Di sinilah Linia, disebuah ruangan gemerlap dengan lampu disko dan suara orang-orang sedang berkaraoke ria tanpa peduli suara mereka bagus atau tidak. Jarang-jarang orang seperti Linia ikut acara-acara ramai seperti ini. Hanya karena desakan teman-teman sekantor ia jadi ikut. Terlebih, Linia juga harus tau jikalau departemen IT isinya laki-laki semua. Jika dihitung rekan kerja wanita yang hanya dari divisinya minus kak Elda karena kondisi beliau tidak memungkinkan hanya berempat dengan diri Linia. Lebih-lebih dari itu, Linia sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia alami selama beberapa jam ini...
Jhonathan juga ikut bersama mereka.
"Lin, jangan melamun dong! Ayo nyanyi juga!" Linia yang sedang diam menikmati minumannya harus dikagetkan dengan Dheo yang tiba-tiba merangkulnya dan menyodorkan mic padanya.
"Ihh!! Enggak ah, nanti telingamu rusak karena aku nyanyi. Ngga mau."
Respek Linia langsung menjauh dari rangkulan Dheo dan membuatnya terpaksa semakin dekat dengan Jhonathan yang duduknya kebetulan berada tepat disampingnya.
"Dheo... udah tau toleransi alkoholmu rendah, kau malah memesan bir." ujar Jhonathan pada Dheo yang memang sudah sedikit mabuk itu.
Linia juga tau akan itu. Dheo jika sudah dikaitkan dengan hal seperti ini tentu ia tidak akan mau mendengar siapapun. Oh tidak. Linia memang sedikit menyesal ikut terlebih jika mereka sudah memesan minuman keras. Linia juga rendah toleransinya terhadap alcohol. Juga bau rokok. Di ruangan ber-AC ini malah ada yang merokok. Oke, ini semakin memperburuk pandangan Linia. Terlebih lagi, rekan sesama wanitanya tidak ada yang mau diajak keluar dan malah mengabaikan Linia. Iya, Linia paham jika mereka kalau sudah bertemu pria tampan dari departemen IT terlebih Dheo yang playboy itu tidak akan mau pulang cepat.
Linia pun melihat arloji yang berada di pergelangan kirinya.
"Dheo! Maaf! Aku harus angkat telepon dulu keluar!" ujar Linia setengah berteriak. Dheo yang sudah mabuk itu hanya mengiyakan saja dan membiarkan Linia keluar.
Klek
Linia langsung meregangkan tubuhnya saat keluar dari ruangan terkutuk itu dan mengucap beribu syukur karena dapat kabur dari sarang buaya yang berbahaya itu. namun, baru lima langkah maju Linia teringat sesuatu.
Jhonathan.
Bagaimana ia bisa lupa dengan atasannya yang cukup merepotkan itu. yang lebih anehnya kenapa ia mau ikut acara begini? Apa Dheo yang mengancam Jhonathan? Mungkin itu salah satu jawabannya. Hanya saja, bagi Linia memang aneh. Orang seperti Jhonathan, yang sulit percaya ke orang lain mau saja ikut? Apakah kepala Jhonathan terbentur?
"Linia!"
Langkah Linia langsung berhenti dan memutar pandangannya melihat Jhonathan berjalan terburu-buru dengan wajah pucat pasi menuju Linia berdiri. Linia tentu bingung dengan apa yang terjadi pada Jhonathan hingga membuat pria itu menghampirinya dengan ekspresi ketakutan itu.
"Lalu, jika bapak memang takut, kenapa malah ikut?" tanya Linia pada Jhonathan yang sedang menyetir mobilnya itu.
Ujung-ujungnya Linia malah menumpang mobil Jhonathan untuk pulang karena Jhonathan menawarinya tumpangan. Sekaligus Linia penasaran kenapa wajah Jhonathan pucat saat setelah keluar dari ruangan karaoke itu.
"Saya pikir hanya karaoke biasa dan tidak banyak orang. Dheo juga bilang kalau kamu pasti ikut. Eh, kamunya pulang duluan." ujar Jhonathan.
Linia menatap Jhonathan heran.
"Saya memang hanya akan ikut selama satu jam. Malah saya heran tumben sekali bapak ikut, walaupun saya yakin Dheo yang memaksa."
Jhonathan memilih diam merespon ucapan Linia barusan dan fokus menyetir. Sementara Linia sibuk memperhatikan jalanan.
"Memangnya kenapa kalau saya pulang duluan pak?" tanya Linia menatap Jhonathan yang sedang menyetir itu.
Memang masuk akal bagi Linia untuk bertanya hal seperti itu. apa urusan Jhonathan jika ia pulang duluan dari pria itu. Jhonathan melirik Linia sekilas.
"Soalnya saya tidak bisa percaya dengan mereka."
Linia tidak salah mendengar. Kalimat langka itu benar-benar keluar dari Jhonathan barusan. Terdengar pelan namun Linia dapat mendengar jelas apa yang di ucapkan. Linia memilih menatap lampu-lampu dari gedung pencakar langit sepanjang perjalanan dan menyembunyikan rasa senangnya dalam senyum tipisnya. Sementara Jhonathan fokus menyetir sesekali melirik kearah wanita yang duduk di sampingnya itu.
*
*
*
"Menaruh kepercayaan itu tidak mudah, sesuatu yang disebut kepercayaan itu merupakan hal yang rentan. Tepatkah kamu menaruh rasa percaya mu itu?"
*
*
*
"Eh, Lin... kamu lihat ngga wanita cantik tadi." ujar kak Elda sembari menyikut Linia saat mereka baru selesai istirahat makan siang.
"Apanya? Siapa? Tidak ada, mana?" tanya Linia bingung saat mereka sudah masuk kedalam ruang kerja.
"Tadi masuk ke dalam kantor divisi kita. Orangnya cantik dan segar, tapi sepertinya lebih tua dari kakak." jelas Elda mendeskripsikan pada Linia.
Linia hanya mengiyakan saja. Karena ia tidak melihat siapa yang dimaksud oleh Elda padanya. Linia pun duduk di kursinya dan melihat dari luar dinding kaca ruangan Jhonathan nampaknya ada mama,
MAMA JHONATHAN???!!!!!
"Hah!?" ujar Linia dalam diamnya saat melihat Jhonathan sedang mengobrol bersama seorang wanita paruh baya yang pasti di maksud Elda adalah ibunda Jhonathan yang sekaligus merupakan salah satu dewan direksi perusahaan tempat Linia bekerja.
Satu hal yang Linia tidak bisa siap saat ini. Ia dan Jhonathan telah sepakat untuk diam-diam saja semenjak pesta ulang tahun paman Her tempo lalu tentang hubungan mereka yang sebatas atasan dan sekretaris itu. jika mama Jhonathan mendapatinya di kantor yang sama dengan Jhonathan dan mengetahui seluk beluk dirinya, bisa mati Linia dan Jhonathan sekaligus karena membohongi orang tua. Linia nampak berpikir keras... hanya ada dua pilihan, mengungkapkan dirinya siapa dan meminta maaf, atau membiarkan semuanya mengalir dan semuanya akan tergantung pada respon mama Jhonathan.
Oke baiklah, Linia kembali menjadi manusia yang suka memikirkan hal-hal yang tidak penting.
"Bu Linia, tolong antarkan copyan ini pada pak Jho. Tidak enak rasanya saat beliau ada tamu dan saya masuk begitu saja. Ibu kan sekretarisnya, jadi lebih nyaman anda saja yang masuk."
Baru saja Linia berpikir ingin menghindar, malah sudah datang setumpuk cobaan di atas mejanya dan ia malah dimintai tolong untuk menyerahkannya. Ini seperti menyerahkan nyawanya sendiri. Linia menarik napas dalam dan mengambil tumpukan salian dokumen itu. ia mencoba berpikir jernih. Lagi pula tidak ada hubungannya dengan Jhonathan lebih dari atasan dan sekretaris. Semua akan berjalan baik-baik saja.
Sementara itu di ruangan Jhonathan, nampak ibu dan anak ini sedang mengobrol 'santai' dengan di temani teh hitam di masing-masing hadapan.
"Padahal mama kan sudah hubungi kamu kemarin untuk ikut pertemuan dengan pak Jul tentang masalah bisnis, kamu kok nggak datang?" tanya Karlina kepada putranya itu.
"Selain masalah bisnis, pasti ada 'bisnis' lain kan ma? Jho kan udah pernah bilang kalau Jho nggak mau di comblangin seperti kak Tio." ujar Jhonathan mencoba sabar.
Ibunya nampak sedikit terkejut akan kepekaan Jhonathan dibalik siasatnya itu.
"Salah kamu yang nggak kasi kabar dengan wanita di pesta om Her ke mama, lagi pula kamu udah cukup matang untuk menikah dan ngasi mama cucu." ujar Karlina dengan intonasi lebih rendah pada ujung kalimat.
Jhonathan nampak frustasi akan ucapan ibunya ini. Mungkin wanita paruh baya itu berpikir jika mudah saja mencari orang dan membuat anak. Jika dipikir lagi, ini sudah lain jaman. Semua orang memiliki persiapan matang masing-masing. Bukan hanya factor umur saja. Kesiapan akan finansial sekaligus kesiapan menaruh hidup pada pasangan masing-masing. Terlebih Jhonathan juga masih trauma dengan kata 'percaya'.
Klek!
"Permisi pak Jho, saya membawa salinan yang anda minta."
Eh?
Seketika perhatian langsung tertuju pada Linia yang masuk secara perlahan itu sembari membawa tumpukan salinan dokumen yang harus diantarkan pada Jhonathan. Linia dapat melihat perbedaan ekspresi dari ibu dan anak ini. Jhonathan dengan ekspresi terkejutnya dan ibu Jhonathan dengan ekspresi berseri-serinya saat melihat Linia masuk serta Linia dengan pasrahnya saja.
"Oke!! Oke!!! Ma!!! Mama kan habis ini ada rapat lagi kan sama ibu-ibu direksi. Sebaiknya mama pergi dulu, Jho banyak kerja." ujar Jhonathan sembari membereskan barang-barang milik ibunya.
"Ehhh!! Tunggu!! Tunggu!!! Kamu kok malah ngusir mama sih Jho!!" ujar Ibu Jhonathan panik saat Jhonathan membawanya keluar dari ruangan bahkan kantor divisi.
"Jho, kamu kok begini sih? Pasti ada apa-apanya ya??" tanya sang ibu curiga.
Jhonathan berusaha berpikir jernih serta menyusun kata-kata yang cocok untuk di utarakan pada ibunya.
"Intinya hal seperti itu urusan Jho, mama sama nenek tidak usah ikut campur. Sampai jumpa ma." ujar Jhonathan sembari langsung pergi kembali ke ruangannya.
Linia yang sedari tadi masih terpaku di ruangan Jhonathan melihat atasannya masuk kedalam ruangan dengan ekspresi yang sulit di tebak dan membingungkan. Hingga tiba-tiba Jhonathan menghampiri Linia dan menatap wanita itu serius.
"Kamu kenapa masuk ke ruangan sih?" tanya Jhonathan pada Linia.
"Eh? Saya mau ngasi salinan dokumen yang bapak minta, mereka pada tidak mau mengantar ke ruangan bapak." jelas Linia.
"Iya... saya tahu, tapi kamu kan sudah pernah ketemu dengan ibu saya dan sudah sepakat tidak memberitahu kalau kamu juga kerja disini." ujar Jhonathan nampak belum menerima penjelasan Linia.
"Saya juga tahu pak dan minta maaf juga. Saya juga nggak bisa mengabaikan rekan saya yang minta tolong."
"Iya... iya... tapi, coba kamu lihat ekspresi ibu saya tadi. Kita berdua bisa habis."
Linia kurang mengerti kenapa, karena ibu Jhonathan terlihat berbinar-binar menyambutnya tadi.
"Ya... bapak tinggal bilang apa yang sebenarnya saja kan."
Jhonathan menatap Linia tak percaya.
"Sudah salah, malah nyari alasan lain. Kamu pandai beralasan ya." Walaupun pelan, ucapan Jhonathan cukup menyebalkan di telinga Linia hingga membuat wanita itu memilih diam dan langsung meletakkan tumpukan kertas di pelukannya di meja Jhonathan dan langsung pergi begitu saja.
Dan sedetik kemudian Jhonathan merasa ada yang salah dengan ucapannya barusan. Mungkin saja, perkataannya barusan menyinggung Linia yang tidak tahu apa-apa. Jhonathan pun dapat melihat jika wanita itu langsung duduk di kursi dan kembali bekerja dengan wajahnya yang tidak mengenakkan di pandangan Jhonathan.
Sementara itu Linia kembali bekerja dan berkutat dengan komputernya. Ia juga tahu dan paham jika ia salah tadi, maka dari itu ia minta maaf juga. Tapi, tidak begini juga. Kenapa semuanya seolah-olah salah Linia total ? Padahal, Jhonathan yang menyeretnya masuk walaupun sudah dibayar dengan eskrim, pikir Linia. Mungkin Jhonathan tidak sadar dan melihat bahwa Linia juga hampir terbawa emosi dan ingin menangis. Masalahnya jika ia menangis, malah menjadi guyonan aneh di antara pekerja. Mungkin memendam kesal dihati sudah cukup dan berharap besok akan reda. Linia mungkin bisa mentoleransi jika ucapan Jhonathan menyangkut pekerjaannya, tapi ini sudah diluar konteks pekerjaan. Sedikit banyak, tetap saja tidak terima.
Setelah Jhonathan berucap seperti itu pada Linia. Wanita itu sama sekali tidak ingin masuk kedalam ruangan Jhonathan jika bukan ia yang harus masuk. Ia tidak menerima titipan atau semacamnya dengan alasan hanya ia yang bisa masuk kedalam ruangan berisi pria yang ingin ia hindari itu. Cukup lah dengan urusan pekerjaan yang merepotkan dan jangan sampai kehidupan pribadi juga masuk. Bisa-bisa hancur dalam semalam.
"Linia, ayo istirahat makan siang. Sudah dua hari ini kamu lesu." ajak Elda saat mereka sudah memasuki jam makan siang kantor.
Linia yang sibuk mengetik itu pun langsung berhenti.
"Hari ini saya tidak bisa kak. Saya pengen tidur aja deh. Mager banget." ujar Linia tidak berminat.
"tamu bulanan?"
Linia hanya mengangguk lalu merebahkan kepalanya keatas meja sembari meminggirkan keyboardnya dan memejamkan matanya. Memang tidak biasanya ia akan berada dalam ruang lingkup bad mood lebih dari satu hari. Linia pun bingung kenapa bisa begitu, padahal Jhonathan pun nampak bersikap seperti tidak ada terjadi apa-apa dan gila bekerja seperti biasa. Ya ini seperti biasa, Linia yang terlalu memikirkannya dan membuat stres sendiri.
"Lin, ikut saya sebentar." Lamunan Linia dikagetkan oleh suara berat Jhonathan yang berada di belakangnya.
Pada dasarnya sudah dua hari ini ia tidak bercanda dengan Jhonathan. Memang rasanya sedikit aneh. Ya, mau tak mau Linia bangun dan mengikuti langkah Jhonathan yang Linia tidak tau akan kemana. Ia juga tidak berminat untuk bertanya. Entar malah dibilang banyak tanya dan Linia lagi yang salah. Linia pun memilih diam.
Rooftop gedung
Linia yang sedari tadi memilih diam sebenarnya cukup bertanya-tanya dalam hati perihal Jhonathan yang tiba-tiba mengajaknya ke tempat seperti ini. kalau pun Jhonathan tidak mengajak Linia ke rooftop perusahaan, wanita itu tidak akan tahu jika terdapat tempat bersantai yang sejuk di atas ini.
"Ada apa pak? Saya kira ini akan menjadi pembicaraan di luar pekerjaan." tanya Linia.
Jhonathan melihat Linia, tidak dapat dipercaya jika wanita itu langsung peka. Linia pun nampak bingung harus berbuat apa. Ia sudah bersikeras tidak akan terlibat dengan hal-hal yang menyangkut Jhonathan diluar pekerjaan. TIDAK AKAN.
Namun, mereka sudah diam selama lebih dari lima menit dan Linia mulai jengah.
"Jika tidak ada, saya boleh kembali ke ruangan? Soalnya jam istirahat sebentar lagi akan selesai." ujar Linia pada Jhonathan yang sedari tadi duduk disalah satu bangku yang ada di atap.
"Sepulang kerja kamu jangan langsung pulang."
Linia nampak bingung.
"Apa ada rapat tambahan?"
Jhonathan memilih diam. Ah, Linia tahu kemana arah dan tujuan Jhonathan.
"Saya sudah memutuskan untuk bekerja seperti biasa saja pak, selaku sekretaris bapak. Itu saja."
"Ya, memang kamu adalah sekretaris saya."
Benar juga ucapan Jhonathan.
"Iya, maksudnya yang berlalu biarin aja pak. Jadi nggak usah dipermasalahkan, permisi." ujar Linia memutar tubuhnya lalu pergi.
Linia memutuskan untuk seperti itu dan menghilangkan sikap santai nya pada Jhonathan. Ia harus serius bekerja dan menghasilkan kinerja yang bagus.
"Padahal saya sedang mencoba! Mempercayai seseorang!" seruan Jhonathan sampai ketelinga Linia.
Wanita itu mendengarnya, namun langkah kakinya terus berjalan dan menganggap itu adalah ilusi yang hanya diinginkannya. Sementara Jhonathan melihat Linia yang sudah menghilang dengan tatapan bingungnya. Tidak biasanya ia seperti ini...
Terlebih pada seseorang yang baru ia kenal.
"Apa-apaan sih." sungut Linia saat ia berjalan kembali menuju ruangan kerjanya dan menunggu lift yang akan mengantarnya turun ke lantai tempat divisinya.
Ting!
Oh! Linia dibuat kaget dengan apa yang dilihat nya saat ini. salah satu dewan direksi perusahaan dan juga ibunda dari atasannya Jhonathan. Ibu Kristia Karlina berada dalam lift yang ia akan naiki itu.
"Wah!! Kebetulan sekali! Linia ayo ikut tante!!"
Belum sempat Linia berkata-kata memutar otak untuk alasan kabur, pergelangan tangannya langsung di tarik masuk kedalam lift dan terjebak bersama ibu Jhonathan yang menatapnya dengan mata yang tidak bisa lepas dari Linia. Mimpi buruk apa Linia semalam sampai-sampai bisa menjalani hari seperti ini. sudahlah tadi dibuat tidak mood oleh anaknya, kini ia malah diculik ibu dari anaknya itu.
"Kamu kok tidak kasi tahu tante kalau kamu juga sekantor dengan Jhonathan."
Linia ingin kabur tapi tidak tahu dengan cara apa... kepalanya benar-benar pusing dengan apa yang terjadi. Sudahlah ia bertekad tidak akan membahas tentang Jhonathan.
"Ya, kemarin tante tahu kalau pak Jho langsung menyuruh tante pulang. Saya juga minta maaf tidak menyapa tante dengan benar tempo lalu." ujar Linia sedikit merasa bersalah.
"Ehhh!! tidak masalah. Jho memang begitu, sifat manjanya pasti tidak ingin ia tampakkan ke orang lain. Juga, tante tidak permasalahin Jho mau berteman dengan siapa saja. Lagipula, ia ditempatkan di sini tujuannya untuk mencari teman, Linia tidak apa-apa kan berteman dengan Jho?" tanya Karlina pada wanita muda disampingnya itu.
Linia nampak merenungkan ucapan ibu Jhonathan. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari ibu Jhonathan. Pria itu mungkin terlalu khawatir jika kehidupan pribadinya dikacaukan oleh ibunya sendiri. Padahal maksud dari ibu Jhonathan hanya ingin anaknya mendapatkan teman.
"Saya juga tahu kalau kamu salah satu pekerja yang baik. Walaupun Jho setengah mati menyembunyikannya, bukan berarti saya tidak bisa mendapatkan apa yang saya ingin tahu. Kamu dipilih untuk jadi sekretarisnya bukan?"
Linia mengangguk. Memang benar ia ditunjuk untuk menjadi sekretaris manajer pengganti pak Imal saat beliau di mutasi ke kantor cabang.
"Itu berarti kamu dipercayai olehnya. biasanya Jho bakalan milih sendiri sekretarisnya dibanding kerja dengan seseorang yang dipilih orang lain. Tapi, ia menurut aja kali ini, saya berterima kasih sama kamu lho."
"Eehh, nggak harus berterima kasih te. Saya hanya menjalani tugas saya hehehe..."
Tiba-tiba ibu Jhonathan mengeluarkan kartu namanya dan memberikannya pada Linia.
"Ngobrol sama kamu itu seru ya, kapan-kapan lagi kita ngobrol lagi ya, di suasana yang nyaman. Jho mungkin tidak mau ngenalin kamu ke saya, takut saya makan kamu kali... hehe.. sampai jumpa."
Linia dan Karlina berpisah di lantai tempat ruangan Linia berada. Wanita muda itu tersenyum kecil lalu kembali ke ruangannya dan bekerja seperti biasa. Karena masih banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan ketimbang memikirkan hal yang tak penting.
"Lin, kamu belum pulang??" tanya Elda saat ia sudah siap untuk pulang karena suaminya sudah menunggu di parkiran. Karena melihat rekan kerjanya itu masih sibuk bekerja di meja kerjanya itu.
"Sebentar lagi, kakak hati-hati di jalan." ujar Linia tanpa memalingkan pandangannya dari pekerjaan.
Elda hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan Linia. Sekilas ia menapa Jhonathan yang juga sibuk diruangannya itu tanpa peduli dengan kantor yang sudah sepi. Keduanya sama-sama gila kerja. Elda pun memutuskan untuk bergegas pergi karena suaminya sudah meneleponnya.
Krek
Linia langsung meregangkan sendi-sendinya saat merasa sudah terlalu tegang berkutat dengan tumpukan pekerjaan yang ia baru selesaikan itu. Sejenak ia ingin sedikit relaks dan berpikir jernih. Akhir-akhir ini ia terlalu banyak beban pikiran yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan.
"Pengen pulang tapi malas." sungut Linia.
Linia pun membuka mata yang ia pejamkan selama beberapa detik itu dan bukannya melihat langit-langit ruangan, ia malah melihat wajah Jhonathan yang menatapnya bingung.
"Waa! Kaget aku." Linia terperanjat dan memperbaiki posisi duduknya lalu menghadap Jhonathan yang mungkin sudah dari tadi ada disampingnya.
"Kenapa bapak belum pulang?" tanya Linia bingung.
"Kamu lupa ya, siang tadi saya minta kamu jangan pulang dulu."
Linia ingat betul yang dimaksud Jhonathan.
"Lah, gimana kalau saya pulang duluan tadi?" tanya Linia heran.
Jhonathan mengangkat kedua bahunya menandakan ia tidak tahu.
"Buktinya kamu belum pulang." ujar Jhonathan.
"Sekarang saya mau pulang." Linia membereskan barang-barangnya dan bersiap pulang.
"Eehh! katanya malas pulang?"
Linia menyembunyikan wajah malunya karena Jhonathan pasti mendengar sungutannya tadi. Tiba-tiba Jhonathan tersenyum.
"Ayo ikut saya!" ajak Jhonathan tiba-tiba.
"Kemana pak?" Linia bingung.
"Ada deh! Kamu belum makan kan? Ikut aja."
Jika jawaban Jhonathan seperti itu, tentu Linia akan diajak makan.
"Bapak yang bayar." ujar Linia sembari meraih jaketnya dan mengikuti langkah Jhonathan.
"Tenang aja..."
Linia tersenyum. Ia berpikir, mungkin Jhonathan ingin menebus kesalahannya tempo lalu. Sesekali memang seorang bos harus traktir bawahannya, begitu pikir Linia.
Awalnya Linia memang berpikir akan ditraktir makan oleh Jhonathan yang kemungkinan akan di rumah makan biasa atau tempat nokrong yang menyenangkan ala-ala anak muda.
Tapi, ini.
Linia tidak yakin jika selera seorang Jhonathan cukup klasik juga. Nyatanya ia dibawa ke sebuah restoran Perancis yang elit dan tentu dengan suguhan makanan yang sangat menarik dan sayang untuk dimakan. Linia pikir, untuk mentraktir bawahan sepertinya, apa ini sangat berlebihan? Tentu saja, Linia bahkan tidak pernah ada berpikir ke sini. Justru wanita itu menebak jika Jhonathan akan mengajaknya ke supermarket membeli bahan makanan lalu memasak sendiri.
"Kamu mau pesan apa Lin?" tanya Jhonathan sembari memberikan buku menu pada Linia.
Dengan kikuk Linia mengambil menu itu dan membukannya dengan perlahan. Siapa tahu kalau robek malah dibayar juga. Bisa bokek Linia bulan ini, mana belum gajian lagi.
Kupikir dalam menu ini bisa kulihat harganya, nyatanya.. mereka terlalu gengsi menaruh harga... -Linia.
"saya sama dengan bapak saja..." ujar Linia menyerah.
Memang Jhonathan yang akan membayar, namun ia tidak ingin salah pilih. Malah-malah yang rugi ujung-ujungnya Jhonathan pula. Sementara itu, Jhonathan hanya tersenyum tipis dan langsung memesan menu yang bahkan Linia tidak tahu apa terjemahannya itu. Mereka tidak mencantumkan kedalam bahasa Indonesia.
"Jangan tegang Lin, saya tidak makan kamu kok." ujar Jhonathan sembari menatap Linia lurus.
Wanita itu sedikit merasa aneh. Jhonathan yang seperti ini tidak pernah ia lihat sebelumnya. Apa kepala atasannya itu terbentur?
(flashback)
"Sudah salah, malah nyari alasan lain. kamu pandai beralasan ya."
Jhonathan tiba-tiba tersadar setelah Linia pergi dari ruangannya setelah ia mengucapkan kalimat menyakitkan itu. Perlahan ia kembali ketempat duduknya dan melihat kembali pekerjaannya, yang ia kira mungkin semua akan berlalu begitu saja saat ia menghadapi pekerjaan seperti yang sudah-sudah.
namun, usianya sudah cukup dewasa dan memikirkan ekspresi kecewa Linia barusan. Sadar tak sadar akibat ucapannya yang gegabah barusan sudah menyakiti orang lain. Bukankah ia ingin berubah saat bekerja disini? Kenapa malah menyakiti orang lain yang tidak tahu apa-apa? Pikirannya buyar, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, satu-satu nya yang biasanya berguyon dengannya adalah Linia di kantor ini dan ia malah nampak menyakiti wanita itu.
Sudahlah menyeret Linia yang tidak tahu apa-apa, ia malah membuat seorang wanita bersedih.
"yaa, bisa dibilang pengecut." ujar Dheo saat mereka bersantai di apartemen Jhonathan.
Dheo bisa dibilang sering 'kabur' ke apartemen Jhonathan untuk numpang makan atau bersantai atau lari dari kejaran orang tuanya yang sering kali memaksa untuk berlatih menjadi penerus keluarga di perusahaan.
"Sudahlah kamu yang menyeretnya, kamu pula yang bikin kesalahan, kamu pula yang menyalahkan Linia. kan anjng." ujar Dheo pada Jhonathan yang sedang mencuci piring.*
"Di wilayahku dilarang keras menggunakan bahasa binatang. Oke oke, aku sadar aku salah. Jadi harus bagaimana? Minta maaf?"
"Iyalah! Linia itu memang diam-diam aja orangnya, tapi dia tu masih marah ke lo, apa lagi sekretaris sendiri. bisa-bisa diracunin entar." Uuar Dheo sembari menaruh gelas sisa kopi yang baru ia habiskan itu ke tempat Jhonathan sedang mencuci piring.
Jhonathan mendelik kearah sepupu nya itu dan nampak kesal juga dengan Dheo.
"Gua nginap disini yak!!" seru Dheo sembari menghidupkan televisi yang ada di ruang tengah apartemen Jhonathan.
Dan Jhonathan hanya memutar malas bola matanya, mau dilarang itu sepupunya sendiri, mau dibiarin malah porak poranda apartemen nya.
"Minta maaf ya..." gumam Jhonathan saat ia sudah mencuci piring.
"Dheo!! Lo tau yang disuka Linia?? Gua rasa ngga akan cukup Cuma ngucapin maaf doang." ujar Jhonathan sembari ikut bergabung dengan Dheo yang sedang menonton acara kartun.
Dheo berpikir sejenak, sudah hampir 3 tahun ini ia bekerja di tempat yang sama dengan Linia dan bisa berteman dengan wanita itu. pandangannya terhadap Linia adalah seorang wanita yang ogah-ogahan saat ia rayu, selalu menolak ajakannya, gila kerja juga seperti sepupunya Jhonathan.
"Ada baiknya, lo ajak dia makan di tempat yang makanan nya enak. Linia suka banget makan. Setau gua, soalnya kalau gua yang ajak dia selalu nolak. Walaupun gua yang bayar." ujar Dheo bingung.
"berarti dia bisa bedain mana yang baek ama ******." ledek Jhonathan.
"Sial lo!!!"
Dan terjadilah perang saudara di apartemen Jhonathan. Karena Dheo sudah men-choking leher Jhonathan sementara Jhonathan menahan tawa di tengah penderitaan ia sendiri namun lama-lama ia menyadari penderitaannya hingga minta dibebaskan.
Esoknya, Jhonathan bekerja seperti biasa begitu pula Linia juga bekerja dengan baik seperti biasa. Hanya saja, hari ini ia tidak masuk ke ruangan Jhonathan sesering biasa dan berbicara seadanya lalu pergi. Awalnya Jhonathan sedikit khawatir dengan kinerja yang dihasilkan dan ingin menegur Linia. Tapi, jika dipikir ulang sama saja dengan menambah masalah saja. Akhirnya Jhonathan pun membiarkan saja, selama pekerjaannya masih bagus dalam penilaian Jhonathan.
Sudah dua hari ini, Jhonathan dapat melihat Linia yang setiap istirahat tidak pergi ke kafetaria dan lebih memilih membenamkan kepalanya dalam lipatan tangannya diatas meja. Lagi-lagi Jhonathan mengkhawatirkan kinerja Linia. Namun, nyatanya semua masih dalam Kendali. Jika begini, apa yang harus ia khawatirkan? Nyatanya Jhonathan tidak seacuh yang dipikirkan orang-orang. Ia langsung meraih ponselnya dan menghubungi orang yang mungkin bisa membantu.
"Dheo, lo tau makanan yang disukai cewek-cewek?"
[Maksud lo Linia??]
Tanpa perlu dijelaskan Dheo sudah bisa menebak.
"I-iya, begitulah."
[Lo harus tau tipe ceweknya, Ga semua cewek mau makan masakan rumahan alias pemilih, ada juga yang harus merhatiin dietnya, dan ini paling ribet, cewek yang nolak makan malam.]
Jhonathan terdiam. Seribet itukah untuk ngajak makan malam bersama?
[Nah, menurut lo, Linia itu tipe yang mana? Lo bisa tanya ke rekan kerja dia atau ke dia sendiri ya, yang pasti jawabannya terserah... bye!]
Jhonathan memandang layar ponselnya heran. Mungkin ia kurang mengerti apa yang dimaksud oleh Dheo. Terpaksa mengikuti ucapan Dheo, ia pun melihat Linia yang sedang mengobrol dengan rekan kerja di sebelahnya.
Seorang yang rapi.
Nampak begitu sabar saat mengarahkan rekan kerjanya.
Tak jarang tersenyum.
Walau sering melakukan kesalahan, langsung diperbaiki secepatnya.
Suka minum air putih, karena dimeja Linia tak pernah kosong dengan setengah liter air putih didalam botol berwarna merah.
Ia pasti bukan tipe pemilih, pikir Jhonathan.
(flashback off)
Mungkin, masalah pemilihan restoran itu menjadi perdebatan Jhonathan yang dengan dirinya sendiri yang selektif itu.
Tuk
"Terima kasih pak, sudah mentraktir saya makan malam." ujar Linia saat ia baru saja selesai makan dan minum air putih.
"Saya minta maaf, perkataan saya tempo hari pasti menyakitimu." Akhirnya Jhonathan dapat mengatakan maksud dan tujuannya.
Linia tersenyum, hanya untuk meminta maaf harus menyiapkan segala hal semewah ini??
"Tidak apa-apa pak. Bukankah saya sudah bilang kalau yang lalu biar saja? Lagipula, jika bekerja dan memikirkan hal itu, hanya akan mengacaukan kinerja saya bukan? Maka dari itu saya memutuskan untuk tidak terlibat lagi." ujar Linia mencoba meluruskan semuanya.
Ia pikir, sudah cukup. Karena jika terlibat masuk semakin dalam mungkin akan merugikan ia dan Jhonathan. Selagi bisa lepas kenapa tidak? Jhonathan nampak memperhatikan Linia seolah masih menunggu kata-kata Linia selanjutnya. Nampaknya, tebakan pria itu benar.
"...saya mendengar ucapan terakhir bapak terakhir tadi..." ujar Linia sembari menatap Jhonathan lalu tersenyum.
"...memang sudah seharusnya seperti itu bukan?" tanya Jhonathan.
"Ya, memang seperti itu. Bukankah sebagai rekan kerja, kita harus mempercayai rekan kita?" jawab Linia sekenanya.
"Kau mungkin benar."
Linia sedikit merasa bingung.
"Bapak punya masalah dengan hal itu? Sejak awal, bapak adalah seorang yang pilih-pilih. Maaf, bapak pernah keracunan?" tanya Linia penasaran.
Jhonathan tersenyum sembari meminum anggur yang hampir habis itu.
"Lebih hancur dari yang sekarang. Banyak yang terjadi hingga saya bisa kerja di perusahaan saat ini." ujar Jhonathan dengan senyum tipis yang dapat Linia lihat jika itu nampak sangat miris karena menandakan luka dalam dan kekecewaan serta trauma mendalam pada diri Jhonathan.
"Hmm, masa lalu ya sudah berlalu kan?" timpal Linia.
"Ehh?" pria itu menatap Linia tak percaya.
Linia tersenyum.
"Maksudnya, lihatlah bapak sekarang. Sehat dan dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik. Itu berarti bapak sudah melewatinya bukan? Tidak perlu takut lagi kan? Semua orang juga pernah kecewa." jelas Linia.
"Kamu benar, terima kasih."
Linia bingung.
"Untuk apa pak?"
"Ada saja. Kamu tidak perlu tahu." timpal Jhonathan.
Linia mengiyakan saja, daripada harus berdebat di ujungnya. Sudah bersyukur dapat memperbaiki suasana seperti semula. Walaupun Linia masih sedikit canggung dengan Jhonathan karena bagaimana juga wanita itu tidak mau salah langkah dan malah membuat orang terluka.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
᯽ᗩᗬᗴᘂᛙᚤ᯽
awal yang baik
2020-11-25
1
Ayunina Sharlyn
lanjut ya thor
2020-08-21
1