BAB 2

Netra Mala menyorot takjub tempat yang ia pijaki. Gadis itu kini berada pada sebuah rooftop luas dengan berbagai tanaman dan bunga yang mendominasi.Sebuah sofa abu melingkar di tengah, tempat ini sangat cocok dijadikan ruang bersantai. Mala berdiri menatap takjub pemandangan dari rooftop yang langsung menuju alam terbuka. Bila dia menoleh kearah kiri, langsung disajikan pemandangan kepadatan ibukota. Bisa dibayangkan betapa menyenangkannya duduk bersantai disini pada malam hari seraya menikmati secangkir kopi, menatap angkasa yang bertabur bintang. Ah, Mala rasa dia terlalu lancang. Sudah lima hari dia di rumah orang dan dia merasa sangat senang. Siapapun tentunya akan betah tinggal di rumah megah bak istana tersebut.

"Tapi bagaimana kakek bisa dapat teman konglomerat begini?" Bahkan kakek Salim hanya seorang petani, tapi dia kenal baik dan bersahabat dengan Johanes Fernandez, salah satu konglomerat di negara ini yang punya banyak perusahaan dan anak perusahaan.

Desas - desus yang Mala dengar dari internet juga menerangkan kalau pengusaha cukup umur tersebut punya banyak anak. Tapi semenjak kehadirannya kemari, Mala tak melihat satupun dari keluarga tuan Johan. Hanya ada tuan Johan dan beberapa pelayan saja di rumah besar ini.

Orang kaya memang beda ya, yang tinggal saja hanya beberapa orang tapi rumahnya luas tak terhingga. Alhasil hanya ada kehampaan dimana - mana.

"Nirmala," suara panggilan seseorang sontak membuat Mala berbalik badan, langsung bersitatap dengan Johan yang sudah rapi dengan jas kerjanya.

"Iya tuan, " balas Mala canggung.

"Tidak usah panggil saya tuan, panggil Opa saja. Kamu sudah saya anggap sebagai cucu sendiri karena kamu adalah cucu dari Salim." Tutur pria itu lembut menampilkan gigi palsunya yang rapi dan putih.

"Iya, opa." Mala sejujurnya merasa tak pantas memanggil begitu. Tapi dia menurut saja.

"Ayo turun kebawah sebentar, ada yang akan datang sebentar lagi." Seru Opa Johan lalu berlalu darisana. Mala masih menatap punggung pria tua dengan uban yang sudah menutupi kepalanya tersebut.

Mala patuh, lalu mengekori langkah opa Johan menuju lantai satu. Rumah besar ini terdiri dari tiga lantai. Mala merasa seperti bermimpi saat bisa tinggal disini.

Sebenarnya, dia tak berharap tinggal. Mala bahkan sudah menyurvei beberapa kos - kosan yang murah dan pastinya akan hemat budget. Tapi apa daya, opa Johan memaksanya tinggal. Bahkan pria itu sangat amat memohon yang membuat Mala tak sampai hati menolak keinginannya.

Ditambah pesan kakek Salim, untuk patuh pada apa kata sahabatnya. Sebab Johan lah yang akan melindungi Mala kalau ada sesuatu yang tak diinginkan di kota tersebut menimpanya.

Hah, Mala juga heran. Memangnya sebahaya apasih tanggal sendirian di kota orang?. Atau ada hal lain yang ia tidak tahu?. Batinnya bertanya - tanya.

Begitu sampai di lantai dasar, langsung ia disuguhkan pemandangan yang mencengangkan, pria sombong itu, dia ada disini! tepat dihadapannya dan sedang bercengkrama akrab dengan opa Johan.

"Ya Tuhan kenapa harus ketemu dia lagi!" Jeritnya dalam hati. padahal Mala sudah berdoa semoga tidak dipertemukan dengan si sombong itu. Atau akan ribet urusannya nanti.

"Mala sini nak!" Panggil Opa Johan yang membuyarkan lamunannya. Mala melangkah mendekat, sepertinya laki - laki itu pun sama terkejutnya dengan dia. Dia tampak sedikit membulatkan mata saat Mala turut duduk dekat opa. Bahkan sekarang dia membuat Mala risih dengan matanya yang memindai penampilan Mala dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kenalkan ini cucu saya, Danzel. Dia baru tiba dari New York beberapa hari yang lalu. Tapi tidak usah khawatir, bahasa Indonesianya sangat lancar." Penuturan Johan membuat Mala terkejut, jadi dia adalah cucu dari sahabat kakek yang memberinya tumpangan tempat tinggal. Kenapa bisa kebetulan sekali, beberapa hari yang lalu pria itu menabraknya dan sekarang Mala malah tinggal dirumah kakeknya. Apa ini yang dinamakan jodoh?

"Dia adalah Nirmala Danzel, dia cucu sahabat opa. Ayo jabat tangan!" Opa Johan sedikit memelototkan matanya pada Danzel saat pria itu hanya diam. Alhasil setelah mendapat intimidasi dari sang kakek, Danzel mengalah.

"Danzel," Seru Danzel.

"Nirmala," Keduanya berjabat tangan.

Opa Johan lalu tersenyum, mereka berbincang cukup hangat setelahnya.

"Kemana saja kamu lima hari ini, disuruh ke rumah Opa kok malah kelayapan." Omelnya namun dengan nada lembut. Danzel menggaruk tengkuknya, tak mungkin dia jujur atau Opa akan tambah marah kepadanya.

"Danzel ini anak muda, opa! Aku hanya pergi liburan bersama teman temanku, mereka ingjn merayakan kedatanganku ke Indonesia setelah sekian lama." Ujarnya kemudian.

"Benar begitu?!" Opa tampaknya masih belum percaya. Danzel pun mengeluarkan beberapa bingkisan dari backpack nya, menyodorkan benda tersebut.

"Ini buktinya, aku beli oleh - oleh untuk opa." Danzel tersenyum. Ia telah membelikan beberapa lukisan pada kakeknya. Kalau begini semuanya aman terkendali, opa pasti akan senang karena dibelikan hadiah favoritnya.

"Good boy! Apa ini lukisan?"

"Sure" Balas Danzel.

Setelah melanjutkan percakapan beberapa saat, opa Johan beranjak dari duduknya. Pria tua itu menepuk bahu Danzel lalu berkata,"Sebaiknya kalian berkenalan lebih dalam, supaya semakin akrab."

Setelah kepergian opa Johan.

"Mau apa kamu kesini?" Tegur Danzel dengan nada kesombongannya saat melihat Mala juga akan beranjak dari sofa. Gadis itu mengurungkan niatnya, ia kembali duduk lalu menatap dalam mata hijau indah kepunyaan pria di depannya.

"Tanyakan saja pada kakekmu." Ujar Mala lirih. Akan ribet kalau ia menjelaskan, selain itu dia tak mau terlalu lama bicara padanya.

"Kamu, awas saja kalau membuatku susah disini!" Danzel sebenarnya sudah tahu semuanya, sebab satu jam sebelum datang kemari Johan sudah menjelaskan semuanya dan mengatakan akan ada gadis yang tinggal dirumah untuk sementara waktu.

Mala hanya terdiam, ia sejujurnya dongkol setengah mati pada Danzel. Namun apa dayanya, ia hanyalah tamu yang tak punya kuasa.

"Iya," Balasnya kemudian.

*****

Keesokan harinya, saat sinar matahari sudah terang benderang menyinari dunia, Mala telah rapi dengan kaos putih dan rok hitam selutut. Rambut hitam legamnya ia kuncir kuda hingga menampakan leher jenjangnya yang mulus.

Aura kecantikannya semakin terpancar pagi itu, ditambah saat ini tangan Mala yang terampil tengah mengolah bahan makanan menjadi hidangan yang pastinya lezat.

"Non Mala multitalenta ya, udah cantik, pandai bikin baju, pinter masak pula. Aduh..beruntungnya calon suaminya nanti." Puji Bi Arum, pimpinan asisten rumah tangga disini yang perkiraan usianya sama dengan ibu Mala.

Mala hanya menarik kedua sudut bibirnya mendengar pujian itu.

"Udah non kesana aja, biar saya yang teruskan. Lagipula katanya mau pergi kan?" Lanjutnya.

"Iya, makasih bi."

Mala melangkahkan kakinya menaiki anak tangga ke lantai dua, dia berniat mengambil tasnya yang tertinggal di dalam kamar. Opa Johan belum turun, Mala berharap lelaki itu menyukai masakan buatannya. Kalau Danzel, entahlah ada dimana pria rese itu.

Brug

"Punya mata nggak sih!" Sentak Danzel saat gadis itu menabrak dada bidangnya yang telanjang karena habis olahraga di gym di lantai atas. Pria itu nampak sangat menawan dengan keringat yang masih menetes dari dahinya dan jangan lupakan, perut sixpack-nya yang menggoda iman.

"Ya Tuhan mataku.." Gumam Mala dalam hati saat tak sengaja menatap penampilan Danzel yang terlihat seksi.

"Kamu tuh yang jalan cepet - cepet kok nyalahin saya! " Balasnya balik merasa tak terima. Mala saja sudah jalan hati - hati dan perlahan, tapi Danzel yang berjalan seperti dikejar setan.

"Heh berani ya, atau jangan - jangan kamu sengaja ya biar bisa pelukan sama aku." Kerlingnya nakal. "Kalau kagum bilang aja. Danzel kamu tampan banget, kaya, keren dan menawan. Aku suka sama kamu.." Danzel menirukan suara wanita saat memperagakannya.

Hampir saja Mala muntah mendengar celotehan pria aneh dihadapannya ini. Mentang - mentang kaya dan tampan, nggak usah sombong juga lah!.

"Ih percaya diri banget kamu ya! Bahkan kalau stok laki - laki di dunia ini habis dan tinggal kamu, lebih baik saya jadi single seumur hidup!"

"Yakin? Nanti nyesel loh, soalnya selama ini semua perempuan tergila - gila sama aku. Siapa yang tahu takdir, kalau di masa depan kamu bakal cinta mati sama aku." Ujarnya dengan percaya diri.

"Nggak akan! Minggir sana!"

"Eits! Jawab dulu pertanyaan tadi"

"Pertanyaan apasih nggak jelas banget!"

"Kamu nggak bisa menutupi kebohongamu Mala, akui aja kalau aku ini ganteng, kaya, perfect dan sixpack. Kamu lama tinggal disini kan? hati - hati entar jatuh cinta sama aku. Aku nggak mau tanggung jawab ya!"

"Mustahil, kalau itu terjadi kamu boleh minta 3 permintaan sama aku. " Ucap Mala asal karena jengkel.

"Oke, just wait and see." Seru Danzel kemudian dan berlalu darisana menuju kamarnya.

Sarapan pagi terjadi dengan canggung. Senyap, hanya ada bunyi dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Semua sibuk dengan santapan masing - masing.

"Enak sekali menu pagi ini, Opa yakin pasti bukan bi Arum yang memasak." Opa Johan tersenyum di sela - sela makan seraya menatap Mala.

"Pasti Mala yang masak kan?" Tanya Johan lembut.

"Iya," Mala mengangguk.

Danzel hanya membisu mendengar percakapan dua orang tersebut, ia fokus pada makanan yang ia nilai sangat enak. Hampir menyamai kelezatan masakan mami Aisha.

"Lihatlah Danzel, Mala gadis yang multitalenta kan? Cantik, berbakat, pintar, pandai masak pula. Kamu seharusnya bergaul dengan gadis seperti Mala, bukan teman teman berandalmu itu." Lanjut pria tua itu kemudian.

"Teman - temanku juga baik opa, mereka sangat setia kawan." Danzel datar menanggapi.

"Baik apanya, mereka hanya membuat kamu semakin bandel dan susah diatur. Sampai sampai mami mu mengirimu kemari agar tak lagi bergaul dengan mereka. Eh sampai sini ternyata kau masih punya teman - teman lagi yang tak jauh beda sifatnya dari mereka." Omel Opa Johan yang membuat telinga Danzel panas. Hilang sudah moodnya pagi ini. Situasi seperti ini mengingatkan Danzel saat ia sedang dibandingkan dengan Devan, kakak tertuanya yang selalu menuai pujian itu.

Dan sekarang, lihatlah gadis sok cantik itu, dia berpura - pura polos bagai anak kucing saat Opa Johan mengomel pada Danzel.

"Pasti sengaja masak sarapan untuk merebut perhatian opa." Batin pria itu dengan mata yang melirik Nirmala.

"Danzel sudah selesai!" Ucapnya lalu bangkit, meraih kunci motor diatas meja dan berlalu darisana.

"Danzel, opa belum selesai!"

"Besok saja dilanjut opa, Danzel akan pulang malam!" Teriaknya yang hilang seiring dengan langkahnya yang menjauh.

"Ckckck, lihat Mala! Dia itu urakan dan nakal. Opa bingung bagaimana cara mendidik dia." Ujarnya sambil geleng - geleng kepala. Menghadapi tingkah cucu laki - lakinya yang nakal kadang membuatnya pusing dan jengkel setengah mati. Bagaimana Danzel bisa meneruskan tahta perusahaan Fernandez kalau sikapnya saja seperti itu.

Danzel memang tumbuh besar di lingkungan pertemanan yang toxic, jadi wajar agak susah mendidiknya. Dia juga masih muda, masih labil dan sedang masa nakal - nakalnya.

"Kalau opa sabar dan berbicara dengan lembut padanya pasti dia akan mengerti. " Tutur Mala lembut.

"Sudah dicoba nak, tapi tetap saja tidak berubah. Huff!" Johan menghembuskan napas lelah lalu kembali melanjutkan sarapan.

"Mala,"

"Iya?"

"Opa akan pulang besok hari karena ada perjalanan keluar kota. Bisa minta tolong? Tolong awasi Danzel, kalau malam ini dia tidak pulang, besok kamu lapor sama opa."

"Baik opa."

Terpopuler

Comments

panty sari

panty sari

thor buat mala jago bela diri biar dia keren kaya aisha

2023-02-01

2

Ririn Satkwantono

Ririn Satkwantono

first😍😍😍😍 ayo Mala..... ada tugas baru utk mngintai Danzel😁😁

2022-02-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!