"Ternyata gila kerja..." ujar Linia.
Tok tok tok
"Pak Jho, masih ada yang dikerjakan? Ada yang bisa saya bantu" tanya Linia.
"Tidak, kamu duluan saja." ujar Jhonathan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya.
Linia mengiyakan saja dan langsung pamit pulang.
"Linia... baru mau pulang??" tanya Dheo yang kebetulan berpapasan dengan Linia di lift.
"Ya begitulah, sebenarnya pak Jho masih di ruangannya. Agak tidak enak pulang duluan." ujar Linia pada Dheo.
Dheo nampak paham apa yang dimaksud dengan Linia.
"Maaf ya. Baru hari pertama kau sudah banyak dibuat repot sama Jhonathan." ujar Dheo.
"Kok kamu yang minta maaf? Aneh banget." ujar Linia.
"Ya mau bagaimana lagi, Jhonathan dan aku kan sepupuan. Tentu saja aku juga merasa nggak enak sama kamu yang dibuat pusing sama sikap anehnya itu." ujar Dheo.
Linia nampak tidak percaya akan ucapan Dheo. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Dheo dan Jhonathan adalah sepupu.
"Begitukah? Tidak terduga sekali. Ah iya, kalau begitu aku mau nanya... Kenapa sih pak Jho itu sedikit aneh?" tanya Linia.
Dheo terkekeh.
"Begitulah, kau langsung peka saja Lin. Jhonathan itu dulunya tidak seperti sekarang. dia pernah ditipu sama rekan kerjanya dulu sehingga ia menjadi orang yang tidak bisa mempercayai orang-orang di sekitarnya bahkan aku yang sepupunya sendiri juga tidak mudah dipercayainya. Lama-lama juga kamu akan biasa kok, Lin. Tidak usah khawatir, Jho orangnya baik." ujar Dheo.
Linia hanya manggut-manggut dan nampak berpikir.
"Hmmm, tidak kusangka ya... padahal kan tidak semua orang begitu padanya."
"Ya namanya juga sudah percaya penuh, dia rugi ratusan juta karena rekannya itu. Ya bukan dinilai dari uangnya sih, tapi kepercayaan. Beban kerja yang dipercaya ditanggung bersama, tiba-tiba dilepaskan begitu saja dan membebani Jho. Terlebih, kekasihnya malah meninggalkannya dan pergi bersama rekannya itu."
"Itu sih brengsek. Ya! Kenapa kita malah bergosip sih!? Ih, kalau dengan Dheo, tidak akan lepas dari gossip." ujar Linia risih.
Mendengarnya Dheo hanya tersenyum.
"Kan kamu yang bertanya, aku hanya menjawab." Ujar Dheo membela dirinya.
Nampaknya Linia tidak langsung pulang ke apartemennya dan singgah di supermarket demi membeli stok makanan di rumah yang sudah menipis.
"Dia pernah ditipu sama rekan kerja nya dulu sehingga ia menjadi orang yang tidak bisa mempercayai orang-orang disekitarnya bahkan aku yang sepupunya sendiri juga tidak mudah dipercayainya".
Linia sempat memikirkan ucapan Dheo padanya beberapa saat lalu saat mereka berdua di lift.
"Isshh... kalau begini akan sulit menyesuaikannya..." ujar Linia pada dirinya sendiri saat memilih sayuran pada rak.
Ddrrrtttt.......dddrrrrrrtttt.....
Ditengah-tengah kegiatan nya, Linia harus mendapat telepon dari seseorang. Dengan sigap Linia menaruh asal tomat yang sudah ia tangkap itu ke trolinya lalu menjawab telepon dari orang itu.
"Kenapa Mel? Kakak lagi di supermarket." ujar Linia menjawab telepon itu.
"ya? Siapa? Nenek? Rumah sakit? Dimana?" tanya Linia panik.
Sementara itu, Dheo nyatanya belum pulang dari kantornya. Ia pergi ke dapur kantor untuk menyeduh kopi karena ia harus lembur pada malam ini. entah kenapa, ia teringat akan ucapan Linia yang mengatakan bahwa Jhonathan belum pulang. Iseng, ia pun pergi ke kantor Jhonathan.
"Jho.... Apa kau masih bekerja? Lho? Jho?!" betapa paniknya Dheo saat masuk ke dalam kantor dan menemukan Jhonathan tak sadarkan diri dengan darah mengalir dari hidung Jhonathan.
Linia berjalan cepat saat kakinya sudah masuk kedalam gedung rumah sakit Kasih. Raut wajahnya menggambarkan kecemasan dan kepanikan. Sambil melihat layar ponselnya, Linia nampak sedang mencari ruangan tempat nenek nya dirawat. Langkah Linia pun sampai di sebuah ruangan bernama 'dahlia' dimana ia melihat seorang gadis muda, berdiri di depan ruangan itu.
"Mel, dimana nenek?" tanya Linia pada gadis muda itu.
"Ada di dalam ruangan kak, sama mama." ujar Melia, adik Linia.
Linia pun masuk kedalam ruangan tempat neneknya dirawat. Perlahan, Linia menutup kembali pintu ruangan itu agar tak mengganggu pasien lainnya.
"Ma, gimana keadaan nenek?" Tanya Linia.
"Ya... seperti ini... tidak ada yang harus diberitahu." ujar mama Linia, Wina.
Linia terdiam. Dalam benaknya ia mengerti apa yang dimaksud oleh mamanya. Neneknya mengidap penyakit paru-paru basah dan semakin memburuk karena obat yang dikonsumsi beliau malah merusak fungsi hatinya. Linia terdiam menatap neneknya yang sedang terlelap tenang itu.
Dddrrrtt... ddrrrtt...
Lamunan Linia dikacaukan oleh getaran ponselnya didalam tas. Segera Linia mengangkat telepon itu.
"Ya, Dheo? Ada yang bisa ku bantu?"
Linia terdiam. Ia menatap mamanya dan mamanya menatap Linia bingung. Linia lalu menatap nenek nya yang sedang tertidur.
Bip.
Linia menutup panggilannya.
"Ma..."
"Iya kenapa Lin?" tanya sang ibu.
"Atasan Linia ma, masuk rumah sakit juga dan tidak ada yang mengurusnya." ujar Linia frustasi.
Menyadari keadaan Linia yang sangat tertekan itu, sang mama pun mengerti.
"Pergilah, lagipula nenek ada mama yang jaga. Kasihan juga atasan kamu, memang nya dia di rumah sakit mana?" tanya mama Linia.
"Rumah sakit ini juga ma. Aku tidak akan lama. Kalau ada apa-apa, telepon aja Linianya." ujar Linia lalu pamit pergi dan bergegas menuju tempat yang di maksudkan.
"Lin, kamu dimana sekarang? Jhonathan masuk UGD di rumah sakit Kasih karena kelelahan plus maghnya kambuh. Aku masih banyak kerjaan di kantor, tolong bantuin sekali ini aja. Please."
Tak perlu berlama-lama, beberapa menit setelah Dheo menelepon Linia, wanita itu langsung muncul di hadapan Dheo dengan penampilan yang tentu saja berantakan dan lusuh. Bagaimana tidak, sehabis bekerja Linia bahkan tidak sempat mandi dan pulang kerumahnya.
"Wow Lin, kamu di rumah sakit juga? Siapa yang sakit?" tanya Dheo.
Linia masih diam mengatur nafas dan meminta Dheo untuk menunggu nafasnya kembali teratur.
"Hhnnn.... Keluargaku ada yang masuk rumah sakit. Dimana pak Jho? Apa beliau baik-baik saja?" tanya Linia sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Jhonathan.
"Bagaimana mengatakannya, sebenarnya bukan kali ini saja dia begini. Dia sekarang di ruang rawat inap. Ah iya... ini" ujar Dheo sembari memberikan Linia sekantong kresek berisi makanan.
"Aku tidak mau tahu, kamu harus menekannya agar ia mau makan. Bagaimana pun caranya.Sudah ya, aku pergi dulu." lanjut Dheo. Linia mau tidak mau harus mengikuti, jika tidak ia merasa tidak nyaman pada Dheo yang merupakan teman baiknya. Setelah Dheo pergi, Linia pun pergi ketempat dimana Jhonathan beristirahat. Dapat Linia lihat jika Jhonathan sedang berbaring di bangsalnya, menyadari Linia datang pria itu langsung duduk.
"Pak Jho, saya dapat pesan dari Pak Dheo untuk mengantar makanan ini untuk bapak." ujar Linia.
Jhonathan diam menatap kantong kresek yang dibuka oleh Linia berisi bubur ayam yang menggugah selera makan Linia karena efek belum makan sekaligus lelah.
"Saya pikir, ada baiknya saya pulang saja." ujar Jhonathan.
Baiklah, Linia sebenarnya sudah lelah.
"Setidaknya, bapak harus mengisi perut bapak dengan sesuatu dulu sebelum pulang." ujar Linia.
"Saya tidak suka bubur."
Linia hampir saja terbawa emosi.
"Jadi bapak mau makan apa? Nanti saya pesankan." ujar Linia masih memperjuangkan kesabarannya.
"Saya terbiasa makan masakan rumahan."
Linia tidak habis pikir, bagaimana masak di rumah sakit?
"Sampai segitunya bapak. Memangnya kenapa dengan makanan yang dijual?" tanya Linia.
"Aaya tidak suka." jawaban yang sederhana dari seorang Jhonathan.
Linia masih sabar.
"Sekali ini saja, bapak makan saja bubur ini. Aman kok, tidak ada yang berbahaya..." ujar Linia masih mencoba meyakinkan Jhonathan.
"Bagaimana saya bisa memercayai kamu?" tanya Jhonathan.
"Tentu saja bapak bisa percaya... Apa perlu saya makan dulu?" tanya Linia.
"Tentu, silahkan kamu duluan yang makan."
"Tapi, apa bapak mau memakannya setelah saya memakannya?"
"Maka saya harus lihat, apa kamu masih hidup atau tidak setelah memakannya, baru saya memakannya." jawab Jhonathan enteng.
Murka Linia sudah di ujung ubun-ubun dan siap meledak. Baru kali ini ia harus berhadapan dengan seorang pria dewasa yang cerewat minta ampun. Mau tak mau, Linia pun menyuapi bubur itu kedalam mulutnya dan Jhonathan memerhatikan reaksi Linia selanjutnya.
"Tidak ada yang aneh. Saya masih hidup dan baik-baik saja. Bapak sudah janji tadi. Sekarang giliran bapak." ujar Linia sembari memberikan langsung mangkuk itu pada pangkuan Jhonathan dan tidak menerima kembali.
Jhonathan sedikit kaget akan sikap yang Linia berikan padanya.
"Kenapa bapak diam, ayo dimakan pak. Tidak ada apa-apa di situ selain bahan-bahan yang wajar." ujar Linia santai.
Akhirnya, Jhonathan pun dengan terpaksa makan makanan yang Linia bawa. Karena jika ia tidak memakannya, entah kenapa aura yang Linia keluarkan begitu tidak enak. Walaupun Linia adalah bawahannya.
Tiga hari kemudian.
"Ya? Linia ijin? Kenapa?" tanya Jhonathan saat seorang karyawati memberi tahu bahwa ia akan menjadi sekretaris sementara Jhonathan.
"Ada keluarga bu Linia yang meninggal pak. Maka dari itu, saya diminta beliau untuk menggantikannya." jelas wanita itu pada Jhonathan.
Jhonathan diam dan mengerti. Jika sudah seperti itu perihal ijinnya Linia, ia bisa apa. Terlebih untuk beberapa hari ini, ia hanya mengandalkan Linia dan dengan sifatnya yang sulit memercayai orang lain, tentu seperti merasa mulai dari awal lagi.
"Ah iya pak, Bu Linia ada berpesan untuk bapak, dia bilang silahkan cek email bapak, mungkin beliau mengirimkan hal-hal pentin untuk bapak." ujar Karyawati itu pada Jhonathan lalu pamit pergi.
Jhonathan awalnya bingung lalu memeriksa email yang masuk di laptopnya. Tanpa ia duga, ternyata Linia telah menyelesaikan pekerjaannya yang seharusnya hari ini wanita itu kerjakan. Padahal dengan keadaannya yang pasti tertekan saat ini membuatnya sulit bahkan tak sanggup menyelesaikan pekerjaannya. Disisi lain, Linia berusaha mendapatkan kepercayaan sang atasan padanya. Walaupun ia kini tengah dirundung duka. Namun, logikanya semua orang juga akan meninggal termasuk orang-orang yang dikasihinya dan bahkan dirinya juga.
Setelah neneknya dimakamkan, Linia tidak pulang ke apartemennya dan masih menetap dirumah keluarga besarnya. Mata wanita itu jelas bengkak karena menangis, stamina nya juga terasa habis. Linia duduk bersama keluarga nya yang lain di ruang tengah dan menceritakan apa saja yang patut diceritakan demi menghibur hati.
"Lin, siapa pacarmu Lin... kok nggak pernah dibawa ke rumah sih?" tanya Tante Dewi, kakaknya mama Linia.
Mendengar pertanyaan konyol itu membuat Linia kebingungan.
"Tante, Linia kan belum ada pacar." ujar Linia dengan suara seraknya.
"Linia itu paling tidak bisa nyari hal yang begituan, kalau masalah kerja, ia nomor satu." sambut sang ibu dari dapur sembari membawa nampan berisi air kopi untuk keluarga yang berkumpul.
Linia hanya bisa tersenyum geli mendengar tuturan keluarganya yang menanyakan kapan ia punya pacar, kapan ia menikah, belum lagi dibandingkan dengan sepupu nya yang sudah menikah dan punya anak. Terlebih lagi di bilang kurang pergaulan. Menyakitkan memang. Akan tetapi, memikirkan tanggung jawab kedepannya tidak seenak membuat anak. Lagi pula umurnya belum lah sampai 30-an. Tidak separah itu juga pergaulannya, ia tidak ingin segala urusan terburu-buru terlebih Linia pemilih sekali jika menyangkut soal pasangan atau semacamnya.
"Besok udah masuk kerja kak?"
Linia yang awalnya hanya melamun diteras rumah harus dikejutkan dengan kedatangan sepupu laki-lakinya yang nampaknya lebih muda darinya.
"Ya iya lah... Doni, gimana kuliah kamu? Lancar?" tanya Linia.
"Heheh... seperti biasa kak... sebentar lagi kan ujian. Jadi banyak tugas." ujar Doni.
Linia mengangguk paham lalu kembali melamun hingga Doni pun nampak penasaran dengan apa yang kakak sepupunya itu pikirkan.
"Mikirin apa sih kak? Diam mulu dari tadi." ujar Doni.
"Enggak mikirin apa-apa kok. Cuma capek aja, besok udah kerja dan kembali kekesibukan masing-masing." ujar Linia.
"Mikirin desakan keluarga ya..." timpal Doni iseng.
"Itu sih tidak kakak pikirkan sama sekali, Don. Masih banyak yang harus kakak pikirin." jelas Linia risih.
"Kakak sih, orang nya pemilih amat. Amat aja ngga pilih-pilih." ujar Doni.
Linia jadi kesal juga dengan sepupunya itu.
Esoknya, Linia sudah bisa kembali ke kantor. Walaupun masih ada sisa kesedihan di dalam hatinya. Ia tetap harus bekerja agar tidak terus ditanya kapan nikah sama keluarganya sendiri.
Tok tok tok
"Selamat pagi pak Jho. Saya membawa surat masuk untuk bapak..." ujar Linia sembari masuk lalu meletakkan sebuah amplop di atas meja Jhonathan.
"Lin, bisa tunggu saya selesai membaca surat ini?" tanya Jhonathan.
Linia pun mengikuti saja ucapan Jhonathan lalu duduk di kursi yang tersedia.
"Gimana kabar kamu?" tanya Jhonathan pada Linia sembari membuka surat.
Linia awalnya merasa aneh karena tumben sekali Jhonathan mengajaknya berbasa-basi.
"Puji Tuhan baik pak. Bagaimana dengan bapak? Pekerjaan saya yang kemarin apa ada masalah?" tanya Linia kembali.
"Saya juga baik. Tidak ada masalah dengan pekerjaan kamu kemarin... ah iya, ini undangan ini, kamu ikut saya ya." jawab Jhonathan.
"Eh? Kemana pak?" tanya Linia.
"Ulang tahun direktur patner perusahaan kita." jawab Jhonathan sembari menunjukkan undangannya pada Linia.
Linia sempat berpikir sejenak. Jika dipikir-pikir wajar-wajar saja, ia adalah sekretaris Jhonathan dan ini kurang lebih adalah undangan berbau bisnis.
"Saya akan jemput kamu jam 18:00. Saya tidak suka bertele-tele, jadi jangan sampai kamu belum bersiap saat saya sudah ada di depan rumahmu."
Jam dinding apartemen Linia sudah menunjuk pukul 17:40 yang berarti 20 menit lagi Jhonathan akan menjemputnya. Linia sendiri sudah siap dengan gaun batiknya yang sepanjang lutut dan dandanan minimalisnya seperti biasa. Ayolah... untuk acara seperti ini, untuk apa Linia berdandan lama-lama?
Ddrrrttt.... Ddrrttt...
Lamunan Linia dikejutkan oleh bunyi dering ponselnya yang mana nama 'Pak Jho' terpampang di layarnya. Dengan sigap Linia langsung mengangkat panggilan itu.
"Ya? Ada apa pak?"
[Linia, kamu dimana?? Saya sudah di basement apartemen mu.]
Linia tentu kaget. Kenapa atasannya menjemputnya lebih cepat dari waktu yang dijanjikan?!
"Oke pak. Saya segera kesana. Tunggu sebentar." Linia langsung menutup telepon itu dan langsung bergegas keluar dan mengenakan heels yang kira-kira nyaman dikenakan.
Tak lama bagi Jhonathan menunggu Linia. Selang satu menit lebih Linia sudah nampak di penglihatannya dengan jalan yang terburu-buru.
"Selamat sore pak, sudah lama tiba pak?" tanya Linia saat masuk kedalam mobil Jhonathan.
"Sore juga... belum lama juga." ujar Jhonathan sembari memutar setir.
Linia terdiam dan mengatur napas. Jarang-jarang ia berlari menggunakan heels.
"Kamu habis marathon?" tanya Jhonathan.
Linia terkekeh. Bisa-bisa nya Jhonathan bercanda dengannya, tumben.
"Tidak, saya hanya jalan santai. Bapak bilang, jam 18:00 baru dijemput." ujar Linia pada Jhonathan.
"Ah... sebenarnya sebelum kesini saya mau ambil laundry saya, tapi karena tempat laundrynya tutup jadi saya langsung jemput kamu saja. Lagi pula, lebih cepat lebih baik. Belum lagi dengan macet di jalanan." Ujar Jhonathan sembari sibuk menyetir di jalanan sore yang cukup ramai karena sudah memasuki jam pulang kantor.
"Ah iya... nanti, kalau ada yang nanya kamu siapanya saya, jawab aja teman saya. Jangan bilang kalau kamu sekretaris saya ya." ujar Jhonathan tiba-tiba.
Linia tentu sedikit kaget dan heran. Kenapa harus begitu?
"Memangnya kenapa pak?"
"Juga, jangan panggil saya bapak saat di acara nanti. Panggil aja Jho atau Jhonathan."
"Hmm iya pak. Tapi kenapa begitu? Saya kan merasa tidak enak sama bapak." tanya Linia heran.
Jhonathan diam sebentar lalu melirik Linia sejenak.
"Nanti saya jelaskan. Ikuti saja ucapan saya, ini tidak akan merugikanmu." ujar Jhonathan terdengar mencurigakan bagi Linia.
"Eskrim." ujar Linia.
"Apa?" tanya Jhonathan.
"Bapak harus traktir saya eskrim. Anggap saja itu bayarannya, jadi bapak tidak perlu menjelaskannya lagi pada saya jika memang tidak akan berdampak apa-apa kedepannya." jelas Linia sambil menunjukkannya senyum usilnya pada Jhonathan.
"Baiklah, tapi bantu saya ya nanti."
"Sip"
Tidak lama setelah pembicaraan konyol Linia dan Jhonathan di mobil. Tibalah mereka di sebuah hotel bintang lima, tempat acara ulang tahun direktur patner dari perusahaan tempat Jhonathan dan Linia bekerja. Setelah menyerahkan kunci mobilnya pada petugas, Jhonathan dan Linia langsung melangkah masuk kedalam aula yang sudah di dekor semewah mungkin. Linia yang jarang-jarang melihat pemandangan seperti ini tentu takjub. Untuk seukuran staf biasa di kantor, rasanya agak aneh jika menghadiri acara semewah ini dan diisi oleh para elit perusahaan.
"Lho, Jho? Linia? Kalian berdua datang??"
Linia dan Jhonathan harus di buat kaget dengan kemunculan Dheo bersama seorang wanita yang nampak saling bergandeng itu.
"Dheo? Kebetulan sekali... Hey, apa itu kekasihmu?" tanya Linia usil dan sambil bisik-bisik pada Dheo.
Namun pria yang ditanya malah terkekeh geli.
"Nampaknya Jhonathan juga sama sepertiku." ujar Dheo sembari menatap Jhonathan. Yang ditatap nampak tidak peduli.
"Ayo Linia... kita cari tempat duduk." ujar Jhonathan segera pergi dari hadapan Dheo yang masih menggodanya.
"Semangat Linia..." ujar Dheo pada Linia yang sudah menyusul langkah Jhonathan.
"Pak..."
"Jhonathan." ujar Jhonathan memotong ucapan Linia.
"Ah, iya... Itu maksud saya, apa yang di maksud Dheo tadi pa- Jho? Sepertinya tadi bukan kekasihnya Dheo..." ujar Linia.
Jhonathan nampak tidak berminat menjawab pertanyaan Linia dan memandang lurus kedepan panggung.
"Katanya tidak akan bertanya?" tanya Jhonathan.
Linia tersenyum.
"Nyatanya saya penasaran."
Pria itu menghela napasnya berat.
"Kau tahu salah satu ucapan atau pertanyaan terberat di umur yang dewasa ini?" tanya Jhonathan.
Linia nampaknya tahu.
"Kapan nikah/ kan?" secara kompak Linia dan Jhonathan menjawab dan berucap.
Linia menarik senyumnya sementara Jhonathan menarik senyum tipis tak kasat mata.
"Haahh... apa karena itu, anda meminta saya untuk hadir bersama anda ke acara ini?" tanya Linia.
Jhonathan mengangguk.
"Kurang lebih begitu. Dheo juga sama, entah wanita mana lagi yang ia sewa untuk menemaninya malam ini." jawab Jhonathan. Linia akhirnya sedikit paham. Hanya dari satu buah pertanyaan, nyatanya malah membuat Jhonathan sedikit nekat dan Linia tidak tahu jika Jhonathan senekat ini.
"Tapi... apa tidak masalah anda membawa saya kesini hanya untuk memenuhi pertanyaan itu nanti?" tanya Linia.
Jhonathan melirik Linia yang duduk di sebelahnya, diletakkannya gelas berisi anggur di meja.
"Saya hanya memintamu untuk menjawab nanti sebagai teman, tidak lebih." jawab Jhonathan santai.
Linia mengangguk paham. Walau bagaimana pun juga, tetap saja aneh. Seharusnya Jhonathan mengajak seseorang yang special baginya untuk menemaninya datang. Linia pun merasa bahwa cepat sekali mereka akrab sampai harus begini.
"Linia, ayo berdiri..." ujar Jhonathan menyadarkan Linia dari lamunannya. Nampaknya ada yang ingin menghampiri Jhonathan maka beliau mengajak Linia untuk berdiri dan menyambut kedatangan orang itu.
"Jho, mama kira kamu enggak datang di ulang tahun paman Her." ujar seorang wanita paruh baya itu pada Jhonathan. Karlina, nama ibu Jhonathan
Jhonathan nampak tersenyum dan memeluk wanita yang menjadi ibunya itu. Sementara Linia masih diam memerhatikan lalu, tanpa basa basi, Linia ikut saja menyalim mamanya Jhonathan sambil memberi salam selamat malam.
"Ehem... Jho, kamu tidak kenalin ke mama?" tanya sang ibu pada Jhonathan.
Linia pun langsung di senggol sedikit oleh Jhonathan.
"Ah... selamat malam tante, nama saya Linia Bernadetha teman nya p- Jhonathan" jelas Linia.
Ibu Jhonathan nampak mengiyakan saja. Tak lama, Jhonathan nampak dipanggil oleh seseorang dan menghampiri orang itu. Kini hanya Linia dan ibu Jhonathan dengan suasana yang Linia rasa canggung.
"Linia tidak usah tegang-tegang amat... ini cuma acara ulang tahun paman nya Jho." ujar ibu Jhonathan saat menyadari betapa tegang nya Linia di acara ini.
"Iya te, saya cuma tidak biasa ketempat ramai seperti ini." jawab Linia.
"Ngomong-ngomong, Jhonathan tidak merepotkan mu kan? Kamu tahulah betapa pilih-pilihnya dia itu."
Linia tidak menyangka akan membicarakan sifat pilih-pilih Jhonathan bersama sang ibu.
"Haha... tidak juga kok te, awalnya memang agak dibuat bingung saya... tapi, kalau dibicarakan kembali. Saya rasa bisa bekerja sama dengan beliau." ujar Linia.
Ibu Jhonathan nampak tersenyum merespon ucapan Linia terkait Jhonathan.
"Tante senang kalau Linia bisa memahami Jhonathan."
"Hehe.... Tante, tidak masalah."
"Ehem... bicara apa? Aku ada dengar namaku disebut?"
Ternyata Jhonathan sudah berdiri dibelakang Linia dan Ibunya.
"Bicarain kamu lah, bicarakan tentang sifatmu yang pilih-pilih itu. Ah iya, tante tinggal dulu... jangan lupa sapa pamanmu ya. Ajak Linia juga... kasihan kalau dia ditinggal." ujar Karlina lalu pergi menyambut tamu yang lain. Linia tersenyum mengantar kepergian Karlina hingga membuat Jhonathan menatap Linia aneh.
"Kamu mudah akrab dengan orang baru ya." ujar Jhonathan.
Linia menatap Jhonathan dan menyetujui ucapan pria tampan itu.
"Saya anggap itu pujian... terima kasih." timpal Linia.
"Lalu, apa yang kalian bicarakan tadi? Kamu tidak bicara yang aneh-aneh kan?" tanya Jhonathan memastikan.
Linia tersenyum, apa yang Jhonathan maksud? Padahal ia hanya basa basi dengan ibu Jhonathan saja. Tapi wajah penasaran Jhonathan membuat Linia tersenyum geli.
"Saya tanya, Kok kamu malah diam saja?"
"Ehe... tidak ada apa-apa, bapak kan tahu, kalau wanita sudah berbicara... apa saja jadi bahan pembicaraan." ujar Linia.
"Haah... baiklah. Setidaknya kamu masih bisa diajak kerja sama." ujar Jhonathan menyerah.
"Masih penasaran pak?" tanya Linia usil.
Jhonathan menatap Linia sebentar lalu berlalu begitu saja. Linia hanya terkekeh lalu menyusul langkah Jhonathan.
"Jho!! Kamu datang juga... wah! Wah! Nggak sendiri pula." ujar seorang pria paruh baya menyambut kedatangan Jhonathan. Linia rasa pria paruh baya itulah pemilik pesta ini.
"Selamat ulang tahun paman." ujar Jhonathan sembari memeluk sebentar pamannya itu.
"Jhonathan, tante kira kamu nggak bakalan datang." timpal seorang wanita paruh baya yang Linia yakini adalah istri dari paman Jhonathan itu.
"Ya... begitulah te. Lin, ini paman Ken dan tante Liska... paman, tante, ini Linia, temannya Jho." ujar Jhonathan memperkenalkan Linia pada sepasang suami istri itu.
Linia menyalami satu persatu dan memperkenalkan dirinya.
"Ah iya... kau tahu Dheo bukan? Mereka berdua adalah ayah dan ibu Dheo." jelas Jhonathan.
Linia nampak tak percaya. Dheo yang merupakan teman bercandanya sehari-hari merupakan seorang anak orang kaya? Linia tidak pernah menduganya sebelumnya.
"Benarkah? Salam kenal tante, om." ujar Linia.
"Hmm tante paham kok kalau kamu kaget. Dheo itu memang anak yang sulit ditebak..." ujar Liska pada Linia.
Linia nampak setuju akan hal itu. Belum lama, orang yang dibicarakan malah muncul tiba-tiba dihadapan kumpulan itu.
"Nampaknya pembicaraan kalian asyik sekali? Boleh bergabung?" tanya Dheo tiba-tiba.
"Kami sedang membicarakan betapa nakalnya kamu, nak." ujar sang ibu mengundang gelak tawa dari sekitar.
"Hey, setidaknya aku tidak merugikan siapapun. Juga Lin, dan Jho... aku tidak tahu kalau kalian berdua sedekat ini." ujar Dheo sembari menatap Linia dan Jhonathan usil. Seperti yang dikatakan ibunya, Dheo sangat usil dan nakal. Ia malah memancing Linia dan Jhonathan.
"Ehem, memang seperti ini juga bukankah kamu membawa seseorang tadi? Tapi, kenapa kamu sendirian sekarang?" tanya Linia.
Linia bukan tidak mengerti akan sifat Dheo dan mencoba menyerang balik sepupu Jhonathan itu hingga membuat Dheo sedikit terkejut akan perlawanan yang Linia berikan.
"Eh? Dheo bawa teman? Kenapa tidak dikenalkan sama mama dan papa?" tanya Liska penasaran. Menanggapi itu Dheo hanya tersenyum simpul.
"Ia sudah pulang tadi ma, karena pekerjaannya banyak ia tak sempat menyapa mama dan hanya menitip salam." Jelas Dheo sembari menyikut Linia namun Linia malah berpindah tempat dan berlindung di belakang Jhonathan.
Tak lama Linia dan Jhonathan ada di pesta itu. Setelah acara tiup lilin, Jhonathan segera membawa Linia pergi dari pesta dan menepati janjinya mentraktir Linia eskrim.
"Terima kasih pak, eskrim nya... hehe..." ujar Linia senang sembari menyambut eskrim rasa stroberi itu dengan mata berbinar.
"Iya sama-sama... saya juga berterima kasih karena kamu mau menemani saya." ujar Jhonathan lalu memakan eskrim rasa coklatnya.
Kini mereka berdua bersantai disalah satu kedai eskrim. Malam-malam memakan eskrim memang sedikit aneh Jhonathan rasa, terlebih karena sifat selektif nya itu. Karena Linia yang memintanya untuk menyantap eskrim juga, mau tidak mau Jhonathanlah yang harus menentukan tempat yang dapat ia percayai untuk membeli eskrim. Bahkan awalnya Linia sempat jengah dengan sifat selektif bos nya. Tapi, mau bagaimana lagi. Setelah dipikir, tempat nya tidaklah buruk, sebuah café dengan nuansa hangat, dengan langit-langit transparan membuat Linia dapat melihat pemandangan langit malam dari dalam café tanpa harus merasa bising dengan suasana luar. Benar-benar lokasi yang terasa privat.
"Ah... iya, saya mau bertanya sama bapak." tanya Linia tiba-tiba.
Jhonathan yang awalnya sibuk dengan ponselnya langsung mengalihkan pandangan nya pada wanita didepannya.
"Ya?" tanya Jhonathan.
"Kenapa bapak mengajak saya? Bapak bisa saja mengajak teman bapak yang lain?" tanya Linia iseng.
"Hmm karena saya tidak punya teman. Itu saja." ujar Jhonathan singkat.
"Lalu, kenapa bapak tidak berangkat sendiri saja?"
Jhonathan menatap Linia heran.
"Kamu banyak tanya ya..."
Linia sedikit kaget dengan jawaban Jhonathan yang bisa terdengar kesal itu.
"Hehe.. maaf pak, saya hanya bertanya. Tidak dijawab pun tidak apa-apa." ujar Linia sembari melanjutkan menghabiskan eskrimnya itu sembari mengagumi keindahan langit malam yang bertaburan bintang.
Linia kembali menatap Jhonathan yang ada di hadapan nya itu. Wanita itu benar-benar masih tidak menyangka ada orang sepemilih Jhonathan. Padahal menurut Linia, Jhonathan memiliki wajah yang cukup manis dan menarik. Sifatnya yang ramah dihadapan semua orang membuat orang lain bisa jatuh dengan mudah padanya. Hanya saja, mungkin karena sifatnya yang lembut itu dan pemilih itu, kadang membuat nya terlihat manja di mata Linia. Ya... walaupun awalnya pekerjaan Linia hampir dirampas habis oleh pria dihadapannya. Jika Linia tidak sedikit keras pada Jhonathan, pria itu bisa saja mati kelelahan karena merampas habis pekerjaan milik Linia.
Hanya satu hal yang Linia pikirkan saat ini, 'bagaimana caranya mendapatkan kepercayaan dari seorang Kristo Jhonathan?'. Karena ini demi kepentingan hasil kerja dan karir Linia kedepannya.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments