Cika benar-benar mendapatkan ceramah dari dua orang sekaligus, satunya dari Ustazah Laili, dan satu lagi dari ustaz yang menyebalkan baginya, dimana ia baru mengetahui nama ustaz itu adalah—Ustaz Hafid.
“Sudah selesai, kan? Saya akan kembali ....”
“Hukumanmu, menyapu halaman perpustakaan, sekarang,” potong Ustaz Hafid.
“Hah? Nggak bisa ditunda apa , Ustaz?”
“Sapu lidi, ada di samping masjid, saya permisi, assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Akh!” geram Cika kesal.
Setelah kepergian Ustaz Hafid Cika menendang tembok masjid meluapkan kekesalannya. Ia geram sekali melihat tingkah laku ustaz yang sudah dicap kejam itu, ingin ia berteriak menyumpah serapah, tetapi tak mungkin melihat Ustazah Laili masih bersama dengannya.
“Saya permisi juga, Cika. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam, Ustazah,” jawab Cika berpura-pura ramah.
Dengan perasaan campur aduk, ia melangkahkan kakinya ke luar untuk menjalankan tugas, lebih tepatnya hukuman. Ia terus bergumam tak karuan tentang Ustaz Hafid, sapu lidi yang dipegang dijadikan sebagai alat pelampiasan kekesalannya juga.
"Sapu yang benar, mau saya tambah hukuman kamu?"
Cika menoleh ke sumber suara, “Ternyata ustaz itu diam-diam mengawasiku, huh!” batinnya.
“Eh, Ustaz ada di sini pula, kayak setan aja di mana-mana muncul, hehehe,” ucapnya yang lebih ke menyindir.
“Hmm, selesaikan pekerjaanmu cepat.”
Cika mencoba menikmati hukumannya, tiba-tiba sebuah ide untuk mengerjai Ustaz Hafid terbesit sangat indah di pikirannya. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya lalu mengambil batu kecil di tanah.
Tuk! Lemparannya tepat sasaran mengenai tulang kering pria yang berdiri tidak jauh di hadapannya.
"Hahaha ... sakit nggak, Ustaz?" Cika tertawa mengejek, melepas sapu lidi ditangannya lalu berlari secepat kilat dari hadapan Ustaz Hafid.
“Rasain emang enak, jadi ustaz makanya jangan garang amat,” gumamnya saat berlari, ia terus tertawa kemenangan. Puas baginya melihat raut wajah kemarahan di wajah ustaz barunya itu, ia sampai di depan asrama putri dengan napas ngos-ngosan.
"Abis dikejar setan, Cika?" tanya heran Novi di ambang pintu.
"Bukan setan, Vi. Tapi dikejar sama Ustadz Hafid."
Ia mengambil sebotol air mineral kemasan di tangan Dinda lalu diminum dengan rakusnya.
"Hah?" Novi dan Dinda kaget bersamaan.
"Jangan cari masalah terus-menerus kamu, Cika." Novi memijat pangkal hidungnya melihat tingkah sahabat barunya.
"Aku nggak cari masalah Vi, Ustaz Hafid ngeselin sih. Tadi buat aku malu terus dihukum. Pengin aku cekik tuh leher ustadz, sekate-katenya main nyuruh."
"Awas benci lama-lama jadi cinta Cika, lho," timpal Novi menggoda.
"Nggak bakalanlah, bukan tipe aku mah tuh ustaz."
"Aku aja kagum sama Ustaz Hafid. Pengen jadi imamku nantinya," tutur Dinda.
"Ustaz Hafid baru aja pulang dari Mesir, kamu tahu dia menjadi dambaan setiap santri putri di pesantren ini. Udah ganteng, ilmu agamanya sangat tinggi pula."
"Jangan bilang kalian juga suka sama tuh ustadz?" tanya Cika penasaran.
"Kami nggak suka, cuman kagum aja dengan kepribadian Ustaz Hafid," sahut Dinda.
"Oh ... perasaan nggak ada cakep-cakepnya. Biasa aja sih," cibir Cika.
"Cika, di belakang kamu tuh ...." Dinda memberikan kode melalui kedipan matanya agar Cika peka.
"Apaan?" Netra Cika menatap ke arah belakang. Ustaz Hafid sudah berdiri tegap di sana.
Mengetahui akan itu Cika langsung berlari ke kamar mandi untuk bersembunyi. Ia menghindari kemarahan Ustaz Hafid pada dirinya.
"Aku sakit perut, Ustaz!" teriak Cika berbohong dari kejauhan.
"Ustaz Hafid, kami permisi dulu," ucap Novi dengan sopan. Novi menarik tangan Dinda untuk pergi menjauh. Mereka tidak ingin kena imbasnya juga.
Ustaz Hafid mengelus dadanya menghadapi Cika, sedetik kemudian bibirnya terangkat menyungging senyum tipis.
"Dasar santri nakal," gumam ustadz Hafid berjalan menuju ruangannya.
Setelah memastikan Ustaz Hafid sudah pergi Cika keluar dari persembunyiannya. Ia mengambil benda pipi pergi di dalam saku gamisnya.
"Kita foto bareng, yuk!" ajak Cika antusias kepada seluruh teman-temannya yang ada di dalam asmara putri. Dia membuka aplikasi 'camera' di handphonenya itu.
Novi merampas handphone milik Cika. "Kenapa belum nyerahin handphone kamu, Cika? Ustadzah Laili sudah bilang tadi, kan?"
"Sudah sih, tapi aku nggak mau, handphone ini segalanya bagiku!" Cika merebut kembali handphone di tangan Novi.
Cekrek!
Cekrek!
Ia sudah mengambil foto dengan pose yang berbeda-beda dengan teman-teman barunya.
"Sekarang kita foto cuman bertiga." Cika menarik tangan Novi dan Dinda untuk berdiri di sampingnya.
"Tolong fotoin kami, yah," pinta Cika pada seorang santri putri.
Novi dan Dinda dengan berat hati menuruti keinginan Cika. Mereka berdua sungguh pusing dan frustrasi menghadapi tingkah sahabatnya itu.
"Di sini nggak boleh main handphone Cika, nanti kamu akan dihukum. Kamu nggak capek dan bosan dihukum terus?" Dinda bertanya sengit.
"Kalau kalian nggak ember mulut, Ustazah Laili nggak akan tahu kok," jawabnya santai sembari duduk di ranjangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Bang Ipul
bener" bikin ngakak
2024-08-13
0
Nur Hayati
lanjut KK ceritanya
2022-05-31
0
Happyy
🤭🤭
2022-03-11
0