Bab 1

Sebuah semburat kabut merabunkan pandangan seseorang mengarah ke arah luar jendela. Napasnya yang pelan dan teratur di musim akhir tahun membuat hembusan itu terasa semakin nyata. Hidung dan mulutnya mengeluarkan uap-uap panas hingga memerah. Pijakan kakinya diatas timbunan salju yang pekat, seperti terasa menginjak timbunan lumpur yang dingin dan putih.

Tapakan langkah seorang wanita meninggalkan jejak kemana dirinya pergi. Disalah satu pondok yang berada di tengah perhutanan, dengan pepohonan rindang menjadikan dirinya seolah merupakan satu-satunya penghuni di dunia ini. Dia dan seseorang yang menunggu kedatangannya pada pukul petang ini diatas kursi roda. Wanita itu tahu sosok itu akan selalu duduk menanti kedatanganya.

Ia merasa bersalah, hanya itu.

Senyuman yang merekah dari bibirnya seperti sebuah jarum pengingat sakit yang akan menghantuinya. Senyuman menyakitkan itu tampak seperti sebuah benalu untuknya. Bukankah lebih baik jika terdiam, dan bersikap seolah dirinya sakit? Tidak. Ia sendiri tak ingin melihat itu.

Ketika wanita itu tiba sampai didepan pekarangan bersalju yang menghisap kakinya, dugaannya tepat. Sosok itu menunggunya diatas kuris roda. Pandangannya yang berkantung menengadahkan dirinya ke atas. Wajahnya yang pucat tak menghalangi niatnya untuk memandangi apa yang berada diatas kepalanya, diatas dirinya.

Wanita itu pun berhenti melangkah. Dari jarak yang sejauh ini, kesakitan itu semakin terasa. Ia tahu sosok itu pasti tengah menghitung. Hitungan yang paling tak ingin diterka oleh siapapun juga. Alih-alih menghitung, semua lebibh memilih untuk menikmati apa yang ada. Tak peduli jika semua itu bisa saja terengut karena sebuah petaka, cobaan dari Tuhan.

Ia mencoba untuk mengerti. Semua kesakitan ini pasti akan membuahkan sebuah cinta yang manis. Ia percaya sampai hari ini. harapan wanita itu tak pernah patah selama sosok itu selalu bersamanya. Baginya, hanya sosok itu yang dibutuhkan. Berlipat kali lebih berharga bahkan ketimbang nyawanya sendiri. Tidak akan ada yang mengerti, termasuk lelaki-lelaki yang telah menghancurkan hidup mereka. Lelaki-lelaki itu belum pernah mengetahui betapa berharganya seorang wanita. Mereka bisa mempermainkan saja.

Membuangnya setelah bosan.

Mainan. Wanita hanyalah mainan para lelaki. Wanita itu hanya mempercayakan satu cinta, yakni cinta antara ibu dan anak. Perasaan paling tulus yang pernah dirasakannya. Tidak pada ayahnya, tidak juga pada pria itu.

"Arnetta!"

Teriakannya masih sama. Sosok itu masih memanggilnya dengan penuh semangat meski tahun-tahun yang telah mereka lewati tak bisa dikatakan hanya sebentar. Wanita itu harus tersenyum. Mereka pindah ke tempat ini bukan untuk bersedih. Masih banyak yang harus mereka pikirkan.

Arnetta. Wanita yang berambut panjang itu, membiarkan dingin membasuh permukaan kemilau hitam rambutnya yang menjuntai dari topi rajutan yang dipakai olehnya. Cuaca yang beribu kali lipat lebih dingin cuaca senja hari itu. Ia berani bersumpah, malam nanti hanya sebuah selimut yang ia butuhkan. Persetan dengan semua buku yang pernah dibawanya masuk ke dalam kamar di rumah mereka.

Langkah wanita itu jenjang menapaki jalanan bersalju pekarangan rumahnya. Senyuman yang semula hanya berupa sebuah murungan kini berubah. Sinar bahagia harus ditampilkannya. Mereka sudah bahagia, dan harus bahagia. Di Kota yang tidak ada satu pun mengenalnya, tentu akan membuat Arnetta semakin mencintai kehidupannya saat ini.

Lima tahun.

Bukankah waktu yang sebentar untuk memulai kehidupan. Melanjutkan apa yang semula ada rasanya sudah tak berarti. Takkan ada yang mau membawa kesakitan masa lalu ke dalam masa depan. Mereka akan cenderung menutup diri dari masa lalu, terutama bagian terburuknya. Itulah yang dilakukan Arnetta dan ibunya sampai detik ini.

Sebagai orang baru di tempat ini, ia sudah cukup tahu porsinya sebagai keluarga pendatang. Ia berusaha bergaul, mencari uang sendiri dan merawat ibunya, Ratih yang sedang sakit. Kehidupan lama baginya takkan pernah memiliki arti apapun. Semuanya mati, rasanya sudah lumpuh. Bersamaan dengan kejadian masa lalu, Arnetta sudah mendelegasikan hidupnya untuk merawat ibunya dan menjadi bahagia.

Jullian.

Arnetta selalu merasa ada sesuatu yang menyesakkan didalam dadanya kala nama itu tersemat dalam benaknya. Wajahnya yang masih bisa diingat Arnetta dengan jelas, suara berat khas milik pria itu terkadang menggema ke dalam gendang telinganya tanpa se-ijinnya. Bagaikan hantu, Arnetta sering merasa pria itu berada didekatnya, memiliki ancang-ancang untuk memeluknya, merengkuhnya, dan tak pernah melepaskannya.

Tapi, semuanya terdengar sangat mustahil.

Hanya Tuhan dan pria itu yang tahu isi hatinya. Jullian sudah bahagia. Pria itu telah memiliki lembaran indah yang tak mungkin ditukar dengan luka menyakitkan dengan seorang wanita bernama Arnetta.

Sejak awal kisah mereka sudahlah tak berarti. Tak ada makna dalam sebuah pertemuan singkat yang berawal dari sebuah kebohongan. Kini, pria itu mungkin menyadari betapa tidak pantasnya Arnetta bersanding dengannya. Jullian lebih memilih zona aman untuk melangkah. Daerah yang takkan mencemari kehidupannya yang seperti kertas baru. Bersih tanpa cela.

Bersamanya, Arnetta merasa Jullian hanya akan mendapatkan masalah. Pria itu mungkin bisa saja menerima tentangan dari pihak mana pun. Arnetta tak sanggup membayangkan betapa menyakitkannya penolakan. Sampai saat ini, Arneta tak pernah tahu status hubungan apa yang saat ini dijalaninya. Tak pernah ada kata perpisahan yang meluncur dari bibir pria itu kala itu.

Arnetta melihatnya. Sebuah pernikahan indah, dengan sepasang pengantin yang saling tersenyum bahagia. Binar cinta tak mungkin tidak bisa ditangkap oleh orang-orang sekitar. Jullian bahagia bersama Lusi.

Biarlah ...

Arnetta akan berada disini bersama ibunya. Itulah yang penting.

Kala dirinya sampai didepan teras, persis didepan kursi roda sang ibu yang tengah didudukinya, Arnetta tahu Ratih sangat pintar membaca pikirannya. Wajah wanita paruh baya itu kembali meredup. Mungkin karena dirinya, pikir Arnetta.

"Ada apa, nak? Kau masih memikirkannya?"

Arnetta terdiam. Ia tak pernah memikirkan Jullian. Wanita itu sama sekali tak tahu bagaimana cara menjelasannya pada sang ibu. Kalau sudah begini, Arnetta tahu sang ibu pasti akan menyambungkan akar demi akar untuk dijadikan sebuah kisah romansa dalam hidupnya. Tapi, ibunya tak mungkin menyetujui jika sampai detik ini Jullian masih mendominasi pikirannya. Akal sehatnya tak berjalan baik ketika mengingat pria itu.

Marah.

Sakit.

Lelah.

Rindu.

Kata terakhir itulah yang tak pernah bisa Arnetta terima. Ia bisa menerima semua pernyataan yang dilontarkan beberapa temannya di klub. Mereka berkata tak ada yang bisa menghargai wanita seperti ini. pekerjaan Host club malam. Ibunya tak pernah tahu akan hal itu. Ratih selalu mengira Arnetta bekerja di restoran sebagai pelayan. Pekerjaan itu tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan Arnetta menolak untuk membuka jati dirinya disana. Ia selalu berpenampilan menarik dan memakai riasan tebal agar tidak di kenali.

Entah apakah yang akan terjadi jika ibunya mengetahui semua ini. Ia bahkan tak sanggup memandang wajah pucat Ratih yang penuh dengan guratan kekecewaan. Sudah banyak waktu yang dilakukan Arnetta dengan mengecewakan ibunya sendiri. Ia merasa berdosa selama beberapa tahu terakhir mereka di London penuh kebohongan. Arnetta juga berbohong jika Rivai telah memberhentikan pembiayaan mereka.

Sejak setahun terakhir yang mereka habiskan dik Singapura, Rivai sudah tak lagi mengirimi mereka uang. Biaya pengobatan yang tinggi disana membuat Arnetta harus menghentikan pengobatan terbaik nan singkat disana. Ia berusaha menghubungi Rivai dengan akhiran yang sia-sia.

"Tidak apa-apa, Bu. Kenapa kau berada di luar?" Tanya Arnetta pelan. Ia berusaha tersenyum meski hatinya sakit melihat kondisi sang ibu yang semakin hari semakin buruk. Ia tak tahu apakah kepindahan mereka membuat Kondisi ibunya semakin parah. Di tahun awal mereka melakukan pengobatan dengan lancar, kondisi Ratih bisa dikatakan baik. Mungkin, ... ibunya masih ada sampai sekarang karena perawatan yang pernah mereka jalankan.

Sedangkan disini, Arnetta memapukan dirinya untuk membeli semua obat yang dibutuhkan ibunya. Terapi yang biasa sering dilakukannya saat berada di Singapura, jarang dilakukannya disini. Biaya dan waktu. Arnetta nyaris tak memiliki itu semua.

"Aku menunggu anakku pulang. Bagaimana harimu Arnetta?" Tanya Ratih dengan teduh. Tatapan matanya yang sayu membuat pandangannya terhadap wajah putrinya semakin minim.

"Baik." Hanya satu kata yang ia tahu. Sebenarnya tidaklah baik. Arnetta membiarkan beberapa tangan laki-laki menyentuh dirinya tanpa ijin. Arnetta tak bisa menolak. Lelaki mana pun yang telah menyewanya untuk menemaninya minum bebas melakukan sentuhan apapun pada dirinya. Disanalah ia dibayar dan begitulah pekerjaannya. Arnetta bahkan memakai pakaian yang sangat pendek, tersenyum menggoda pada pria-pria hidung belang yang datang ke padanya. Entah mengapa hatinya sakit mengingat betapa menyedihkannya usaha yang dilakukannya hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak tahu sampai kapan ini semua berlangsung. Ia sendiri tak bisa membayangkan berapa lama lagi ia harus melakoni pekerjaan sebagai wanita penghibur disana. Beruntung, ia masih bisa menjaga satu-satunya harga diri sebagai seorang wanita. Ia masih bisa menolak untuk melakukannya.

Ia menjaga hanya untuk suaminya.

"Ayo, kita masuk." Ajak Arnetta parau. Membayangkan lebih lama bagaimana kehidupannya kali ini, semakin membawa dadanya tertusuk. Takkan ada yang pernah tahu masalahnya, karena Arnetta selalu menelannya sendirian.

Tidak orang lain, termasuk ibunya sendiri.

Tangan lentik Arnetta mengambil alih dorongan kursi roda yang dinaiki oleh sang ibu. Ia mendorong masuk Ratih dengan gerakan yang sangat pelan. Ini adalah waktu diantara dirinya dan sang ibu. Betapa menyenangkannya jika membayangkan ini akan berlangsung selamanya. Pikiran dimana ia memutuskan untuk tidak menikah membuat hatinya ngilu.

Tepat sebelum mereka berhasil berjalan melewati pintu, suara parau Ratih membuat saraf pergerakan Arnetta melumpuh. Perkataan yang tersemat ketika mereka hampir memasuki gerbang kehidupannya yang baru hancur seketika. Bukan sebuah pertanyaan, itu adalah sebuah perintah.

"Arnetta, ayo kita kembali ke Indonesia."

Terpopuler

Comments

YuWie

YuWie

pengorbanan arneta u seorg ibu..akan membawamu psda kebahagiaan pada akhirnya... ganbate arneta 😀

2022-01-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!