Aku terpaksa pulang lebih awal dari biasanya, Tristan cukup emosi sepeninggal Pak Dar dan Evelyn, terlebih Evelyn menuduh dirinya juga kelewat dewasa dalam berpacaran. Pengen marah sih, tapi aq sudah berjanji tidak ikut campur. Manik mataku saja yang kadang melotot ataupun melirik sinis pada Evelyn. Oke mulai hari ini aku menetapkan 'perang dingin' pada Evelyn, waspada saja bila suatu hari dia melakukan 'penyerangan'.
"Tumben udah pulang, Mbak?" tanya Ibu begitu membuka pintu rumah.
"Disuruh pulang sama bos," kataku.
"Jangan keseringan pulang awal, gak enak sama karyawan lain. Mentang-mentang kamu pacarnya si bos."
Selalu begitu nasehat ibu, padahal aku tidak pernah sekalipun merasa bangga bisa pacaran sama bos. Bagiku kerja ya kerja, tugasku juga beres bahkan sebelum deadline pun sudah aku setor. Jam masuk? meski Tristan sering jemput aku, tapi aq selalu datang di kantor maksimal jam 7.45, sadar dirilah aku juga karyawan. Tak mau dianggap istimewa meski Tristan selalu bilang santai saja kan Nyonya bos.
"Enggak, Bu. Kita tadi ada masalah sama seseorang, nah bikin emosi Mas Tristan. Aku yang diam aja eh keseret juga. Daripada suasana gak kondusif di kantor, Mas Tristan ajak aku pulang."
"Masalah apa?" tanya beliau, mengernyitkan alis.
Tak kujawab langsung, aku membasahi kerongkongan terlwbih dulu dengan air dingin. "Masalah pribadi."
"Iya, apa Mbak?"
"Ada pasangan selingkuh kepergok Mas Tristan di parkiran, berbuat mesum juga," jawabku hati-hati.
"Bukan kamu kan?"
Spontan lubang hidungku membesar, selalu deh Ibu menuduhku kalau ada berita buruk. "Bukan."
"Lalu?"
"Mereka langsung diintrogasi sama Mas Tristan, sebenarnya kabar perselingkuhan mereka sudah santer terdengar di kalangan karyawan. Hanya saja, Mas Tristan diam saja toh gak merugikan kantor. Tapi..saat kita memergoki di parkiran, Mas Tristan marah, gak mau lah tempat kerjanya dijadikan tempat mesum begitu."
"Kalau kamu?"
"Aku kenapa, Ibu?" gemas rasanya disu'udzoni terus.
"Ya kamu dan Tristan berbuat mesum gak? bisa jadi anak buah pasti meniru atasannya dong." Tuh kan kesimpulan dari mana coba. Aku hanya mengelus dada. Meskipun aku dan Tristan sekantor tapi gak tiap jam bertemu kali, kita juga masih waras untuk tidak bermesraan di lingkungan kantor.
"Idih, suudzon terus sama anaknya sendiri."
"Makanya gak usah pacaran, langsung nikah. Tunggu apa lagi sih."
"Nikah tuh butuh kesiapan mental bu."
"Pacaran juga butuh kesiapan mental juga kan? coba apa yang membuat kalian tidak segera menikah?"
"Kok jadi bahas Ata sih, Bu?" tak terima rasanya ditagih menikah terus. Gak ibu gak mamanya Tristan, nikah mulu yang dibahas.
"Mbak, segera menikah itu menjauhkan kalian dari zina. Toh keluarga Tristan sudah menerima kamu."
"Ck...meskipun menikah juga masih bisa zina, Bu." Yang kumaksud kasusnya Evelyn.
Ibu spontan memukul lenganku, "Hush...gak boleh ngomong gitu. Kamu atau Tristan yang punya niatan berzina setelah nikah."
Aku memutar bola mata malas, "Kenapa sih selalu menjurus ke hubunganku dan Mas Tristan?" kataku cemberut.
"Orang kalau cerita pakai inisial temanku atau temannya temanku atau si X, sebenarnya itu menceritakan dirinya sendiri," itulah pemikiran Ibu, yah meskipun gak salah juga.
"Bu, kita tadi melihat seorang manajer dan karyawan lagi..." aku memberikan kode kissing lewat tautan tangan.
"Trus?"
"Ya Mas Tristan marah lah, urusan pribadi apalagi mesum begitu ya jangan di area kantor."
"Paling Tristan juga pernah, makanya anak buahnya ikut-ikutan."
"Ibuuuuuuuuuu, sori ya Mas Tristan gak kaya' gitu."
"Emang kalian kaya' gituan gak di lingkungan kantor?"
Aku menelan saliva kasar, pertanyaan Ibu ini jelas pancingan. Pasti mencurigai pacaranku kelewat batas. "Gak, Mas Tristan gak pernah kurang ajar sama aku."
"Ouh jadi kalian jalan berdua itu sekedar makan mie ayam." Nah..kan, sindir terooos.
"Ibu, kita tuh pacarannya emang sehat. Gak ada tuh ampe sosoran gitu."
"Cium pipi dan gandengan pernah kan?"
"Pernah." Aku tak akan berbohong dengan ibu, apapun, loss tanpa tedeng aling-aling.
" Ya udah cepetan nikah. Tunggu apalagi sih?"
"Yakin nih Ibu merestui? aku mah cuma menunggu restu Ibu. Mama mas Tristan mah udah sering tanya kapan kita nikah."
"Besok Tristan suruh ikut sarapan, ibu mau ngomong."
"Restu kan?" ucapku girang.
"Hm."
"Jangan dimarahi ya?"
"Iyaaaaa." Ibu sepertinya mulai jengkel.
"Langsung tentuin tanggal ya?"
Pugggg
Tabokan Ibu di lengan rasanyanya mantap.
"Dikasih hati minta jantung kamu itu, Mbak." Aku tertawa ngakak, ya emang gitu kan sifatnya manusia dikasih izin minta lebih.
Setelah pembicaraan dengan Ibu, aku pun segera membersihkan diri, lalu istirahat sebentar. Ponsel kuabaikan hingga selepas isya. Baru saja mengambil ponsel, Tristan sudah melakukan panggilan video
"Hai, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, dari mana?" Tristan kesal, mungkin sejak tadi chat dan panggilannya kuabaikan.
"Ngobrol sama Ibu."
"Tentang?"
"Kapan kawin."
"Nikah," ralat Tristan.
"Apa lagi. Besok kamu diundang sarapan sama Ibu."
"Pasti ditodong kapan kawin juga," ucapnya sambil tertawa sumringah.
"Mungkin. Bahagia banget sih," sindirku.
"Moment ini yang aku tunggu, Sayang. Memang sudah waktunya kita nikah."
Meski hanya video call, tetap saja yang kulihat sorot mata Tristan. Tak ada keraguan yang kutangkap, tapi hatiku masih takut. Sedari menjalin hubungan dengannya, aku takut akan godaan perempuan lain hingga menginjak setahun berhubungan, apalagi dengan harta yang dimiliki Tristan, tanpa ia mencari, perempuan matre sudah datang lebih dulu. Signal dolar sangat kencang di pikiran mereka. Sungguh aku takut.
"Kamu yakin nikah sama aku?"
"Yakin." Jawabnya tegas.
"Tidak ada perempuan kedua, ketiga maupun seterusnya?"
"Gak ada."
Aku terdiam, aku hanya menatap matanya, telingaku mendengar suaranya, ah lebih tepatnya mendengar nada tegasnya tanpa terbata.
"Apa yang membuat kamu ragu sama aku?" Tristan tahu apa yang aku pikirkan, karena selama ini yang mengulur untuk menikah adalah aku.
"Takut ada perempuan lain yang masuk dalam hubungan kita. Di saat aku bilang iya, dan suatu saat nanti kamu menghadirkan wanita di antara kita, itu yang aku takutkan."
"Sayang, boleh gak aku jitak kamu. Duh...sampai mewek gitu juga." Ya Allah Tuhan, aku mewek hampir kejer, dia malah ketawa. Pengen ku tabok aja wajah gantengnya itu.
"Dengar ya sayang. Dalam suatu hubungan, apalagi pernikahan pasti ada suatu ujian, entah itu ringan maupun berat. Dan kalau kita menjaga kepercayaan sejak awal kita pasti bisa melaluinya. Oh ya satu lagi, tidak ada perempuan atau bahkan pria lain dalam hubungan kita, karena aku sendiri yang akan menutupnya."
Aku menangis, sungguh aku lega mendengar ketegasan Tristan. Semoga apa yang diucapkan Tristan tidak akan berubah hingga maut memisahkan kita.
"Lagian ya Sayang, aku tuh gak sanggup kalau harus mendua."
"Kenapa?"
"Cukup satu aja yang bikin aku pusing, dengan kata 'terserah' tapi ketika aku mengambil keputusan gak sesuai keinginan kamu, aku kamu marahi."
"Maaaaaas," rengekku.
"I love you."
Tut, panggilan terputus sebelum aku menjawab perasaan Tristan.
"I love you toò." Ku jawab dengan mengirim chat saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments