Nasib ponsel Lita mengenaskan. Tempered glassnya retak, aku langsung mengambil ponsel itu dan mengusapnya. "Ntar gue ganti."
Wajah Lita cemberut, pengen marah tapi takut ada pawangku, "Santai aja, Ta."
Aku tahu dia kesal sama kelakuan absurdku, okelah setelah makan siang aku akan ke counter hp membelikan gantinya. Aku menyempatkan mengirim pesan kepada Lita menanyakan tipe ponselnya dan dijawab langsung, bagaimanapun performa ponsel sangat diperhitungkan. Tuntutan gaya hidup.
"Nanti mampir dulu ke counter hp ya, makan siangnya jangan lama-lama," pintaku saat masuk mobil. Tristan hanya tersenyum, seperti biasa tak pernah banyak komentar dengan kecerewetanku.
"Kenapa sih bisa sampai jatuhin ponsel Lita?" tanyanya heran.
"Kepo."
"Siapa? Aku?" cicit Tristan diiringi tawa kecil.
"Iya, urusan cewek. Eh tapi aku mau tanya deh, emang Pak Dar, panggilan akrab Pak Darmawan, gugat cerai istri?" aku tak tahan untuk tidak mengumbar gosip di kalangan karyawan pada Tristan. Yah meskipun responnya hanya senyum ataupun iya, ya sudah urusan mereka, gitu doang. Gak enak diajak ngrumpi memang tapi mulutku juga tak bisa diam kalau di dekatnya.
"Dengarnya sih begitu." Nah kan datar sekali jawabnya, tapi ini sebuah kemajuan loh karena Tristan tahu kabar itu.
"Kenapa gugat cerai?"
Kembali pad wujud asal, Tristan hanya mengedikkan bahu. "Gak tahu, urusan Pak Dar, yang penting urusan keuangan kantor masih dihandle."
"Aku tahu alasannya, tapi masih kasak kusuk itu sih."
Tristan menoleh sebentar ke arahku sambil tersenyum, lalu mengelus kepalaku lembut. "Gak usah ikutan ya, bukan urusan kamu loh, Sayang."
Aku mengangguk saja. Toh topik yang dibahas juga masalah rumah tangga, baik aku maupun Tristan belum mempunyai pengalaman. Keluarga kita pun tergolong keluarga normal yang lempeng aja masalahnya tanpa melibatkan pihak ketiga.
Restoran padang menjadi pilihan Tristan makan siang kali ini, memang dia seorang CEO tapi soal makanan ia tak pernah malu untuk makan di warung kaki lima. Sangat low profil, itulah yang menjadi salah satu alasanku menerima dia menjadi kekasih. Baik dirinya maupun sang mama sungguh tidak memandang status sosialku.
"Kenapa?" tanya Tristan yang menyadari aku sedang mencuri pandang.
Aku menggeleng, "Enggak pa-pa."
"Kenapa sih?" Tristan tahu gelagatku yang tak biasa. Memang kita sepakat hubungan ini serius dan tidak menutupi apapun masalah yang dihadapi. Setidaknya membangun komunikasi lebih dini sebelum ke jenjang pernikahan. "Muka kamu tuh gak bisa bohong kalau lagi ada yang dipikirkan, ayo bilang."
Sungguh perhatian Tristan inilah yang harus aku syukuri. Sosoknya bisa dikatakan sempurna tapi sangat menghargai perempuan. "Aku kepikiran kasusnya Pak Dar, Mas." Memang kalau di luar kantor aku memanggil Tristan, Mas. Tapi kalau dia memanggilku sayang di manapun berada, terserah dia sih, suka-suka bos.
"Kenapa kamu kepikiran Pak Dar?"
"Takut kamu juga gitu nanti," kataku cemberut.
"Bentar." Tristan minum teh dulu, dan tertawa ngakak setelah mengusap bibirnya dengan tisu. "Kenapa kamu mikir gitu?"
"Kamu sempurna, Mas. Kaya, tampan, baik aku takut banget setelah nikah kamu berubah."
"Ya pastilah berubah." Spontan saja aku melotot. Hah apa kata dia? setelah nikah berubah, beh bahaya ini. Berubah gimana maksudnya?
"Gak usah melotot gitu, suudzon pasti."
"Ya makanya ngomong yang jelas, udah tahu aku gampang overthinking kamunya gitu."
"Setelah kita nikah, jelas banyak perubahan. Apalagi kita sekamar, hal jeleknya aku kamu bakal tahu, begitupun sebaliknya. Tiap hari ketemu pasti juga sering tengkar. Kamu yang cerewet, aku pun siap diomeli."
"Bukan itu, Mas. Aku tuh takut kamu punya perempuan lain." Ya Allah Tuhan, punya pacar kok ganteng banget apalagi saat senyum seperti ini.
"Kamu tuh ngomong apa sih."
"Wajar dong aku mikir gitu, Pak Dar aja udah kepincut sama Evelyn."
"Hah? Maksudnya?" Tristan heran.
Aku pun menceritakan apa yang menjadi topik di kalangan karyawan akan tingkah Pak Dar dan Evelyn. Beberapa foto sebagai bukti kalau kedekatan mereka tak wajar. Apalagi devisi mereka tidak intens berhubungan langsung, sangat disayangkan ketidakprofesionalan mereka apalagi sampai ada satu pihak sampai mengorbankan rumah tangganya.
"Masa' sih?"
Aku mengangguk saja, ponsel Lita bisa jatuh juga karena aku terlalu fokus pada berita itu hingga tak sengaja menjatuhkan setelah kedatangan Tristan. "Dari situ aku khawatir kamu juga bakal digoda Evelyn."
Tristan tertawa lagi, tak berkomentar dan menggandengku posesif ke arah kasir dan mengajak kembali ke kantor.
"Kenapa harus menunggu nanti kalau mau goda aku? sekarang aja potensinya lebih banyak bukan?" ucap Tristan ketika di dalam mobil.
"Maksudnya?" tanyaku tak terima.
"Kita gak serumah, gak sekamar, ketemu paling banter juga sampai jam 9 malam. Peluang dia menggoda aku kan lebih besar ketimbang saat aku sudah menikah nanti. Tapi nyatanya dia gak melakukan itu."
"Ya mungkin kamu gak pernah berhubungan langsung dengan dia."
"Bisa jadi."
"Eh tapi Pak Dar juga gak berhubungan langsung sama Evelyn sih, tapi kok----
"Godaan itu gak musti nunggu nanti, Sayang. Sekarang kamu tahu sendiri kan, berapa kali aku ketemu perempuan berbagai model, tapi aku tetap milih kamu."
"Sekarang? kalau nanti?"
Ia mengecup keningku sebentar, sebelum kami keluar mobil. "Enggak, enggak ada. Kamu tetap perempuan yang aku mau sampai tua nanti."
Semua cewek pasti senang, mendengar dirinya dijadikan perempuan satu-satunya yang diinginkan oleh sang kekasih, termasuk aku. Mataku langsung berbinar, dan senyum manis.
"Manis banget sih kamu," pujiku bahagia.
"Jadi gak usah ragu buat menikah sama aku, insyaAllah aku gak bakal khianati cinta kamu."
"Sama aku juga, kamu satu-satunya laki-laki yang aku mau, gak bakal aku melirik cowok lain." Kadang merasa lucu juga, hampir tiap hari ketemu maka saat itu pula saling mengungkapkan perasaan cinta, seperti tak ada bosannya.
"Jadi ....apa yang menjadi pilihan Pak Dar dan skandal mereka jangan dijadikan gambaran pada hubungan kita. Pak Dar melakukan hal itu pasti ada alasannya, dan itu bukan urusan kita. Aku harap kamu gak ikutan gosip masalah Pak Dar dan Evelyn, itu bukan urusan kamu. Jangan pernah merasa sedih karena gak diajak gosipin mereka, justru kamu harus senang tidak ikutan dosa. Mengerti?"
"Iyaaa."
"Tapi kalau sekedar mendengar gak pa-pa ya?" negoku dengan mata puppy eyes.
"Gak perlu, harus cuek. Kita bisa menghakimi mereka, tapi belum tentu diri kita sebaik mereka juga kan. Cukup pikirkan hubungan kita dan kapan kamu siap aku nik---"
Aku mengeryitkan dahi, mengikuti arah pandang Tristan. Mataku melotot dan mulutku menganga lebar. Tristan tampak marah, bahkan terlihat sekali rahangnya mengeras.
"Biar aku atasi, kamu jangan bilang ke siapa-siapa. Karena hal ini bukan urusan kamu, Sayang. Kita sholat dulu." Ajak Tristan, lalu membukkan pintu mobil dan menggandengku menuju mushola kangor. Responku hanya mengangguk saja, masih shock dengan kejadian di area parkir beberapa menit lalu, sialnya otakku tiba-tiba blank.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments