SARAPAN PAGI

Niat banget numpang sarapan, eh maksudnya memenuhi undangan sarapan dari Ibu. Pukul 6 teng, udah pasang senyum pepsoden saat aku membuka pintu. Penampilannya yang selalu mempesona berbanding terbalik denganku yang hanya mengenakan daster micky mouse warna merah dan rambut yang aku ikat asal.

"Cantiknya." Entah pujian atau sindiran yang pasti aku langsung melengos. Tak kukira Tristan datang sepagi ini. "Belum mandi ya?"

"Belum lah. Orang habis shubuh tidur lagi."

Tristan mengelus dada, "Astaghfirullah, anak gadis."

"Mau makan sekarang? tapi aku mau mandi dulu."

"Ibu mana emang?"

"Di ruang makan."

"Boleh deh langsung ke sana."

Aku mengantar Tristan ke ruang makan dulu, sudah ada Ibu yang masih berkutat dengan sarapan, dibantu Bik Mar, ART keluarga kami.

"Bu, hoyang kayah numpang sarapan."

"Hush, Ibu kan yang ngundang. Duduk Nak Tristan." Beda lah yah perlakuan pada tamu dan anak sendiri, manis banget, ramah. Aku membiarkan Tristan duduk manis di meja makan, sesekali Bik Mar ikut menimpali guyonan ala ibu dan Tristan yang menurutku garing. He..he..

Setengah jam berlalu, aku sudah memakai pakaian kantor, setelan blazer dan celana panjang kain, tak lupa make up minimalis dan rambut yang kucepol rapi.

"Halah-halah, tatapan Den Tristan." Bi Mar membuat pacarku salah tingkah. Spontan Tristan menunduk, menyembunyikan rona malu.

"Cantikkan?" ujarku semakin menggoda, tak lupa menoel lengannya yang terbalut jas.

"Cantik sih cantik, tapi percuma gak sholehah," cicit Ibu. Nah kan mulai deh buka aib anak sendiri. "Ayo, Nak Tristan silahkan dimakan." Beuh..nadanya ramah sekaleeeee, bisa gitu ya, hanya hitungan detik loh.

"Iya, Bu. Makasih." Tristan pun mulai mengambil nasi.

"Tuh kan gak sholehah. Sama calon laki itu diambilin, Ta. Astaghfirullah anak Ibu."

Aku nyengir saja, sedangkan Tristan memaklumi.

"Sini, aku layanin kamu."

"Nafkah batin?" bisik Tristan mencari kesempatan jahil kepadaku karena Ibu mengambil sambal pecel yang baru selesai diseduh.

Apes, tatapan tajamku pada Tristan dikira aku gak mau mengambilkan nasi dan lauk oleh Ibu. Alhasil omelan memojokkan kuterima dengan kesal.

"Yakin kamu mau punya istri modelan kaya' gini?"

Aku tahu, ini adalah pertanyaan serius meski nada ibu bercanda.

"Yakin, Bu. Lama kelamaan, Ata pasti tahu harus melakukan apa sebagai istri sholeha."

Duh....Abang Tristan...bikin Ata klepek-klepek nih.

"Nikah itu gak sehari dua hari loh, siap sabar ketemu modelan kaya' dia?"

"Siap, Ibu."

"Udah berani mengambil tanggung jawab Ibu sepenuhnya?"

Ah..aku menghentikan sarapanku, menatap Ibu lalu Tristan. Ia juga menatapku lalu menjawab dengan yakin. Aku menangis saudara terharu. Ibuku yang single parent, membesarkan dua orang anak. Abangku, Akmal dan aku. Beliau begitu gigih membangun usaha catering untuk kehidupan kami, hingga tak terasa putri sulungnya siap dipersunting orang.

"Kamu mau nikah kapan?"

"Hah?" disodori pertanyaan seperti itu seketika ngeblank. "Aku terserah ibu aja."

"Lah kok, Ibu. Yang mau nikah kamu, Mbak. Masa' Ibu mau nikah sama Tristan, gimana sih."

"Ya maksud aku, ibu sanggupnya kapan punya gawe?"

"Dua bulan lagi gimana, tepat sama pindah tugas Abang kamu."

"Kalau besok bagaimana, Bu?"

"Hadeh, kebelet Pak?" sindirku.

"Maksudku, kita nikah dulu saja. Resepsi menunggu abang datang."

"Siri maksud kamu? BIG NO."

Kulihat Tristan melongo dan mengerjapkan mata, kaget mungkin dengan suaraku sedikit meninggi.

"Ingat ya, Mas. Aku gak akan pernah mau kamu nikahi siri. Rugi di aku dong ya."

Ibu hanya menggelengkan kepala, sedangkan Tristan mengelap bibirnya dengan tisu. Hah...pasti gak minat sarapan lagi.

"Masih mau?" ibu kembali menanyakan hati Tristan.

Bos gantengku itu hanya tersenyum dan mengangguk. "Lucu anak Ibu ini," ucap Tristan hendak merangkulku, untung saja reflekku bagus, bisa menangkis tangannya.

"Nah...Nah...ibu setuju kalau kalian nikah besok." Yah..kepergok deh kalau kita emang pernah skinship.

"Ibuuuuuuuu."

Keputusan final, aku dan Tristan menikah satu bulan lagi. Tak perlu lamaran, langsung nikah dan resepsi saja agar pengeluaran untuk nikah tidak terlalu banyak.

"Mahar, resepsi gak perlu lah budget besar, yang penting uang bulanan gede," cicitku menolak resepsi mewah. Namun, tetap saja aku kalah. Mama Tristan dan neneknya mana mau resepsi sederhana. Yah wajar juga sih, keluarga sultan apalah diriku yang hanya cinderella, tinggal duduk manis dan tanpa mengeluarkan sepeser pun.

"Mama dan Nenek gitu pernah mikir gak sih, Mas. Pernikahan mewah kayak gitu atas permintaanku?"

aku hanya ingin tahu, khawatir dianggap matre.

"Kenapa mikir gitu?"

"Ya kan aku dari keluarga biasa, kamu keluarga sultan loh."

"Ouh ...terus mama dan nenek nanti bakal benci kamu, nanti kalau kamu tinggal di rumah utama bakal jadi upik abu. Disuruh ini itu lalu diusir gitu?"

Bodohnya aku, mengangguk juga. Tristan tertawa, mengecup pipiku kemudian. "Sinetron banget sih."

"Takut lah, gap status kita tuh jauh banget."

"Dengar ya Sayang, mama dan nenek juga pernah kok merasakan hidup susah. Keluargaku bukan keturuan orang kaya, tapi kakek berusaha memutus rantai keluarga kita dengan usaha dan kerja keras. Membenahi keluarga sedikit demi sedikit, dan akhirnya keluarga besar pun bisa menjadi sultan sesuai yang kamu pikirkan."

"Sikap seperti ini yang bikin aku jatuh cinta sama kamu, Mas."

"Satu lagi, aku memilih kamu karena kamu pilihan hatiku. Jangan pernah insecure pada harta ya. Harta bisa dicari, kalau hati yang klik susah dicari."

"Pagi-pagi gombal." Dan si ganteng pun terkekeh.

******

Lagi-lagi di parkiran, Evelyn dan Pak Dar makin berani saja menunjukkan kedekatan mereka, ya meski tak lagi berciuman tapi pandangan puja dari mata keduanya cukup kentara. Tristan sengaja memarkir mobilnya di samping mobil Pak Dar. Begitu membuka pintu mobil, Tristan berdehem.

"Pagi, Pak Tristan," sapa Evelyn dengan ramah.

"Pagi, Pak Tristan," tak lama Pak Dar juga menyapa. Senyum keduanya terkesan berani perang, dan tak takut seperti kemarin.

"Segera masuk, jangan lupa check lock."

Kita pun menjauhi mereka, aku tak menyapa. Hanya mengangguk dan tersenyum saja.

"Kenapa kita selalu kepergok sih?" Pak Dar frustasi. Nilai minus di mata Tristan sangat mempengaruhi penilaian kinerja dan bisa saja menggagalkan promosi jabatan.

"Aku yakin, pacar si bos yang mencurigai kita." Evelyn tak kalah kesal juga. Selama ini, ia menganggap Ata anak polos, cuek dan tak mau mencampuri urusan orang lain, tapi sekarang sosok Ata berbeda. Ia seakan menjadi mata-mata untuk menjatuhkan karier Evelyn. Tapi untuk apa?

"Kamu ada masalah sama Ata?" tanya Pak Dar kemudian.

"Enggak, tapi mungkin saja dia takut aku bakal goda si bos."

Pak Dar menoleh ke arah Evelyn, "Jangan bilang kamu mau menggoda bos juga. Bagimu aku kurang?"

Evelyn tersenyum sinis, membalas tatapan mata Pak Dar, "Apaan sih, main sama kamu lebih bersensasi. Bikin selalu deg-deg. Hubungan kalau gak ada tantangan kurang greng tahu."

Pak Dar tersenyum mesum, "Kita lanjutkan nanti malam, aku tunggu di apartemenku." Evelyn hanya mengangguk dan memberikan jari jempol, tanda setuju.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!