Setelah satu jam bercengkerama dengan keluarga besar Kyai Abdullah yang merupakan pemilik pondok pesantren, Ayah dan Ibu Cika berpamitan untuk pulang. Mereka telah menitipkan dan menyerahkan sepenuhnya agar Cika bisa dididik dan dibina di pondok pesantren milik Kyai Abdullah.
Tentulah berat bagi Ayah dan Ibu Cika berpisah dengan Cika yang merupakan anak semata wayangnya. Namun, demi kebaikan Cika itu sendiri. Mereka bukan tidak sayang atau pun tidak sanggup membimbingnya untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Mereka mempunyai alasan tertentu, pondok pesantren mungkin yang cocok untuk Cika sekarang. Begitulah yang ada di dalam pikiran masing-masing keduanya.
"Bu ...." Cika memeluk erat tubuh Ibu di depan pintu gerbang pesantren, ia kembali merengek, “Aku ingin pulang sama Ibu dan Ayah.” Tangisannya kembali pecah.
Ibu mengusap lembut pipi Cika, lalu berkata, "Kamu akan betah di sini lama-kelamaan, Nak. Nurut kata ustaz dan ustazah di sini, ya.”
"Ibu dan Ayah jahat! Aku nggak akan betah di sini," sahut Cika
"InsyaaAllah, kamu akan betah di sini, Nak." Nyai Hana yang merupakan istri Kyai Abdullah mengusap lembut kepala Cika yang dilapisi jilbab warna peach itu.
"Kami akan sering mengunjungimu." Ayah menarik tubuh Cika ke dalam dekapannya. Memberikan kecupan di puncak kepala anak semata wayangnya itu, "Buatlah ayah dan ibu bangga kepadamu, Nak. Ayah sangat menginginkan mempunyai anak yang shalihah bukan anak yang tomboi, ingat itu. Berjanjilah." Ayah mengangkat jari kelingkingnya.
"Aku akan usahakan." Cika mengangkat jari kelingkingnya juga untuk berjanji.
...***...
"Bangun, Cika! Sudah subuh, kamu bisa telat salat berjamaah!" Dinda menggerakkan tubuh Cika.
Melihat tak ada respons dari Cika, Novi yang berdiri di samping Dinda jadi ikut-ikutan membangunkan, “Yo, benar, Cika. Kena hukum kau nantinya,” ucapnya.
Mereka bertiga baru kenalan semalam, Novi dan Dinda menyukai kepribadian Cika yang harmonis, friendly, dan sangat mudah bergaul dengan siapa pun. Walaupun anaknya agak ngeselin dan keras kepala. Mereka berdua yakin Cika anak yang baik.
"Hoam." Cika menguap satu kali lalu menggeliatkan tubuhnya. Gadis ini menarik selimutnya lagi untuk melanjutkan tidurnya. Sangat tidak biasa baginya bangun pagi-pagi buta seperti ini. Apalagi ia semalam lama tidur gara-gara belum terbiasa ditambah perasaan rindu kepada kedua orang tuanya, membuat ia masih mengantuk berat.
"Woy, Cika bangun!" Dinda berteriak di telinga Cika, mengguncang tubuh Cika lebih keras.
"Aku masih ngantuk, Din. Kalian berdua pergi aja, aku nggak bisa. Mau tidur lagi," sahut Cika dengan suara serak. Mengambil bantal guling, menutup kupingnya.
Novi mengelus dada melihat tingkah teman barunya itu, "Astagfirullah, Cika, ini baru hari pertama kamu di sini . Jangan buat masalahlah.”
Tidak ada respons apa pun, Cika malah semakin tertidur pulas. Novi dan Dinda berbisik mencari ide agar bisa membangunkan Cika.
"Kepada seluruh santri putra dan putri segera datang ke masjid. Salat subuh berjamaah sebentar lagi dilaksanakan."
"Owalah, Ustaz Hafid jadi imam subuh ini, Din?"
"Iya, makanya kita harus cepat-cepat pergi."
Sebuah ide pun muncul. Novi dan Dinda mengangkat tubuh Cika paksa pergi ke kamar mandi.
Cika mengucek matanya, saat merasakan tubuhnya diangkat, “Ah, aku masih ngantuk, lagi pula aku nggak bisa salat. Aku sudah lupa sama bacaan dan gerakannya." Cika menyenderkan tubuhnya di dinding kamar santri putri.
“Nggak apa-apa, nanti kami akan mengajarimu.”
"Sepuluh ...." Suara hitungan mundur terdengar di masjid. Menjadi peringatan kepada seluruh santri untuk sudah ada di masjid sebelum sampai hitungan satu.
"Cika, kami duluan, kamu cepatan mandinya."
"Iya, Cika. Kami tunggu di masjid, ya."
Dinda dan Novi yang sudah mengenakan mukena itu lari terbirit-birit segera mengambil sajadahnya.
Sementara Cika hanya mengangguk kepala kecil, bersikap bodoh amat saat melihat seluruh santri putri bergegas pergi dengan terburu-buru kecuali dirinya yang bersikap santai. “Huh! Mana badanku pegal-pegal, kasurnya jelek banget,” cibirnya.
Ia ditempatkan di kamar santri putri ke-dua, kamarnya cukup besar bisa menampung lima puluh santri putri, berarti lima puluh tempat tidur dan lima puluh lemari berukuran sedang.
Karena kasurnya berdekatan dengan Dinda dan Novi, jadi ia menjadi akrab dengan dua teman barunya itu, dengan santri lainnya akrab juga, tetapi tidak seperti Novi dan Dinda yang langsung lengket, bahkan menyebut bahwa mereka bertiga akan menjadi sahabat fillah. Cika nggak mengerti arti kata ‘fillah’ itu, ia hanya mengangguk setuju-setuju saja.
Cukup lama bergumam, dan terus menyalahkan kasurnya yang tidak empuk, ia akhirnya masuk ke dalam kamar mandi dengan penuh keterpaksaan. Dan bersiap-siap ke masjid, walaupun semua serba terpaksa. Karena ia masih mengingat sudah berjanji dengan ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Bang Ipul
semangat dong cika
2024-08-13
0
Heni Rehan
semoga seru cerita y
2022-05-22
2
Happyy
💖💖💖
2022-03-11
1