CDT 4

...***...

“Mbak, kalau lebih bagus warna yang mana?”

“Yang warna Salem bagus, Ndah.”

“Model gini ya, cakep.”

“Iya, ya udah deh. Pilih yang ini aja kalau gitu,”

Danita mendengar sedikit obrolan kedua Tantenya. Kebetulan keduanya sedang asyik memilih pakaian untuk pergi ke pesta pernikahan anak teman mereka, begitu dari yang Danita dengar tadi.

“Kerjaan kamu lancar, Nit?” Tanya Bu Endah—Tante Danita.

Pembukaan yang baik untuk memulai percakapan, sebelum badai menghempaskan.

Pikirnya.

Dari tadi Danita yang hanya sibuk bersama keponakan dan mengobrol bersama sepupunya, kemudian dipanggil untuk membantu menyiapkan makanan. Setelahnya barulah Danita bisa duduk, padahal sejak tadi dia memang sengaja tidak ikut andil dalam obrolan para tantenya. Tapi kini sepertinya rasa nyamannya akan segera hilang ketika sang Tante sudah memulai membuka obrolan dengannya.

“Puji Tuhan, lancar kok Tan.” jawabnya kemudian tersenyum.

“Baguslah, soalnya sekarang lagi zaman serba sulit. Banyak yang dirumahkan, ada demo besar-besaran juga. Tante senang dengarnya kalau kerjaan kamu lancar.”

Eh, tumben. Pikir Danita.

Entah mimpi apa semalam tiba-tiba Danita tidak mendapatkan sindiran pedas dari adik ibunya itu, atau Tantenya salah makan sesuatu mungkin.

“Kalau kerjaan lancar, gimana sama pacar Nit?”

Seharusnya Danita tidak berharap banyak pada Tantenya yang sudah memiliki sifat nyinyir sejak dulu. Dan seharusnya dia tidak perlu begitu terkejut dengan pertanyaan ini.

Bukankah hal itu sudah biasa. Minggu kemarin Kakak dari Ayahnya, sekarang adik dari ibunya. Sepertinya Danita memang harus lebih bersabar lagi dikelilingi oleh orang-orang seperti para Tantenya itu.

“Aku enggak lagi menjalin hubungan dengan siapapun kok, Tan. Masih fokus sama kerjaan.”

“Loh, kenapa? Kamu masih betah sendiri? Duh ya, ini gimana sih, kakakku itu sepertinya kurang tegas sama anaknya. Seharusnya diusia kamu yang sekarang sudah menikah dan punya anak.” cerocos Tantenya.

“Lihat tuh, Laras, Asri sama Wita. Mereka sudah menikah, sama polisi. Sama PNS, sama tentara. Kamu jangankan menikah, punya pacar juga enggak. Usiamu sudah dua puluh lima tahun, seharusnya sudah ada kesiapan untuk itu. Kamu sih, terlalu pemilih. Memangnya mau jadi perawan tua?” lanjutnya.

Nyut. Sakit tapi tak berdarah. Danita mengepal kuat tangannya, menahan gejolak emosi yang dia rasakan.

Siapa sih, yang tidak mau menikah? Hidup bersama dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita. Membangun keluarga yang harmonis. Tapi memang Danita belum memiliki pria yang tepat untuk bersanding dengannya. Berbagi cerita tentang hari yang dilalui hari ini saat mereka berada di atas tempat tidur. Sarapan pagi atau berjalan bergandengan tangan.

Tanpa diminta Danita pun mau, hanya saja dia kan, tidak bisa sembarangan melabuhkan hatinya kepada sembarang orang. Menikah bukan perkara pesta saja, melainkan mengucap janji di depan Tuhan, dan pasangannya nanti.

“Maaf ya, Tan. Nita bukannya pemilih, tapi memilih pasangan hidup enggak semudah kita milih pakaian di etalase toko. Dicoba, kalau cocok beli. Kalau enggak cocok simpan lagi.

Memilih pasangan hidup mesti hati-hati, dan menikah juga bukan perihal main-main. Terima kasih atas perhatian Tante untukku, Tante do'akan aja semoga aku dapat jodoh yang terbaik. Kalau gitu aku permisi dulu, kebetulan tadi atasan Danita menelpon ada meeting dadakan.”

Danita undur diri sebelum kesabarannya tergerus habis. Dia menggunakan pekerjaan sebagai alasan untuk pergi dari sana. Begitu dia beranjak pergi beberapa langkah, Danita masih bisa mendengar perkataan Tantenya itu.

“Gitu tuh, anak muda zaman sekarang. Kalau dinasihati yang lebih tua, malah enggak terima.”

Danita segera melangkahkan kakinya menuju kamar. Kemudian merebahkan tubuhnya yang lelah, bukan karena menyiapkan makan atau bersih-bersih rumah. Tapi karena harus menghadapi omongan dari para Tantenya.

...***...

Entah sudah berapa lama Danita tertidur, yang pasti saat dia membuka mata keadaan di kamarnya sudah gelap. Begitupun dengan kondisi di luar sana.

Danita duduk dan mengecek ponselnya, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Dengan kata lain, hampir lima jam dia tertidur pulas. Setelah menaruh ponsel miliknya kembali, dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri lalu berganti pakaian.

Lima belas menit kemudian, Danita keluar masih menggunakan handuk di kepalanya. Danita mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer. Setelah selesai, dia turun ke bawah. Kondisi rumahnya sudah sepi, sepertinya para kerabatnya sudah pulang.

“Badannya sudah enakan, Nit?” Tanya ibunya ketika Danita hendak mengambil air minum.

Danita memang sedikit berbohong mengenai badannya yang kurang sehat ketika ibunya menanyakan saat siang tadi.

“Sudah kok, Bu. Sepertinya memang karena dibawa lembur semingguan ini, makanya jadi rada enggak enak.”

“Kamu juga belum makan malam, kan, sekarang makan dulu. Tadi sudah dipisahin, kalau enggak bisa kehabisan.”

“Iya, Bu. Ayah ke mana?”

“Ayah tadi ke kamar—nah, itu Ayah.”

“Makan, Yah.”

“Iya dong, Ibu masak sambel cumi kesukaan Ayah.”

Danita tersenyum melihat sang Ayah yang kegirangan.

Ditengah makan malam, Bu Tika mengajak ngobrol anaknya.

“Nit,”

“Ya, Bu. Ada apa?”

“Tadi Tante Endah bilang apa lagi ke kamu?”

Tuh, kan, pasti. Danita tidak pernah sekalipun mengadu meskipun ucapan sang Tante terkadang terdengar menyakitkan.

“Enggak bilang apa-apa kok, Bu.”

“Jangan bohong, tadi Wita bilang ke ibu. Dia enggak sengaja dengar obrolan kalian.”

Danita menelan makanan dengan susah payah. Kalau sudah begini mana bisa dia berbohong, akhirnya dia menceritakan apa yang dikatakan oleh adik ibunya itu.

“Duh, biar nanti ibu yang tegur. Bisa-bisanya dia bilang gitu.”

“Enggak apa-apa kok, Bu. Biarin aja ya,”

Bu Tika hanya memandangi wajah anaknya.

“Oh ya, Nit. Kamu masih ingat sama Tante Dewi?”

Danita mencoba mengingat siapa yang ibunya maksud.

“Lupa, Bu.”

“Teman arisan ibu.”

“Oh gitu, kenapa memangnya Bu?” Tanya Danita penasaran.

“Gini Nit, kebetulan anaknya sedang mencari calon istri. Kamu juga kan, belum punya pacar. Gimana kalau nanti dikenalin dulu sama anaknya Tante Dewi, kebetulan anaknya baik kok. Ibu sama Ayah juga udah lihat orangnya waktu ke pesta ulang tahun kantornya dulu. Kamu mau ya?”

Sambal cumi yang rasanya nikmat tadi seakan menjadi hambar di lidahnya ketika mendengar ucapan ibunya tadi.

Haruskah dia terima. Danita mencoba melihat wajah ibunya. Seakan cemas menunggu jawaban Danita.

Apa salahnya mencoba. Kemudian dia menganggukkan kepalanya.

“Ayah, tuh, anaknya mau. Nanti aku langsung kabarin jeng Dewi.” ujar ibunya antusias.

Ayahnya yang sejak tadi hanya diam, kini angkat bicara.

“Ya kalau Danita mau, ya silakan. Jangan dipaksakan kalau enggak mau.”

“Anaknya Darwin Wijaya, teman SMA Ayah dulu loh ....”

“Oh, iya kah? Aku malah sudah lupa Bu, ingetnya cuma kamu aja waktu pakai baju SMA.” Goda sang Ayah yang membuat pipi ibunya merona.

“Ish, ayah ini. Malu, inget umur. Malah ngegombal,”

“Ya enggak apa-apa, memangnya anak muda aja yang boleh—apa itu istilahnya, Nit?–oh ya, bucin.”

Keduanya tergelak tawa. Sedangkan Danita hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku ayah dan ibunya, di dalam hati Danita juga masih merasa gelisah mengingat ucapan ibunya tadi.

...****...

...Halo Readers yang ketjeh, bantu like yuk. Biar kau semangat untuk update part selanjutnya~...

Terpopuler

Comments

Siti Nahwa

Siti Nahwa

ceritax bagus nggk berbelit-belit jadi bacax terasa lancar dan ringan, semangat nulisx thor

2022-05-09

0

Marice Rorong Fitje

Marice Rorong Fitje

lanjut thor

2022-04-30

1

AprllaRpt

AprllaRpt

bagguusss

2022-04-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!