"Ayah ... Airin, Yah ... tolong tisu!" Lena memanggil suaminya dengan panik.
Laki-laki itu mengambil tisu di atas nakas dengan buru-buru, lalu ke luar untuk memanggil Dokter.
"Airin jangan capek-capek. Jangan terlalu banyak pikiran. Nanti biar Ibund yang bicara sama ayah. " Lena membantu menyeka darah yang masih sedikit keluar di hidung Airin.
Gadis berusia 20 tahun itu buru-buru mengambil ponsel di pangkuannya. Membuka fitur kamera depan untuk melihat kembali riasan wajahnya. "Berantakan, Bund."
Lena tersenyum lembut, dengan telaten perempuan itu menutup bekas darah yang berada di antara hidung dan bibir anaknya dengan menggunakan bedak yang warnanya senada dengan warna kulit Airin.
"Sudah rapi lagi. Anak Ibund memang sangat cantik." Lena mengelus kepala Airin dengan sangat pelan.
"Karena Ibund juga cantik." Airin turut memuji bundanya.
Rasyid masuk bersama Nancy--Dokter yang menangani Airin secara intensif selama enam bulan ini. Perempuan ramah berwajah blasteran itu menghampiri Airin.
"Baringan dulu ya, Rin. Biar aku periksa dulu." Dokter itu memang sangat akrab dengan Airin, mereka berkomunikasi layaknya adik kakak.
Lena mendorong kursi roda Airin. Mendekati brankar. Setelah kembali berbaring, Nancy pun memeriksa kondisi pasiennya itu.
"Rin, baringan saja ya. Acara pertunanganmu bakalan tidak terlupakan banget malahan. Kamu jangan banyak bergerak, yang lebih penting lagi, jangan stress. Kamu cuma mau tunangan, bukan mau sidang skripsi. Zain itu terbaik, nggak ada yanh perlu dipikirkan." Dokter berusia diambang 30an itu memberi semangat pada Airin.
Lena menatap tajam suaminya, pasti Airin memikirkan ucapan Rasyid. Penyakit yang dideritanya, membuat sifat Airin yang dulunya sangat tegar, menjadi lebih sensitif.
****
Sesaat sebelum turun dari mobil, Senja memakai foundation untuk menutupi bekas tamparan suaminya, lalu memoles sedikit dengan bedak. Sedikit blush on membantu wajahnya yang sedang sendu menjadi sedikit cerah. Dibantu warna lipstik yang sedikit terang akan membuatnya segar.
"Mama, yakin?" Zain menatap lembut mamanya.
Senja memaksakan senyumnya seraya mengangguk. Dengan anggun turun dari mobil. Ibu dan anak itu berjalan layaknya adik dan kakak. Perempuan yang sudah melahirkan lima anak itu memang terlampau awet muda.
Sampai di depan pintu kamar rawat, Senja sempat merapikan tuxedo yang dikenakan oleh anaknya.
Rasa sesal sungguh memenuhi hati dan pikiran Zain saat ini. Dia sudah berani mengatakan mamanya egois hanya karena kecewa dengan keputusan sang daddy.
Lena membuka pintu ruangan, menyambut Senja dan Zain dengan sangat ramah.
Rasyid mengulurkan tangan pada perempuan yang baru saja datang bersama calon menantunya. "Rasyid--Ayahnya Airin." laki-laki itu memperkenalkan diri. Karena sebelumnya memang belum pernah bertemu dengan Senja.
"Saya Senja--Mamanya Zain," ucap Senja, sembari membalas uluran tangan Rasyid.
Sejenak semua terdiam, masih canggung sekaligus bingung harus memulai dari mana.
"Mama Nja, Sehat?" tanya Airin dengan suara lembutnya. Dia merasa calon ibu mertuanya itu sedang tidak baik-baik saja. Kedua bola mata yang biasanya berbinar, kini trrlihat sedikit redup.
"Mama sehat, Sayang. Airin cantik sekali." Senja mengelus tangan calon menantunya.
"Terimakasih, Ma." Airin tersipu malu, pipinya memerah.
Zain tersenyum, matanya tidak berpaling dari wajah Airin. Jika berjalan dengan Senja, lebih pantas Airin lah yang dikatakan anak dari istri Darren Mahendra itu. Garis wajah, senyum dan pembawaan keduanya hampir sama.
"Sebelumnya, saya ingin menyampaikan permintaan maaf dari suami saya. Hari ini, daddynya Zain berhalangan hadir karena pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi Daddy mengirim salam untuk Airin, Bu Lena dan juga Bapak." Senja memulai pembicaan setegar yang dia bisa, dengan harapan matanya bisa diajak kompromi untuk berkata tidak jujur.
Tatapan Rasyid tajam menyelidik tepat berpapasan dengan bola mata calon besannya itu. Harapan Senja pada matanya, tidak terkabulkan. Ayah dari Airin itu cukup jeli dalam menilai. Sudah 22 tahun lebih dia bekerja di bagian personalia, bahkan sepuluh tahun terakhir menjabat sebagai manager personalia di salah satu perusahaan besar. Tentu sudah menjadi kesehariannya, membaca karakter, sifat dan kejujuran seseorang dari gerak tubuh atau raut wajah.
"Saya juga mohon maaf sebelumnya, Bu Senja. Tadi saya juga menyampaikan pada Airin juga. Kalau sebaiknya acara pertunangan ditunda saja. Mungkin memang waktu dan suasananya memang tidak tepat. Suami Ibu berhalangan untuk hadir. Airin pun sepertinya butuh waktu untuk istirahat." Rasyid tanpa basa basi langsung memberikan keputusan.
Zain dan Airin seketika saling pandang, keduanya sama-sama tidak menduga kalau kejadiannya akan seperti ini.
"Ayah ... tidak bisa begitu, kami sudah lama menanti hari ini," rengek Airin.
"Pertunangan dan pernikahan itu sama pentingnya, Rin. Keduanya harus direstui, disaksikan dan dihadiri oleh orangtua kedua belah pihak. Kecuali kalau memang kalian susah tidak mempunyai orangtua lagi. Itu lain ceritanya. Atau begini saja, sekarang kan jaman modern, kalau mau tetap bertunangan hari ini. Kita bisa melakukan komunikasi lewat zoom atau video call dengan daddynya Zain. Bisa kan?" Rasyid memberikan alasan yang memang masuk akal.
Seketika Senja menundukkan kepala. Tekhnologi memang sudah sangat maju Bisa dikatakan ponsel yang mereka miliki selalu merk buah keluaran terbaru. Masalahny, sebagus apapun ponselnya, sepenuh apapun signal internetnya, kalau yang dituju tidak mau mengangkat, kita bisa apa.
"Daddynya Zain sedang ada di USA, saat ini di sana sedang malam. Ponselnya selalu dimatikan kalau sedang tidur." Senja kembali memberi alasan.
Zain semakin merasa bersalah, terbuat dari apa hati mamanya. Bahkan kalau tadi, Senja membatalkan kepergian mereka pun, dia akan mengerti. Sekarang nyatanya, ayah Airin malah menolak mereka sebelum ada kalimat terucap dari pihaknya.
Airin tiba-tiba muntah. Bersamaan dengan itu, darah kembali mengalir dari hidungnya. Zain segera berlari memanggil Nancy.
Senja merangkul Lena, memberikan dukungan sekaligus kekuatan. Dia pernah berada di posisi yang sama saat menunggui Zain dulu.
Nancy kembali memeriksa kondisi Airin. Dengan terpaksa, Dokter itu memeberikan suntik penenang dosis rendah agar pasiennya itu bisa istirahat sejenak dan tenang.
Setelah memastikan semua sudah baik-baik saja, Nancy meninggalkan ruangan Airin. Tidak lupa Dokter cantik itu melempar senyuman penuh arti pada Zain.
"Kamu pulang saja dulu, besok kita bicarakan lagi," ucap Rasyid sembari menepuk pundak Zain.
"Baik, Ayah. Zain pulang dulu." Zain dengan sopan mencium punggung tangan Rasyid dan Lena bergantian.
Senja memeluk Lena dengan hangat. "Maafkan ayahnya Airin, Bu," bisiknya.
"Tidak mengapa, Bu Lena. Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya," timpal Senja, dengan berbisik juga.
Senja dan Zain akhirnya meninggalkan ruangan Airin. Keduanya langsung kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut ibu dan anak itu.
Rudi menghentikan mobil tepat di depan pintu utama. Senja buru-buru turun dan masuk ke dalam rumah.
"Ma ... Zain mau bicara sebentar, Ma ...." Zain mengejar mamanya.
"Tidak sekarang, Zain. Mama lelah." Senja langsung naik ke atas ke dalam kamarnya. Zain mengalah dan tidak lagi berniat untuk mengejar mamanya.
Darren yang sedari tadi hanya duduk di tepian ranjang, melihat istrinya masuk dengan tatapan penuh penyesalan.
"Ask ...." panggil Darren.
Senja tidak menoleh sama sekali, dia mengambil koper kecil dan memasukkan beberapa helai pakaian ke dalamnya.
"Ask ...." Darren menahan pergelangan tangan Senja, sorot matanya menyiratkan sebuah permohonan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 218 Episodes
Comments
N⃟ʲᵃᵃ࿐DHE-DHE"OFF🎤🎧
Senja jangan pergi dulu lebih baik di bicarakan dengan kepala dingin.
2022-09-08
0
🍌 ᷢ ͩˡ Murni𝐀⃝🥀
nah lho nyesalkan tu Darren telah menampar istrinya itu tadi.
2022-06-24
0
bunda n3
bener tinggalin ajalah darren
2022-05-12
0