Malaikat Tak Bersayap

POV Nia

Kini aku berada di depan kontrakan Mbak Febi. Jujur saja, sebetulnya aku masih ragu untuk tinggal bersamanya. Namun jika ku tolak pun, aku tak tahu harus pergi kemana dengan barang bawaan sebanyak ini.

"Yuk, Dek, masuk!" Mbak Febi menarik lenganku.

Ia mempersilahkanku untuk duduk dan memintaku untuk menunggunya sebentar.

Kontrakannya cukup luas dengan satu kamar, ruang tamu merangkap ruang tengah, dapur juga kamar mandi. Saat masuk aku langsung mendapati ruang tamu, di sebelah kanannya terdapat satu set kursi serta meja berukuran kecil dan di sebelah kirinya terdapat kamar tidur. Sedangkan dapur satu arah dengan pintu masuk dan di sebelah kirinya terdapat kamar mandi kecil.

Tak lama Mbak Febi datang dengan nampan berisian minuman juga cemilan. "Monggo diminum dulu sambil istirahat, pasti lelah," ucapnya seraya menyodorkan minuman dan cemilan itu padaku.

"Terima kasih, Mbak. Aku janji bakal cepet-cepet cari kontrakan kosong," kataku sambil menerima minuman darinya.

"Eh, gak papa. Gak perlu cepet-cepet, santai aja. Aku malah senang jadi ada temen di sini," jawabnya ramah.

Lalu ia pergi ke kamar, tampaknya sedang membereskan sesuatu. Ku sandarkan punggung untuk sedikit melepas lelah. Kepalaku terasa pusing dan tiba-tiba perutku mual. Tanpa meminta izin aku bergegas ke kamar mandi, rasanya sudah tak tahan ada yang ingin keluar.

Hoeeekk

Hoeeekkk

"Ada apa? Kamu sakit?" tanya Mbak Febi yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu.

Dipapahnya tubuhku menuju kamar lalu ia menidurkan badanku perlahan.

"Wajahmu pucat. Apa sebaiknya kita ke klinik?" Tampak ada kekhawatiran dalam wajahnya.

"Bukan apa-apa, Mbak. Aku cuma mabuk kendaraan," jawabku berbohong. Kita baru saja kenal tak mungkin aku ceritakan yang sebenarnya.

"Yakin? Tapi tadi sepertinya kamu baik-baik saja. Sudah makan?"

Aku menggeleng. Pagi tadi aku sengaja tidak makan karena percuma akan membuat perut ini mual, tapi ternyata tak makan pun sama saja.

"Tunggu sebentar, ya! Istirahat dulu aja! Mbak keluar sebentar cari makanan."

Ku pejamkan mata berharap bisa terlelap beberapa saat, namun perut ku kembali mual. Sudah tiga kali aku bulak-balik ke kamar mandi. Tubuh ini benar-benar sudah tak bertenaga. Saat akan kembali ke kamar, tiba-tiba pandanganku kabur lalu aku pingsan.

***

Ku buka mata perlahan, ku edarkan pandangan ke sekeliling, ruangan ini tak dapat ku kenali. Ku lihat keluar jendela, sepertinya hari mulai senja. Tak lama lalu Mbak Febi menghampiriku.

"Kamu sekarang ada di rumah sakit. Tadi pas Mbak pulang, kamu tergeletak di dapur. Ini bukan mabuk kendaraan 'kan?" ujar Mbak Febi.

Aku diam tak mampu menjawab, sepertinya dia sudah tahu apa yang sedang ku alami sebenarnya.

"Ya sudah, nanti kita bicarakan semuanya di kontrakan, ya. Kamu jangan dulu banyak fikiran, istirahat sebentar lagi, setelah Mbak tebus obat kita bisa segera pulang." Mbak Febi tampak perhatian, diusapnya kepalaku lembut.

Dia berlalu meninggalkanku sendiri. Bagaimana mungkin aku tak banyak fikiran, setelah ia tahu semuanya apa mungkin masih mau nerima aku di kontrakannya. Tapi jika melihat perhatiannya, sepertinya dia benar-benar orang baik.

Sepuluh menit kemudian dia datang dengan sebuah kantung keresek berisikan obat. Lalu mengambil nampan berisi makanan yang terletak di meja tepat di sampingku. Disendoknya makanan tersebut hendak menyuapiku.

"Gak papa, Mbak. Aku bisa sendiri." Perlahan aku bangun mengambil posisi duduk.

Makanan itu hanya mampu masuk beberapa sendok saja, rasa mualku kembali terasa di suapan ke lima. Aku menghentikan aktifitas makanku, dengan sigap Mbak Febi menyodorkan minuman ke arahku, dia tampak seperti perawat yang merawat pasien VIP-nya.

"Nah, ini diminum obatnya!"

Ku minum obat yang diberi Mbak Febi, tak terasa aku menangis terharu dengan kebaikannya. Ku peluk Mbak Febi seraya mengucapkan terima kasih.

"Sudah, jangan nangis. Yuk, siap-siap pulang!"

Selama perjalanan pulang kami saling diam, aku larut dalam fikiranku, ada rasa rindu pada ibu merayapi dada.

Setibanya di kontrakan, kami duduk di ruang tamu. Mbak Febi memegang tanganku dan berkata, "Tolong ceritakan permasalahanmu, Dek. Aku rasa aku perlu tau."

"Aku hamil di luar nikah, Mbak."

Ku ceritakan semua yang terjadi padaku. Dari mulai yang menyebabkan aku hamil, saat mengetahui bahwa aku hamil dan berniat mengugurkan janin ini, juga tentang aku yang meninggalkan rumahku dan berniat untuk merawat janin ini setelah beberapa kali gagal menggugurkan.

Tak lupa ku ceritakan pula aku yang tinggal di rumah seorang diri karena ibuku bekerja di luar negri. Mendengarnya Mbak Febi semakin mempererat genggaman tangannya.

Mbak Febi mendengarkan dengan seksama. Dia menanggapi ceritaku penuh simpati, tampak ada rasa iba dalam raut wajahnya.

"Oke, mulai sekarang kamu tinggal saja di sini dan jadi adikku."

Pernyataannya membuatku terhenyak, bagaimana bisa dia sebaik ini pada orang yang baru ditemuinya? Kembali ku peluk dia dan menangis dalam dekapannya.

"Terima kasih banyak, Mbak."

"Iya, sama-sama. Aku tau ini pasti sulit bagimu. Kamu harus tetap semangat. Ingat janin yang ada di perutmu tak punya salah apa-apa, jangan coba-coba menyakitinya."

Aku mengangguk sambil menghapus air mata yang tak kunjung berhenti.

"Oh, iya, mbak sudah kosongkan lemari pakaian bagian bawah, nanti kamu bisa menyimpan pakaianmu di sana. Beres-beresnya besok saja. Tapi maaf, ya, mbak ga bisa bantu soalnya besok pagi sudah mulai kerja."

"Gak papa, Mbak. Terima kasih sebanyak-banyaknya, aku akan membalas semua kebaikan, Mbak."

"Ya, sudah sekarang kita tidur sudah malam," ajaknya sambil melangkah menuju kamar.

"Alahmdulillah" ucapku pelan seraya bersyukur pada Tuhan yang masih memberikan banyak kebaikan kepadaku yang telah berdosa ini.

Ya, Tuhan tidak tidur. Sesulit apapun masalah kita pasti ada jalan keluarnya. Aku sangat bersyukur karena dipertemukan dengan orang sebaik Mbak Febi, walau awalnya ragu. Entah terbuat dari apa hatinya, dia bagaikan malaikat tak bersayap. Semoga segala kebaikannya dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda, do'aku dalam hati.

Aku beranjak menuju kamar ku lihat Mbak Febi sudah terlelap. Pasti lelah rasanya setelah baru saja melakukan perjalanan berjam-jam, lalu membawaku ke rumah sakit. Entah tadi bagaimana dia membawaku ke sana, sepertinya dia kembali memesan taxi online. Jika ku ingat-ingat dia sudah banyak mengeluarkan uang untukku hari ini. Aku benar-benar harus membalasnya.

Sebelum memejamkan mata, ku putuskan untuk membuka ponselku. Sejak pagi tadi aku tak membukanya. Saat ku buka terlihat ada notifikasi pesan masuk dari nomor yang tak terdaftar di kontak. Siapa, ya?

[Halo, Mbak. Saya mau tanya-tanya tentang rumah yang akan dikontrakkan]

Alhamdulillah baru saja aku memasang iklan sudah ada yang tertarik. Ku putuskan untuk menghubunginya besok. Lalu ku rebahkan tubuhku di sampi Mbak Febi, tak lama aku terlelap.

Terpopuler

Comments

Fatiha Syamil

Fatiha Syamil

next Kak Ross

2020-05-29

2

putrindrani

putrindrani

Lanjut ya ❤️

2020-05-25

2

Abi Salam

Abi Salam

Sukses selalu

2020-05-12

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!