Sepasang mata tajam dibalik jendela lantai dua bangunan itu memperhatikan setiap gerakan yang dibuat oleh sebuah objek yg tengah berdiri didepan pagar bangunan tersebut. Tak ada kata yang mampu diungkapkannya pada detik pertama ia melihat wajah tak asing yang telah lama ia nantikan. Masih dengan diri yang sama, wanita itu banyak mengalami perubahan selama lima tahun ini. Rambutnya yanh diingatnya dulu memiliki panjanh hanha sampai pundak, kini telah memanjang dan mempertegas sisi feminim dibalik penampilannya yang sederhana.
Entah apa yang dilakukannya saat ini. Pria itu masih sulit menyadari jika selama beberapa menit dirinya telah terpaku memandangi sosok itu dari atas sini. Semua kata dan amarah yang siap ia ledakan lenyap seketika. Dengan mata sayunya yang penuh dengan tekanan, sekali lagi sosok Arnetta berhasil menyihir Jullian untuk kedua kali.
"Dia sudah kembali, Tuan."
Terdengar suara sosok wanita paruh baya yang senantiasa menemani Jullian hari itu. Hari ini bertepatan dengan perayaan ulang tahun Arif yang ke lima, keluarga mertuanya merayakan hari jadi itu dengan makan sianh bersama. Jullian yang seperti biasanya hanya menanggapi dingin bagaimana keluarga sang istri menyambut kehadirannya ditempat ini. Kalau boleh jujur, Jullian sangat risih dengan perlakuan berlebihan itu. Terutama dari sang ibu mertua. Untuk mengusir kejenuhannya, Jullian membawa Maria, pengasuhnya sekaligus Arif. Hanya wanita itu yang tahu bagaimana kondisi dirinya saat ini. Dan, hanya kepada wanita itu Jullian mampu membuka suara.
"Semuanya sudah terjadi. Aku tidak bisa membiarkan wanita itu hidup dibawah penderitaanku, Bi. Arnetta harus merasakan rasanya disakiti."
Dibelakang sana, Maria hanya bisa menghela napas panjang. Selama apapun ia meyakinkan Jullian untuk melupakan dendamnya, pria itu takkan terpengaruh. Pendiriannya tetap kuat untuk melakukan balas dendam pada wanita bernama Arnetta itu.
"Aku hanya takut kau menyesal dikemudian hari. Kau mungkin akan menyesali setelah semuanya benar-benar tidak bisa lagi diperbaiki. Ingatlah, nak ... hati wanita lebib dalam dari pada lautan. Tidak ada yang tahu bagaimana sebenarnya hati wanita itu."
Jullian menyeringai. Dilihatnya kini seorang penjaga gerbang sudah mempersilahkan Arnetta memasuki rumah. Tanpa sedikit pun menghilangkan konstrasi atas ucapan Maria, Jullian kembali berujar, "Aku tidak perlu berusaha untuk mengetahui isi hati ****** itu. Semua ****** sama, mereka hanya memikirkan bagaimana cara menghancurkan kami. Sebelum dia menghancurkanku, akan kuhancurkan wanita itu terlebih dahulu."
***
Arnetta melangkah pelan memasukin bangunan mewah itu. Sama sekali tak terbesit dalam benaknya bahwa pria yang menjadi kepala keluarga disana adalah orang yang telah berjasa membawanya hadir ke dunia ini. Meski ia tak sudi mengakuinya, namun Rivai tetaplah ayah kandungnya. Selama lima tahun lebih Arnetta berusaha berdamai dengan masa lalunya, berdamai dengan semua amarah dan rasa benci yang memupuk dihatinya. Ia bahkan rela menjatuhkan harga diri demi orang yang apling dicintainya.
Arnetta sadar bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk menyombongkan dirinya. Ibunya tengah menahan sakit dan berjuang melawan kematian. Takkan dibiarkannya Ratih berjuang seorang diri. Arnetta akan turut berada disisinya.
Langkah pertama ketika ia menaiki undakan anak tangga menuju pintu utama, Arnetta disambut dengan tatapan penuh tanya dari beberapa pelayan yang berlalu lalang. Tanpa perlu bertanya Arnetta sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran mereka. Siapa saja tentu takkan percaya jika dirinya dan keluraga Rivai memiliki ikatan darah yang kuat.
"Aaaaaaaaa!"
Suara lengkingan seorang bocah kecil dari arah berlawanan dengannya berhasil menyentak pikiran Arnetta. Bocah kecil dengan wajah oval yang lucu membuat Arnetta dipaksa untuk mengingat siapa dia. Perawakannya yang tak asing tiba-tiba saja menyulutkan rasa nyeri dihatinya. seharusnya ia tahu bahwa kembali ke rumah ini, itu sama saja berjalan menuju ke arah neraka.
Sama sepertinya, bocah kecil itu pun langsung berhenti berteriak saat bertemu pandangan dengannya. Sepasang mata bulat berwarna hitam pekat itu memandanginya dengan membesar. Mungkin bocah itu sedang meneliti, pikir Arnetta.
"Siapa kau?"
Aneh, pikirnya. Seharusnya Arnetta merasa tersinggung atas ketidaksopanan bocah laki-laki yang menatapnya penuh curiga itu. Suaranya yang lantang sangat memperjelas bahwa anak itu tidak dibesarkan untuk menjadi anak seusianya. Bocah kecil yang memiliki tinggi sebatas pinggangnya mengerutkan kening layaknya orang dewasa seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
Arnetta berjongkok didepannya dan menyunggingkan senyuman manis untuk bocah laki-laki ini. Sudah lama sekali rasanya ia tidak melakukan hal ini, meski beberapa tahun tinggal diluar negeri hampir semua tetangganya memiliki setidaknya seorang bayi dalam satu rumah.
"Aku Arnetta. Dan kau?"
Anak itu terlihat tidak tegang seperti beberapa saat yang lalu. Tatapannya pun melembut dengan pancaran binar semangat. Mungkinkah anak ini senang bertemu dengannya?
"Arif." Ucapnya singkat.
Ada sedikit nada kemurungan yang tak disukai Arnetta disana. Ia tak pernah tahu untuk anak selucu ini, dalam benaknya memiliki beban yang kentara dari luar.
"Arif siapa?"
Bocah kecil itu menggeleng pelan. Arnetta berani bersumpah jika dirinya pancaran kesedihan pada sepasang mata coklat miliknya. "Kata bunda namaku Arif."
Antara sedih dan tidak tega melihatnya. Tak ada satu pun anak didunia ini yang merasa sedih jika mengucapkan namanya sendiri. Namun, apa yang dilihat Arnetta saat ini merupakan hal yang jarang terjadi. Seperti ada sesuatu hal yang menyedihkan dibalik nama tersebut. Padahal ia tak menemukan hal kecacatan apapun pada anak ini.
"ARIF!" Dari dalam rumah terdengar suara teriakkan yang menggema. Tanpa sadar, wanita itu pun berdiri dan meninggalkan kesejajarannya dengan anak kecil itu. Hal selanjutnya yang membuat ia tak tahan untuk menyatukan kedua alisnya adalah saat dimana ia melihat bocah laki-laki itu berlari dan bersembunyi dibalik tubuhnya. Anak itu terlihat ketakutan mendengar namanya dipanggil dengan nada yang penuh kemarahan seperti itu. Dan, Arnetta tahu siapapun itu bukanlah orang yang cukup mencintai anak manis ini.
Tak lama seorang wanita dengan rambut pendek miliknya keluar dari dalam rumah, dan sanggup membuat Arnetta menganga lebar. Dengan gaun warna gading yang mewah A-line, sebuah wajah yang tak lagi asing muncul disana. Wajah yang tak ingin dilihatnya ketika ia menginjakkan kakinya di mana pun. Tapi, Tuhan sepertinya memiliki rencana lain untuk membuatnya terpaksa menatap kembali wajah itu disana. Entah kemarahan apa yang bisa membuat wajah yang dikenalnya anggun berubah menjadi sangat menyeramkan.
"Lusi ..."
Sepasang mata wanita itu membesar melihat kedatangan tamu tak diundang itu. Tapi, Hanya seorang Lusiana yang mampu menormalkan kembali dirinya ditengah kebimbangan. Wanita itu sudah lihai menutupi bagaimana hatinya terasa saat ini. Dengan segera, Lusi langsung menyambar tangan mungil milik bocah kecil bernama Arif itu.
"Anak nakal!" Bentaknya, dan Arif hanya bisa menunduk ketakutan.
Arnetta mengernyitkan dahinya. Ia tak pernah melihat seorang anak yang begitu takut melihat ibu kandungnya sendiri. Ia yakin Lusi adalah ibunya. Melihat kenyataan ini, Arnetta sadar bahwa ada kemiripan yang dilihatnya dari anak itu dengan Lusi. Hanya saja, sebagian besar lainnya sama sekali tak dilihatnya dari sosok yang paling dihindarinya satu lagi itu.
"Lusi, jangan bentak dia!" Arnetta bereaksi. Rupanya spontanitas dalam dirinya tidak lengah begitu saja. Ia merasa kasihan dengan Arif yang menerima perlakuan aneh dari ibunya. Tidak seharusnya Lusi memperlakukan anak itu begitu kasar.
"Ah, ini dia tamu tak diundang." Sindirnya sinis. "Aku yakin kehadiranmu disini bukan untuk mengguruiku bagaimana caranya untuk mendidik darah dagingku sendiri bersama Jullian."
DEG
Bibir wanita itu bungkam. Seolah ada sebuah gembok yang telah menyegel ucapannya saat mendengar nama itu disebut. Ya, sudah seharusnya ia mengingat kenyataan yang satu itu. Lusi telah menikah dengan Jullian, Mantan kekasih sekaligus kakak iparnya.
"A-Aku ingin bertemu dengan ayahmu." Arnetta memilih untuk lebih banyak diam meski batinnya menjerit untuk membela bocah malang itu. Ia harus cukup sadar untuk tidak meminta lebih. Konsekuensinya berada di tempat ini sejujurnya sudah menjatuhkan harga dirinya.
"Ayah ada didalam. Masuk saja. Aku pikir beliau sudah lama menunggu kedatanganmu sejak mengetahui bahwa wanita itu masuk ke rumah sakit."
Tanpa perlu dipersilahkan dua kali, Arnetta berjalan masuk ke dalam dan melewati sepasang ibu dan anak itu. Ia berusaha mati-matian untuk tidak melihat betapa malangnya ratapan anak itu kepadanya. Kali ini mungkin Arnetta harus berubah menjadi sedikit kejam. Hanya demi ibunya ia rela menjatuhkan harga dirinya kembali memasuki gerbang neraka ini lagi.
***
"Jadi, pada akhirnya si pembangkang kembali untuk meminta uang dariku?"
Hal pertama yang paling diinginkan wanita itu adalah segera pergi dari ruangan ini. Meski terlihat besar dan kenyataannya sanggup untuk menampung empat puluh orang bercelah banya, tapi Arnetta merasakan napasnya sangat sesak. Ia kepayahan untuk mengambil oksigen sebanya yang ia mau saat mendengar sinisan yang dikeluarga oleh Rivai. Tak ada kata indah yang keluar dari bibir pria yang sudah memasuki masa senjanya itu. Tatapan penuh kebencian seperti lima tahun yang lalu pun tak pernah berubah. Sesuatu yang langka berubah.
"Ibuku membutuhkan uang untuk menjalani operasi. Bukankah anda sudah berjanji untuk membiayai hidup kami. Apakah anda lupa?" Tangannya terkepal kuat. Arnetta berusaha mati-matian agar dirinya tidak melemparkan tinju pada pria tua itu. Rasanya ia ingin sekali menenggelamkan Rivai sampai tak sadarkan diri.
Pria tua itu terkekeh pelan. Bukan jenis kekehan yang disukai oleh Arnetta melihat wajah penuh kebencian tak pernah sirna dari wajah Rivai.
"Uang lagi? Bukankah aku sudah mengirimkan dana intensif untuk kalian. Ternyata, ... sudah kuduga Ratih akan melahirkan anak seperti ini."
Arnetta menahan napasnya. Ia hampir mendengar dirinya sendiri memekik pelan saat mendengar ucapan Rivai itu. Dari apa yang dilihatnya, pria itu sepertinya tidak berdusta kepadanya. "Apa maksud anda? Selama lima tahun ini tidak pernah sepeserpun kami menerima uangmu."
"Tidak? Kau mungkin bermimpi. Lagi pula uang itu bukanlah kuberikan secara cuma-cuma. Ibumu dan aku sudah membuat perjanjian bahwa jika kau pergi dari negara ini dan menjual rumah rongsokan itu, maka aku akan memberikan dana intensif untuk kalian hidup. Apa mungkin Ratih tidak bercerita apapun kepadamu?"
Tidak! Ia ingin meneriakkan ketidaktahuannya atas perjanjian yang dilakukan ibunya dengan pria itu. Sampai hati ibunya telah menjual satu-satunya harta milik mereka yang terisisa. Untuk saat ini dans eterusnya, bayangan menjadi gelandangan menyelimuti benaknya.
"Kau terkejut? Sudah kukatakan kepadanya bahwa kau tidak pantas dilahirkan. Aku sudah menawarkan bantuan untuk melakukan aborsi saat kau masih berada dalam kandungannya, dan ternyata benar ... Kau hanya anak pembawa sial."
Kakinya bergetar hebat. Wanita itu merasa bersyukur pria kejam itu telah mempersilahkannya untuk duduk terlebih dahulu. Kalau tidak, mungkin Arnetta sudah terduduk lemas diatas lantai marmer yang dingin, sedingin ucapan Rivai.
"Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan, maka pergilah. Jangan pernah datang kesini dengan alasan apapun. Aku tidak akan menerimanya."
Langkah Arnetta gontai. Ia tak memperdulikan pandangan penuh kemenangan sosok pria tua yang tadi duduk dihadapannya. Seringai penuh kelicikan pun tak lepas dari pandangannya meski Arnetta berusaha mati-matian untuk berjalan menuju pintu. Beruntung, ketika dirinya sampai dan keluar Arnetta meluruh lemas tanpa seorang pun yang tahu. Jantungnya berdegup sangat kencang sampai ia merasa ketakutan mendengarnya. Ia sungguh tak menyangka apa yang keluar dafri mulut Rivai mampu mempengaruhinya.
Ibunya ... dibelakangnya sudah membuat hidupnya berakhir seperti ini. Menjual rumah yang merupakan aset satu-satunya. Arnetta sungguh tak habis pikir.
"Kau baik-baik saja?"
Seperti khayalan, Ia kembali dipedengarkan dengan suara lembut yang ia yakini sudah lama mati dalam hidupnya. Tapi, bayangan sepasang kaki yang berdiri dihadapannya adalah bukti nyata bahwa suara itu memang dimiliki oleh pemilik yang sama, yang dikenal oleh Arnetta. Seuatu yang tadinya hanya bisa ia lihat dalam mimpi kini terasa sangat nyata, dan bahkan Ketika ia mendongakkan kepala, sepasang mata elang milik pria itu memanatapnya teduh dan penuh senyuman lembut. Entah rasanya ia seperti kembali dipertemukan dengan sosok lama yang ia rindukan.
"Jullian ..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments