"Kenapa harus Danzel? Bukannya opa punya 6 anak?" Lagi-lagi Mala mengutuki mulutnya yang tak terkendali, terlalu banyak bertanya dan penasaran dengan masalah keluarga orang lain.
Rasa penasaran itu kian meluap ketika terlihat opa Johan tampak menghela napas berat.
"Mau bagaimana lagi nak, putra pertamaku yang sudah digadang-gadang akan meneruskan perusahaan malah memilih jalan hidupnya sendiri. Sebagai orang tua yang baik sudah seharusnya opa mendukung apapun yang dia pilih kan?" Wajah opa Johan tampak murung, pasrah pada keadaannya. Yang dimaksud adalah Yudhistira, anak laki-laki pertama yang sudah menemukan jalan hidupnya. Entah ada dimana dia saat ini. Berita terakhir yang dia tahu, pria itu menikahi seorang wanita bernama Maria.
"Sedangkan putra ku yang lain, mereka lebih memilih bidang yang mereka sukai masing-masing. Mereka masih membantu opa dalam mengurus perusahaan, tapi tetap merasa tidak sanggup jika harus mengemban tanggung jawab sebagai pimpinan tertinggi. Anak-anakku tidak bisa dikekang, semuanya keras kepala. Ada salah satu dari mereka yang berkarir di dunia entertainment, dan opa yakin kamu pernah mendengar namanya."
"Sedangkan Aisha, dia sudah bersuami dan tentu tidak bisa menggantikan opa. Apalagi dia juga sudah menjadi wanita yang sukses dalam karir yang dia geluti." Lanjutnya lagi.
Dengan seksama perempuan itu mendengarkan setiap patah kata yang dilontarkan Johan. Menyelami setiap arti kata-katanya. Meskipun sudah berusaha keras dan opa Johan sudah menjelaskan secara gamblang, tetap saja otak Mala belum terkoneksi dengan pembicaraan. Masih bingung, siapa anak pertama opa dan kemana dia? Dan siapa diantara mereka yang berkarir menjadi selebriti?. Huh, bahkan dia tidak tahu nama-nama mereka. Aisha, siapa wanita itu. Ia ingat pernah membaca buku best seller karangan seorang wanita sukses dari Amerika, dengan nama yang sama, tapi mungkinkah mereka juga orang yang sama?. Mala menyerah, selanjutnya dia hanya memasang kuping lebar-lebar.
"Dan setelah perundingan keluarga besar yang melibatkan keluarga Fernandez dan Anderson, kami memutuskan bahwa Danzel, selaku anak laki-laki Aisha yang akan menggantikan posisi opa. " Seru pria itu. Johan tahu Devan merupakan anak pertama laki-laki, tapi biar bagaimanapun dia hanya anak angkat bukan kandung yang tentu saja tidak berhak atas hak waris.
Oh, begitu ternyata jadi nyonya Aisha itu ibunya Danzel. Batin Mala dalam hati seraya mengangguk kecil.
"Maaf opa, Mala jadi banyak bertanya tentang keluarga opa. " Gadis itu berucap sungkan. Merasa lancang membuka pembahasan yang agaknya tak ingin dibahas oleh Johan.
"Tidak masalah nak, kamu memang harus tahu semuanya mulai sekarang." Ujar opa Johan menanggapi perkataan Mala.
Dahi Mala berkerut, tapi tak mau ambil pusing. Gadis itu mulai menyusun ulang kalimat yang sudah ia pikirkan tadi untuk meminta ijin pada opa Johan, bahwa dirinya akan pindah dari tempat ini.
"Opa, sebenarnya Mala sudah menyewa sebuah kos-kosan. " Cicit Mala lirih. Opa Johan sontak memotong ucapannya yang belum tuntas.
"Kenapa begitu? Apa kamu tidak suka rumah opa? Apa Danzel mengganggumu?" Keterkejutan menyergap Johan, kenapa tiba-tiba gadis ini ingin pergi. Padahal dia sudah mengucap janji pada Salim akan menjaga cucunya sebaik mungkin.
"Ti-tidak! Bukan begitu, hanya saja lokasi kos itu lebih dekat dengan tempat kerja Mala. Jadi lebih mudah kalau ada apa-apa."
"Tempat kerjamu dekat dengan mall itu kan? Itu tidak terlalu jauh darisini nak, kalau begitu opa akan menyuruh sopir mengantar jemputmu, asal kamu tetap tinggal disini." Perkataan opa Johan seperti tak ingin ada alasan atau bantahan lagi. Keputusannya sudah bulat.
"Tapi opa, Mala tidak nyaman tinggal disini." Mala merasa tidak nyaman tinggal dirumah orang sebagai tamu dalam jangka waktu lama, apalagi ada Danzel. Si rese yang setiap memandang wajahnya rasanya Mala ingin menonjoknya.
"Kalau begitu opa akan merenonasi kamarmu supaya Mala nyaman." Sahutnya lagi.
Bukan begitu maksudku opa.. Mala meringis antara sedih dan bimbang. Bagaimana caranya agar ia dapat keluar dari kediaman Fernandez. Dia menatap opa Johan memelas, tidak tahu kalau pria tua itu dulunya adalah juara lomba debat nasional, sudah pasti dia tak akan menang beradu kata dengannya.
"Mala bukan tidak nyaman karena tempat ini atau apa. Rumah Opa sangat bagus seperti istana, aku sangat bahagia bisa tinggal disini. Tapi Mala tidak ingin merepotkan opa kalau tinggal disini terus, apalagi dalam waktu lama."
"Kamu memang akan terus tinggal disini dalam waktu lama nak, sudah sudah, tidak ada penolakan lagi. Pokoknya Mala akan tinggal disini, apa kamu mau Opa merasa bersalah seumur hidup karena tidak menunaikan amanah dari kakekmu untuk menjagamu selama disini."
Otak Mala buntu, ia tak sanggup memutar otak lagi untuk menemukan alasan lain supaya ia keluar dari rumah ini. Gadis itu menghela napas lelah sepanjang langkah kakinya berlalu dari ruang kerja Johan. Memasuki kamarnya sendiri dan kembali menata baju bajunya ke dalam lemari. Hanya sebagian saja, karena tadi Mala mengajukan permintaan, ia bersedia tinggal disini tapi dia akan pulang ke desa beberapa waktu untuk menyelesaikan urusannya. Opa setuju, Mala akan berangkat esok pagi-pagi buta.
***
Bau rokok memenuhi ruangan bernuansa gelap tersebut. Hanya lampu remang-remang yang menyinari redupnya malam. Gelas-gelas diatas meja memantulkan cahaya. Diatas sofa sana nampak para pria tengah duduk bergerombol dan bercanda tawa entah membahas apa. Di meja tersedia beberapa minuman yang pasti sudah bisa ditebak minuman apa itu. Danzel kini berada di sebuah ruangan privat pada sebuah club milik temannya.
"Hahaha!" Tawa menggema di ruangan tersebut. Suasana benar-benar riuh oleh obrolan tidak berfaedah para lelaki. Mulai dari membicarakan pacar, studi mereka dan yang paling dominan adalah rencana balapan minggu depan.
"Come on Danzel! Kenapa dari tadi diam saja? Apa mamimu juga melarang mu bicara?! Haha!" Laki-laki yang merupakan teman Danzel itu tertawa keras yang turut mengundang tawa personil lain.
"Sialan!" Umpat Danzel menoyor kepala teman yang tadi mengatainya. Sejak beberapa saat lalu dia bercerita tentang mami Aisha yang murka padanya beberapa minggu lalu, hal itu malah menjadi bahan olokan baginya. Niat hati kemari untuk menciptakan mood happy, tapi yang didapat malah sebaliknya.
"Lalu kenapa? Jangan-jangan... " Danzel sampai membekap mulut Cakra, kawannya yang bermulut wanita. Laki-laki berkulit langsat itu kalau sudah bicara sampai satu jam pun tidak akan selesai, selalu ada saja yang dibahas dan kebanyakan topik tidak penting.
"Diam Lo!"
"Kenapa sih Dein, ada masalah apa? Cerita saja, lagian lo baru pulang dari Amerika seharusnya senang karena bisa liburan kesini, seharusnya sekarang kita senang-senang, iya kan?!" Seru Raja, si anak sultan yang memiliki club ini. Dein adalah nama panggilan yang ia berikan padanya, biasanya hanya teman dekat yang memanggil Danzel begitu.
Danzel memiliki beberapa teman di negara ini, teman yang ia dapatkan saat vacation ke Bali beberapa tahun lalu, mereka menjadi teman baik hingga saat ini karena memiliki hobi yang sama, balapan motor. Hobi keren favorit para laki-laki muda seperti mereka. Danzel menyempatkan kemari sebulan sekali hanya sekedar mengadu skill nya dengan kawan-kawannya. Sempat kuliah di universitas yang sama selama beberapa bulan, namun sayangnya Danzel memilih melanjutkan studinya di Amerika karena perintah maminya.
Diantara dari mereka adalah Ariel, Atlas, Raja dan Cakra. Umur mereka terpaut tidak terlalu jauh, oleh sebab itu apapun yang mereka lakukan selalu cocok.
"Lagi kesel sama Devan lagi pastinya," Ariel yang daritadi menutup mulutnya menyahut. Sudah menebak alasan dibalik mood buruk temannya, apalagi kalau bukan karena dia yang terus dibandingkan dengan Devan, kakak sulungnya yang pandai mengelola bisnis.
Dari kecil, Danzel memiliki sifat pencemburu akut layaknya sang ayah. Hingga kini sifat itu melekat padanya, sudah menjadi tabiat Danzel. Mami Aisha tak pernah membedakan diantara anak-anaknya, semua kasih sayang mami dibagi rata. Meskipun terkadang Danzel merasa Devan selalu lebih dominan daripada dirinya. Kakak sulungnya itu sangat pandai dalam bidang apapun, dia pandai mengelola bisnis bahkan sudah memiliki bisnis sendiri, para wanita selalu berkerubung didekatnya saat pria itu memasuki aula. Meninggalkan Danzel sendiri.
Cemburu selalu menguasai Danzel apalagi ketika Daddy memuji kerja keras Devan. Telinganya mengepulkan asap kalau daddy Arthur mulai membandingkannya dengan kakak tertuanya tersebut.
"Dia itu kakakmu, ngapain sih musuhan terus?! Padahal kalau kalian damai enak loh, bisa dapat ladang uang dari daddy mu, opa mu dan juga kakak sulungmu itu."
"Gue nggak butuh uang dari dia!"
"Yasudah berikan saja uangnya sama gue!" Sahut Cakra.
"Ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba lo pindah mendadak, bukannya jadwal seharusnya tiga bulan lagi?!" Kali ini giliran Atlas yang bertanya, ia cukup penasaran alasan Danzel mempercepat kepindahannya kesini.
"Biasalah, " Lelaki itu menjawab malas diiringi desahaan ringan. Tangannya terulur mengambil gelas diatas meja lalu meneguknya hingga tandas.
"Gue buat masalah lagi, dan mami kali ini benar-benar marah. Akhirnya mami memajukan jadwal dari yang seharusnya." Danzel teringat mami Aisha yang benar-benar jengkel padanya pada saat itu, tapi dia tak terlalu ambil pusing. Mami tidak pernah bisa benar-benar murka padanya, dengan jurus rayuan dan sikap manisnya nanti pasti wanita yang melahirkannya itu akan luluh.
"Lalu lo dikirim kesini supaya mendapat didikan dari kakek lo? Huh, sudah seperti anak TK saja!" Gelak tawa Cakra terhenti menangkap tatapan galak temannya. "Sorry, sorry. "
"Sudahlah jangan ejek dia terus, nanti ngambek malah pulang lagi. Kita kan kesini untuk bersenang-senang!"
"Mari kita pesta!" Suara sorakan terdengar keras dari kelima pria itu. Mereka dengan tak sabar berhambur keluar dari ruang privat dan menuju aula tempat pesta berlangsung.
Danzel menghabiskan waktunya bersama teman temannya dengan berjoget ria di lantai dansa. Menikmati alunan musik DJ yang mengalihkan beban pikirannya. Gerombolan manusia berbeda jenis kelamin itu saling berbaur, berdesakkan tanpa memandang gender. Tampak pria itu begitu menikmati suasana, tanpa tahu ada seorang gadis yang tengah bimbang disebrang sana.
***
Pagi-pagi buta sekali, seorang laki-laki muda melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Mengendap-ngendap agar tak menimbulkan suara. Matanya berpencar meneliti keadaan sekitar. Aman, batinnya. Para pelayan bahkan masih bergelung dengan selimut di kamar masing-masing. Danzel bisa dengan leluasa berlalu lalang tanpa beban yang berarti. Sebelum kembali ke kamar atas dia menyempatkan diri mampir ke dapur. Meraih apel yang teronggok diatas piring bekas semalam, mengunyahnya pelan untuk meminimalisir rasa laparnya.
"Pestanya seru?!" Uhuk, Danzel sampai tersedak apel saat telinganya menangkap suara yang tak asing lagi.
"O-opa sudah bangun?" Kikuk dia menyahut tanpa menjawab pernyataan opa yang tadi.
"Ikut ke ruangan opa!"
***
Akhirnya Danzel berakhir dengan duduk manis diatas sofa navy di ruang kerja sang kakek. Menunggu pengadilan atas kenakalan yang lagi-lagi dia perbuat. Menyesal? Tidak! Danzel sudah biasa dimarahi Mami dan Daddy. Otaknya mengatakan kalau ia tak bersalah disini.
Raut Opa kali ini berbeda dari biasanya, membuat Danzel sedikit gentar dan menautkan jarinya dibawah. Mengalihkan pandangan kearah lain, tak punya nyali bersitatap dengan tatapan jengkel kakeknya.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini Danzel?" Sudah Danzel duga, ia sudah menebak opa akan mengatakan hal yang sama dengan yang selalu daddy Arthur lontarkan padanya. Sampai kapan kau akan jadi seperti ini? Kapan kau akan berubah? Ayolah bung, memang apa yang salah dalam dirinya. Danzel merasa dia normal dan tak ada yang keliru padanya.
"Aku memang seperti ini opa. Kenapa kalian para orang tua selalu bertanya hal itu? Apa yang salah memang, apa yang harus aku rubah?!" Danzel meluapkan emosi dan uneg-uneg yang ia simpan.
"Sifatmu! Kamu malah pergi berpesta sedangkan kamu baru saja membuat masalah dengan Mala. Membuat rekan bisnis Opa salah paham dan menilai negatif nama baik kita. Bahkan tak sepatah kata maaf pun kamu berikan pada Nirmala. Otakmu dimana sih Danzel, dia pasti malu dan tidak enak hati saat ini." Amarah opa kali ini benar-benar meluap sepertinya. Layaknya larva panas yang terpendam lama dalam sebuah gunung berapi.
Danzel masih memasang telinganya. Ah, itu kan hanya masalah sepele. Bahkan dia sudah lupa tentang hal itu kalau opa tidak mengingatkannya. Perbedaan budaya memang memengaruhi pola pikir seseorang ternyata.
"Kamu tahu Danzel, kamulah yang akan meneruskan bisnis dan perusahaan opa! Kalau sikapmu seperti ini yang ada usaha opa akan hancur. Kau senang bermain main dan foya foya diluar sana, menghamburkan uang dan waktu untuk hal tidak berfaedah. Itu bukan sikap seorang pemimpin Danzel!" Opa Johan berapi api.
Menyugar rambutnya frustasi, Danzel bimbang menyusun kata untuk membalas kakeknya.
"Kalau begitu gampang, tinggal berikan aku jabatan itu lalu beres, aku lulusan terbaik di kampus opa! Aku bisa menghandle segalanya dengan baik." Rasa percaya diri Danzel memang diatas rata-rata, dari segala fasilitas yang kharisma yang dia punya, memang apalagi yang mampu membuatnya minder?
"Kau terlalu menggampangkan sesuatu Danzel, opa tidak akan memberikan jabatan tinggi di perusahaan maupun modal untukmu sebelum kau pantas dan bertanggung jawab." Keputusannya bulat, tak dapat diganggu gugat.
"Lalu apa yang harus kulakukan?" Pasrah lelaki itu bertanya, seakan lelah dan tak ada habisnya kalau beradu argumen dengan pria berumur dihadapannya.
***
Mala berlari kecil menuruni tangga sesaat setelah tahu kalau sopir sudah menantinya dibawah sama selama 15 menit. Tidak enak rasanya kalau sampai membuat orang lain menunggu lama. Tangannya menenteng tas yang tak terlalu besar, sebab perempuan itu tidak akan seberapa lama di desa.
"Mala!" Langkah Mala terhenti mendadak mendengar seseorang menyerukan namanya. Ia mengenali suara khas tersebut dan berbalik. Untuk pertama kali Danzel menyebut namanya dengan baik.
"Ada apa?" Menyahut seruan Danzel dengan datar ketika pria itu masih berada di anak tangga teratas.
Langkah lelaki itu kian mendekat, mengikis jarak diantara keduanya. Netra terangnya menatap iris gelap Mala yang menyorotnya dengan bingung.
"Ada apa?" Ulang gadis itu sekali lagi, barangkali Danzel tak mendengar pertanyaan nya yang pertama.
Bibir lelaki itu tampak berkedut, seolah ingin mengutarakan sesuatu tapi tertahan dalam tenggorokannya. Matanya bersitemu dengan Mala yang mulai kesal. Tangannya pegal menenteng tas hitam tersebut.
"Emm.. ayo kita menikah."
****
Bersambung...
Jangan lupa follow akun Instagram author: @stefhany_stef
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
hasanah uswa
ceritakan myara dengan reynard juga thor di kisahnya danzel ya
2022-02-24
1
Yunia Layla
Kok blm up kak
2022-02-23
1
Ririn Satkwantono
daddy arthur yg cakep... udah tuwir ya kan.... hihihi secara udah cocok punya mantu😁😁😁
2022-02-21
1