waktu Mas Dirga masih segini."Wiwik membatasi dadanya dengan telapak tangannya."Sekitar tujuh-delapan tahunan gitu, kalau nggak salah."terangnya dengan logat Jawanya yang kental.
Dhia hanya diam. Menunggu Wiwik menjelaskan semuanya.
"Ngeri, Mbak ... ceritanya. Tragis."sambung Wiwik dengan ceplas-ceplos.
"Ngeri gimana maksudnya, Wik?"Dhia jadi penasaran.
"Aduh, Mbak ... kalau itu saya nggak berani cerita. Takut salah ngomong."
"Kalau almarhumah Mamanya?"
Mendengar pertanyaan Dhia kali ini Wiwik sedikit terkejut."Mamanya?"
"Wik!"suara bariton dari pembatas dinding ruang tamu dan dapur membuat Wiwik kembali terkejut.
"Eh, Mas Dirga ... iya, Mas?"Wiwik langsung berjalan menghampiri Dirga. Langsung saja ia mengambil tas kerja dari tangan majikannya itu.
"Ambilkan saya minuman, dan langsung bawa ke ruang kerja "Dirga sempat melirik Dhia yang sedang berdiri disisi meja makan. Lalu kemudian berjalan menuju ruang kerja.
"Permisi Mas Dirga" Wiwik membuka pintu ruang kerja."Ini minumannya, Mas."ia meletakkan segelas air putih diatas meja kerja."
"Tunggu."Cegah Dirga cepat ketika Wiwik baru saja ingin keluar.
"Iya, Mas ... ada lagi?"
"Sini kamu!"
Wiwik langsung mendekat.
"Tadi Dhia tanya-tanya apa sama kamu?"
"Anu, Mas ... Mbak Dhia tanya tentang orang tuanya Mas Dirga. Ya Wiwik kasih tahu saja yang Wiwik tahu."sahut Wiwik sekenanya.
"Lancang kamu, ya!"suara Dirga berubah tinggi. Air mukanya berubah merah. Wiwik menyadari itu. Ia pun menjadi takut.
"Maaf, Mas ... tapi saya nggak ngomong yang aneh-aneh, kok. Sumpah!"Wiwik mengacungkan dua jarinya.
"Saya ingatkan sama kamu. Jangan sekali-kali kamu bercerita tentang history keluarga saya. Kalau sampai itu terjadi lagi ..."Dirga menjeda kalimatnya.
"Saya pastikan kamu angkat kaki dari Penthouse ini."ancam Dirga.
"I-iya, Mas ... nggak lagi-lagi, deh. Wiwik nggak mau dipecat."Wiwik memasang wajah sedih.
"Ya sudah, keluar kamu."
Wiwik pun meras lega, ia langsung melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan kerja yang menurutnya dingin seperti pintu kulkas yang terbuka.
"Wik!"panggil Dirga lagi ketika Wiwik baru ingin membuka pintu.
Ad, duh ... Iki opo meneh, toh? bathin Wiwik dengan wajah ngeri membayangkan jika lagi-lagi dia akan dimarahi.
"Iya, Mas Dirga."
"Bilang sama Dhia untuk siap-siap. Karena sebentar lagi dia harus berangkat kerumah orang tuanya."terang Dirga.
"Sekarang, Mas?"tanya Wiwik dengan bodohnya.
"Ya sekarang! Masa besok?"Dirga kembali dibuat kesal dengan ulah asistennya itu.
"Tapi, Mas Dirga ... Wiwik lagi goreng ikan. Takut gosong. Gimana kalau Mas Dirga aja yang ngomong."
"Laah, tuh kan ... bau gosong!"Wiwik setengah berteriak seraya mengendus-endus kan hidungnya yang nyepor seolah sedang mencium bau gosong yang sebenarnya tidak ada.
"Maaf, Mas ... saya mau kebelakang dulu!"seru Wiwik langsung berlari keluar.
"Wiwik!"teriak Dirga sementara Wiwik sudah kabur menghilang. Ia akhirnya memutuskan untuk menemui Dhia sendiri. Dengan langkah kakinya yang panjang ia melangkah. Lalu mengetuk pintu tanpa memanggil nama sang pemilik kamar. Entahlah, menyebut nama gadis itu pun bibirnya terasa enggan.
Ketukan pertama tidak bersahut. Dirga kembali mengulangi.
"Iya, Wik ... sebentar."
Terdengar suara sahutan dari dalam kamar. Sudah dipastikan Dhia menduga itu adalah Wiwik. Selang kemudian pintu kamar terbuka. Dhia sempat terkejut melihat Dirga sedang berdiri didepan pintu kamarnya.
Tapi yang lebih terkejut adalah Dirga. Jiwanya lelakinya berubah panas ketika melihat Dhia keluar hanya dengan mengenakan bathrobe. Entah gadis itu terburu-buru memakainya atau tidak, namun sepertinya Dhia tidak menyadari jika bathrobe yang ia kenakan hampir terbuka di bagian atasnya. Hal itu membuat bagian dadanya yang putih bersih terlihat mengintip.
Kerongkongan Dirga tiba-tiba terasa kering. Padahal tadi ia baru saja minum.
Ekhem!!!
Dirga berdeham cukup keras. Seraya menyembunyikan air muka serta menetralisir rasa panas yang menjalar ditubuhnya.
"Apa nggak bisa pakai baju dulu?"
Dhia langsung kelabakan mencari sisi kurang pantas yang membuat Dirga merasa tidak nyaman. Ia sempat terkejut dan malu begitu menyadari kebodohannya. Langsung saja menarik bagian sisi kanan-kiri bathrobe agar menyatu.
"Maaf, Mas ... tadi buru-buru makainya."ujar Dhia seraya memegangi bathrobe agar tidak terbuka lagi."Saya kira juga tadi Wiwik yang manggil. Mas ada perlu apa?"
"Cepat siap-siap. Tadi sore Mama kamu nelepon saya. Dia meminta kamu untuk datang kerumah. Katanya Inka jatuh dari motor."
"Hah?"Dhia melebarkan mata."Ya ampun ... Inka."Lirihnya.
"Handphone kamu, kamu kemana-in? Dimandiin, sampai mati, gitu?"
"E-enggak, Mas ... ada lagi di charge. Tadi aku nggak tau kalau baterainya habis."
"Percuma kamu punya handphone. Orang tua nelepon tapi nggak diangkat."Ujar Dirga ketus, tapi tetap terkesan dingin.
"Kan baterainya habis, gimana mau diangkat."Ulang Dhia lagi. Ia merasa gemas sendiri mendengar ucapan suaminya itu.
Dirga sama sekali tak ingin menjawab. Sempat melirik Dhia dengan sorot matanya yang tajam. Lalu kemudian langsung pergi begitu saja.
"Mas nggak ikut?"tanya Dhia menghentikan langkah Dirga.
"Itu keluargamu, bukan keluargaku."
Deg!
Hati Dhia terasa sakit mendengar jawaban spontan yang keluar dari bibir suaminya itu.
"Aku istri kamu, Mas ... itu artinya mereka keluarga kamu juga "
Dirga lagi-lagi tak ingin menjawab. Ia kembali meneruskan langkah meninggalkan Dhia.
...------...
"Auuu ... sakit tau! Hati-hati dong!"
Terdengar suara teriakan dari lantai atas. Sudah bisa dipastikan itu adalah suara Inka yang menjerit kesakitan.
"Makanya, lain kali diulangi lagi. Habis itu kaki kamu yang sebelah kiri bakalan diperban juga."Suara seorang pria yang tidak asing mampir ditelinga Dhia.
"Waah ... nyumpahin, nih anak."
Dhia membuka pintu kamar milik Inka. Didalam sana, netranya langsung tertuju pada Inka yang sedang terbaring dengan sebelah kaki kanan yang diangkat keatas. Lengkap dengan perban yang membalut lutut sampai ke mata kakinya.
"Kamu disini, Nu."
"Iya, Dhi."sahut Dhanu dingin.
"Tadi Dhanu yang nolongin Inka."terang Rossa menyambut kedatangan Dhia. Seraya Dhia mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
"Ya ampun, dek ... kamu kok bisa begini?"Dhia menyentuh kaki kanan Inka. Sontak gadis tomboi itu merintih kesakitan.
"Aduh, aduh ... jangan dipegang dong, Mbak ... sakit.!"
Dhia meringis."Udah ke rumah sakit?"
"Sudah, nak. Alhamdulillah Inka tidak mengalami cedera yang serius. Cuma terkilir ... sama lecet-lecet sedikit."
"Jadi boleh langsung dibawa pulang."jelas Rossa."Kamu sendiri? Dirga mana?"
"Mas Dirga lembur, Ma. Tadi aku diantar sama supir"Kilah Dhia. Lagi-lagi dia harus berbohong. Entah sudah berapa banyak kebohongan yang sudah ia ucapkan. Berharap kali ini Mama tidak menyadarinya. Rasanya tidak mungkin berterus terang tentang alasan yang sebenarnya. Tentu itu akan menyakiti hati Mama. Pikirnya.
"Oh, gitu."sahut Rossa datar.
"Lain kali naik motor hati-hati dong, dek. Kamu itu perempuan."Dhia beralih pada Inka.
"Iya, iya ... "sahut Inka.
"Papa mana, Ma?"
"Papa masih di kantor."sahut Rossa."Tadi sudah dikabari. Tapi katanya ada meeting penting. Jadi belum bisa pulang."
Dhia menghela nafas panjang. Menyayangkan sikap Papanya yang lebih mengutamakan pekerjaan.
Di teras depan Dhia duduk menghadap pada sebuah kolam kecil, berisi ikan-ikan koi yang berenang lincah. Ia tersentak ketika Dhanu tiba-tiba datang mencari tempat duduk disisinya.
"Melamun apa?"
Dhia tersenyum tipis."Enggak ada."
Suasana hening.
"Kamu bahagia dengan pernikahanmu?"
Dhia langsung menoleh. Pertanyaan Dhanu membuatnya terusik. Ia memandang Dhanu dengan tatapan sinis"Maksud kamu apa?"
"Mata kamu tidak bisa menutupi."Dhanu bicara sok yakin."Selalu sembab seperti habis menangis."
Dhia menghela nafas panjang.
"Suami macam apa dia? Seorang suami yang mencintai istrinya nggak akan tega membuat istrinya menangis. Kecuali memang dia tidak pernah mencintaimu."
"Dhanu, cukup!"cegat Dhia karena tidak ingin Dhanu berbicara panjang lebar lagi."Kamu tidak perlu ikut campur tentang pernikahanku. Ini urusanku, bukan urusanmu!"
"Tapi, Dhia ... Aku nggak tega melihat kamu kalau sampai dia benar-benar menyakitimu."Dhanu mencoba meraih tangan putih gadis itu, namun Dhia menepisnya."Aku cinta sama kamu Dhia. Tinggalin dia kalau kamu benar-benar nggak bahagia."
"Aku bahagia, Nu ... "
"Bohong!"
Dhia langsung berdiri. Ia merasa Dhanu akan terus mencecarnya. Namun disaat yang sama, netranya terkunci pada sosok lelaki tinggi yang berdiri memakai kacamata hitam, berpenampilan casual dengan jaket kulit berwarna abu-abu didepan pagar. Entah sudah berapa lama pria itu berdiri disana. Mungkin saja ia sempat menyaksikan semuanya.
Dhia menelan ludah. Ia tidak menyangka Dirga akan datang. Rasa takut seketika mengusiknya. Takut jika Dirga akan marah. Bagaimana pun, saat ini dirinya sudah menjadi seorang istri dari Dirga Rayyan Megantara. Meski setelah menikah Dirga tidak pernah memperlakukannya seperti seorang istri yang sesungguhnya.
Nyatanya, semua tidak seperti yang Dhia bayangkan. Dirga berjalan menghampirinya. Pria itu tersenyum manis menyapanya.
"Maaf, sayang ... aku baru sempat menyusul."Dirga merangkul bahu Dhia.
Dhia sempat bingung. Namun sedetik kemudian kedua sudut bibirnya tertarik. Mengukir senyum tipis penuh tanya.
"Siapa dia?"Dirga memandang Dhanu seraya membuka kaca mata hitamnya.
"Dia, Dhanu, Mas ... teman kampusku. Tadi dia yang nolongin Inka."jawab Dhia menjelaskan. Lalu menelan ludah, karena tiba-tiba gugup ketika tangan Dirga turun meraih pinggang langsingnya.
"Aku Dirga. Suami Dhia."Dirga menyodorkan tangannya pada Dhanu.
Dhanu langsung menyambut, dan menyebut namanya. Namun pria ini masih yakin dengan pendiriannya. Tak percaya dengan kemesraan yang ditampilkan Dirga didepan matanya. Hati kecilnya merasa bahwa semua tontonan ini adalah sandiwara.
"Dhia ... ada tamu, ya? Siapa?"Suara Rossa terdengar semakin dekat. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat menantunya yang berdiri diteras rumah.
"Dirga, kamu baru datang?"
"Iya, Ma"Dirga langsung meraih punggung tangan wanita paruh baya itu lalu menciumnya takzim.
"Dhanu, kamu jangan pulang dulu, ya. Kita makan malam sama-sama."
"Enggak usah repot-repot, Tante. Saya harus buru-buru pulang. Ada tugas kuliah yang harus segera diselesaikan."Dhanu menolak halus. Padahal itu adalah alibi. Karena sebenarnya ia malas jika harus berlama-lama menyaksikan adegan romantis yang dipertontonkan oleh Dirga. Sementara ia tahu jika Dhia hatinya sedang tidak baik-baik saja.
"Oh, gitu."
"Pamit dulu, Tante."
"Dhi ..."Aku pamit dulu."Dhanu memandang Dhia. Gadis itu hanya mengangguk pelan.
Sementara Dirga, entah apa yang ada didalam hati pria itu. Ia hanya terus mengintai sorot mata Dhanu yang sepertinya terluka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Lee
Sudahq favorit kak..
mampir jg ktmpatq yaa
2022-03-08
0
Reni
aku mampir Thor jangan lupa dukung karya aku ya.
2022-02-01
0
keke global
Terus dinikahi buat apa Dirga
2022-01-18
0