Dinikahi Pewaris Tahta

Dinikahi Pewaris Tahta

BAB 1

Nirmala. Namanya berarti bersih, murni dan tidak ternoda. Nirmala hanya gadis biasa, yang lahir dan tumbuh besar di sebuah desa terpencil yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

Tumbuh di lingkungan yang sebagian besar masyarakat masih kurang open minded tentang pendidikan, tak menyurutkan niat gadis tersebut untuk menimba ilmu.

Ia memang hanya lulus SMA, tapi dia lulus dengan predikat terbaik.

Diiringi support dari ibunya membuat gadis yang biasa dipanggil Mala tersebut tak berhenti berusaha. Ia kerap kali pergi keluar desa untuk mencari pekerjaan.

"Bagaimana kemarin Mala, kamu diterima nggak?" Tanya ibu Mala yang bernama Ibu Shinta.

Mala menghela napas sejenak, menjeda kegiatannya yang tengah menggambar sebuah desain pada bukunya.

"Belum bu, Mala udah coba ke beberapa tempat tapi tetap aja nggak diterima. Apa karena aku hanya lulusan SMA ya bu?" Tanya Mala dengan sendu.

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini Mala, mungkin kamu nggak diterima karena belum rejeki kamu aja. Ibu yakin nanti Mala akan jadi orang sukses."

Inilah yang membuat Mala tak pernah putus asa, ibunya selalu percaya padanya dan mendukungnya seratus persen. Ibu Mala selalu bekerja keras di toko kelontongnya untuk dapat menghidupi Mala. Kemana ayah Mala?. Jika ada yang bertanya seperti itu padanya, maka yang bisa dilakukan Maka hanya diam. Sebab dirinya pun tak tahu keberadaan ayahnya. Ibu hanya berkata, ayah pergi meninggalkan ibu saat Mala usia 5 tahun. Tapi Mala selalu tak yakin dengan jawaban itu

"Makasih ya bu selalu dukung Mala, aku janji nggak akan kecewain ibu. Mala akan terus cari kerja sampai dapat."

"Halah kamu nggak kerja juga nggak papa kok nak, kami bisa bantu ibu jualan di toko kan? Itu sudah lebih dari cukup buat keperluan kita sehari - hari."

"Emang ibu nggak pengen gitu jadi kaya?"

"Memangnya kamu pengen jadi kaya?"

"Iyalah bu, siapa sih yang nggak mau jadi kaya dan sukses. Itu impian semua orang. Kalau kita kaya, ibu nggak akan dihina sama tetangga kita lagi. Aku kesel bu sama mereka, nggak bisa sedikit aja ngehargain usaha orang." Mala mengeluarkan uneg - unegnya. Selama ini ia hanya bisa diam ketika orang lain memandang sebelah mata padanya. Anak nggak punya ayah, ibu seorang janda dan kemiskinan, itu semua adalah bahan bulian untuk keluarganya.

Terutama bu RT, dia adalah orang yang selalu berdiri di garda terdepan untuk mengeluarkan cacian pada Mala dan ibunya.

"Kalau kita kaya, bu RT yang rese itu nggak akan bisa lagi injak harga diri kita!" Ucap Mala.

"Hush! Kamu ini ngomong apasih, nggak baik kayak gitu nak, ibu nggak pernah ngajarin Mala bicara buruk tentang orang lain."

"Tapi mereka selalu bicara buruk tentang kita bu."

"Itulah perbedaan kita dan mereka. Kalau kita juga melakukan hal buruk yang mereka lakukan itu berarti kita sama aja kayak mereka. Nggak ada bedanya Mala."

"Maaf bu, habisnya Mala kesel."

Ibu Shinta menghembuskan napas kasar, paham betul kalau putrinya sangat kesal saat orang - orang terkesan memandangnya rendah hanya karena ia seorang janda tanpa suami.

"Memangnya Mala pengen jadi apa?"

"Untuk saat ini aku cuma pengen kerja, cari pengalaman dulu yang banyak. Ibu tahukan dulu aku kerja baru 6 bulan terus dipecat cuma gara - gara anak bosnya nggak suka sama aku. Kalau impian aku.. Mala pengen jadi desainer pakaian yang terkenal bu. Mala pengen punya butik sendiri."

Seluruh desa tahu, tangan Mala adalah tangan langka yang bisa merancang berbagai desain pakaian yang indah nan menawan.

Oh ya satu lagi, selain membantu ibunya di toko Mala juga membuka usaha jahit. Warga desa selalu mempercayakan pakaian mereka pada Mala. Mala adalah gadis berbakat hanya saja belum mendapat kesempatan menyalurkan bakatnya.

"Ibu selalu mendukung apapun yang kamu impikan. Yaudah sekarang tolong kamu anterin makanan kerumah kakek." Ibu Shinta menyodorkan sebuah rantang berisi makanan. Mala punya seorang kakek yang tinggal terpisah dengan mereka. Kakek Mala tinggal di ujung desa. Selain pada ibunya, kakek adalah orang kedua yang sangat sayang padanya, ia ibarat pengganti sosok ayah bagi Nirmala.

"Yaudah sini, sekalian aku mau tunjukin desain - desain baru aku sama kakek." Ujar Mala.

Rumah kakek Salim hanya berjarak sepuluh menit dari rumahnya. Tidak terlalu jauh, hanya saja kalau jalan kaki agak terasa lelahnya. Apalagi semalam Mala begadang demi menuntaskan pesanan kebaya tetangganya.

"Loh Mala kapan sampainya? Ibu kamu masak apa hari ini?." Kakek Salim yang baru pulang dari kebun sedikit terhenyak melihat cucu perempuannya yang sudah terduduk di ruang tamu.

"Baru aja kok, ini nggak tahu ibu masak apa Mala nggak sempat lihat. Yasudah kakek makan dulu." Mala mulai membuka rantang, menyajikan makanan diatas piring yang sudah ia ambil.

"Kek lihat deh, bagus nggak?" Tunjuk Mala pada sebuah desain sebuah pakaian pengantin yang ia buat beberapa minggu lalu. Gaun putih dengan berbagai pernak - pernik modern itu sungguh menawan. Mala memang dari desa, tapi seleranya bukan sembarangan. Ia selalu update kalau tentang fashion.

"Bagus sekali, tangan Mala memang langka. Ini akan menjadi berkah di kemudian hari." Ujarnya.

Mala mengulas senyum simpul di bibirnya mendengar pujian yang dilontarkan sang kakek. Kebanyakan orang meragukan kemampuannya, tapi kakek dan ibu selalu menyerukan kalimat - kalimat pujian saat menatap hasil karya tangan Nirmala.

"Halah desain kayak gitu aja kok bangga sih Mala? Anak SD juga bisa gambar baju kayak gitu." Suara bu RT menginterupsi. Mala sedikit terkejut, kapan Bu RT datang, pikirnya. Perempuan usia empat puluh tahun itu mengamati gambar desain Mala dengan seksama.

"Bu RT ngapain kesini?" Tanya Mala spontan.

"Kamu tuh nggak sopan banget ya! Saya ini istri pak RT disini loh. Saya cuma mau ngingetin kakek kamu nanti siang ada undangan ke balai desa. Ada bantuan khusus warga tidak mampu." Ketus dia bicara. Mengembalikan kertas ditangannya pada Mala. "Jangan lupa kek, nanti jam 1 siang. Kalai telat bisa ribet urusannya, nanti bantuannya bisa hangus."

"Iya, nanti saya datang Bu."

Seusai kepergian Bu RT yang menyebalkan itu, Mala menatap kakeknya lekat. "Rasanya aku pengen banget keluar dari desa ini kek. Pengen merantau gitu cari pengalaman, tapi kemana ya? Aku nggak punya banyak kenalan di kota."Keluh Mala.

Kakek Salim memandang cucu nya, merasa kasihan pada Mala. Tidak seharusnya Mala merasakan penderitaan ini, dia merasa sangat bersalah.

"Kamu beneran mau kerja? Sanggup merantau sendirian?" Tanyanya lirih.

"Iya! Mau banget! Kalau ada kesempatan."

"Kakek ada kenalan di Jakarta, dia sahabat baik kakek dulunya. Kalau Mala mau, kakek akan hubungi dia, biar selama kamu merantau sahabat kakek bisa melindungi kamu. Secara kamu tahu kan serawan apa ibukota."

Penuturan kakeknya membuat Mala sedikit termangu. Dia membisu, otaknya sibuk memikirkan tawaran sang kakek. Jakarta, kota yang sangat luas dan belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Mala hanya pernah bepergian keluar ke kota terdekat, namun bukan ibukota. Dalam benaknya, semakin luas dan modern sebuah kota, maka semakin berbahaya juga tinggal disana.

"Kenapa? Kamu takut ya?"

"Nggak lah! Mala mau banget kek, jadi kapan aku bisa kesana?" Demi ibunya, demi menaikan derajat keluarganya. Dan demi membuktikan pada orang - orang bahwa dia mampu dan bisa sukses di perantauan.

Di satu sisi kakek Salim sebenarnya ragu, rasa takut menyelimutinya. Apakah keputusannya ini tepat akan menitipkan Mala pada sahabatnya?Banyak resiko yang akan terjadi dan ia sadar akan hal itu.

Johanes Fernandez, apa kau masih ingat pada pria tua ini?.

***

Mobil mewah bermerek Pagani Huayra tersebut melesat membelah jalanan ibukota yang padat. Seorang pria berjaket jeans di dalamnya tampak menggerakan bibirnya seperti menyanyikan sebuah lagu. Tangannya bergerak menambah volume musik yang ia setel pada mobil mewah buatan negara mafia tersebut. Kecepatan maksimal apalagi ditambah alunan musik rock dan jalanan yang padat membuat si pengemudi sedikit kehilangan konsentrasi nya.

Cittt!!! Lelaki itu menginjak rem mendadak ketika sadar dirinya telah menabrak seseorang.

"Ah sial!" Umpatnya kesal. Tangannya terulur mematikan musik.

"Sial baru sehari disini sudah kena apes!"

Danzel turun dari kendaraan roda empatnya. Melepas kacamata hitamnya dan merapikan jaketnya yang berantakan. Ia sedikit ragu saat para warga sudah berkerumun di dekat wanita yang ia tabrak tadi.

Ah syukurlah, Danzel bisa agak tenang. Orang yang ia tabrak hanya sedikit mengalami lecet pada kaki dan sikunya.

"Nah itu dia pelakunya! Sini Mas, jangan kabur harus tanggung jawab ini!."Seru seorang ibu yang sudah memasang wajah tak ramah pada Danzel.

"Iya awas aja kalau sampai kabur, lihat kakinya mbak ini sampai berdarah!" Seru yang lain.

Semua orang begitu berisik hingga Danzel sedikit kuwalahan. "Iya iya, saya akan tanggung jawab ini juga akan saya bawa ke rumah sakit."Ujar pria itu.

"Ayo saya antar ke rumah sakit!." Danzel yang tadinya hanya berdiri karena sibuk meladeni amukan para warga, sekarang duduk berjongkok melihat wajah gadis malang yang ia tabrak.

"Sialan! Cantik sekali." Gumamnya dalam hati, netranya memandang wajah ayu gadis tersebut yang natural tanpa polesan make up apapun. Kulitnya yang berwarna putih susu natural, rambutnya hitam legam, matanya berwarna coklat tua yang menawan.

"Nggak usah, bisa tolong bantu saya berdiri." Para warga sudah bubar, kembali pada urusan mereka masing - masing. Gadis itu sedikit kesulitan berjalan membuat Danzel terpaksa menggendongnya ke pinggir jalan.

"Mau diantar kemana? " Tanya Danzel menawarkan bantuan, lebih tepatnya pertanggung jawaban.

"Nggak perlu, kamu pergi saja saya sudah bisa jalan sendiri. Ini lagi nunggu orang jemput." Balasnya ragu, kata ibu harus hati - hati dengan orang asing apalagi kalau berbeda jenis kelamin.

Danzel paham, pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet coklatnya.

"Ini! Sebagai permintaan maaf saya." Ujarnya seraya menyodorkan beberapa lembar uang dengan nilai besar. Setidaknya cukup untuk biaya rumah sakit, karena sebenarnya ia tak ada waktu untuk mengantar gadis tersebut kesana.

"Nggak-"

"Jangan nolak, saya ini kaya raya kamu nggak perlu sungkan begitu."

"Sombong banget sih orang ini, apa semua orang di ibukota modelan begini?." Batinnya kesal.

"Nggak perlu terimakasih, lagipula uang kamu itu dollar, nggak bisa digunakan disini. Harus ditukar dulu." Balasnya seraya memperhatikan penampilan Danzel yang modis. Mobilnya mewah produksi Italia, pasti dia adalah orang kaya. Dia juga baru menyadari garis wajah laki - laki di depannya yang bukan dari ras Asia. Sudah dipastikan dia ini bule, tapi kenapa bahasanya sangat lancar?

Danzel memerhatikan kembali uang yang ia sodorkan, baru sadar kalau belum menukar mata uang yang ia gunakan ke mata uang rupiah.

"Ah aku lupa kalau sedang ada di Indonesia. Maaf, kalah begitu ini kartu namaku. Danzel Anderson. Nanti hubungi saja kalau mau minta ganti rugi, biaya rumah sakit mungkin?. Yasudah, saya buru - buru permisi."

Gadis itu memperhatikan punggung tegap lelaki tersebut yang sudah menjauh dari pandangannya, pria itu langsung melesatkan kendaraan yang ia naiki membelah jalanan ibukota yang macet dan padat.

"Ah sialnya, baru aja sampai udah apes ketemu bule rese yang sombong itu. Mana sakit lagi kakiku. Awww.. Ya Tuhan tolong jangan pernah pertemukan aku dengan pria itu lagi..." Ujarnya bermonolog sendiri lalu membuang kartu nama Danzel ke tong sampah.

Kartu nama Danzel tak penting baginya, untuk apa menyimpan barang pemberian pria rese seperti dia. Lagipula ia masih bisa berjalan, tidak perlu sampai ke rumah sakit.

Terpopuler

Comments

Yunia Layla

Yunia Layla

Masuk favorittt

2022-02-19

1

Ririn Satkwantono

Ririn Satkwantono

aq mmpir thor....😁😁

knp gk diterima aza... itu uang dolar lhoo.. 😂😂😂😂😂

2022-02-17

1

melody

melody

next

2022-01-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!