CDT 5

...***...

“Mbak Nit, lagi kenapa sih?”

“Hah! Memangnya aku kenapa, Nel?

“Seharian ini lebih banyak diem, udah gitu ngelamun terus. Kamu lagi ada masalah, Mbak?”

Benarkah jika dirinya melamun saja, apa begitu kentara sekali jika perkataan dari ibunya kemarin membuat Danita kepikiran.

“Mbak, Mbak Nita.”

“Eh, i-iya. Kenapa Nel?”

“Yah, ditanya malah ngelamun lagi. Ada masalah yang serius banget ya?”

“Enggak kok,”

“Bohong deh, soalnya Mbak Nita itu kayak kehilangan fokus gitu. Badannya sih, di sini. Pikirannya entah di mana. Ya, kan, Dim?

“Hah! Apaan?”

“Ck, ini lagi. Pasti sibuk nontonin video Black Pink, makanya enggak nyambung.”

“He he he, tau aja lo, Nel.” Dimas cuma nyengir.

Pasalnya apa yang dikatakan Inel, memang ada benarnya. Dimas yang usianya sama dengan Inel memang begitu sangat mengidolakan girls band asal Korea Selatan tersebut.

Jangan ditanya bagaimana perasaannya jika ada sesuatu yang menyangkut girls band tersebut, maka Dimas akan melupakan segala apapun disekitarnya. Termasuk pekerjaannya, pernah suatu hari dia terkena teguran dari atasan mereka karena dirinya ketahuan menonton video terbaru yang baru rilis di YouTube. Hingga atasannya memergoki Dimas, padahal sedang jam kerja dan dia seharusnya mengerjakan laporan.

“Cerita kali Mbak, kalau lagi ada masalah. Nah, tuh. Ada mbak Tami, cerita gih. Siapa tahu kita-kita bisa kasih jalan keluar.”

Haruskah? Batinnya bertanya.

“Kenapa?” Tami kelihatan bingung.

“Mbak Danita nih, ada masalah pelik banget kayaknya. Seharian diem aja, kebanyakan bengong juga.”

“Ada pada, Nit? Mau cerita?”

Danita mengehala napasnya.

“Sebenarnya aku cuma lagi bingung aja, mbak.”

“Bingung kenapa?”

Danita menceritakan semua keresahan hatinya. Bagaimana diusianya yang menginjak dua puluh lima tahun dituntut untuk memiliki pasangan hidup. Selalu ditanya-tanya kapan menikah, mana calonnya atau kenapa selalu sendiri setiap ke acara pesta.

Tante-tantenya selalu menasihati Danita untuk tidak terlalu pemilih dalam mencari pasangan, karena hal itu yang akan membuatnya susah untuk mendapatkan pendamping hidup.

Mereka juga selalu mengenalkan dan memaksanya selalu bertemu dengan pria yang usianya tak jauh dari Danita.

Terkadang sindiran pedas juga acap kali dia terima ketika mengunjungi saudara yang melahirkan anaknya.

Danita sebenarnya kesal dan marah, tapi bagaimanapun tetap saja mereka tidak mengerti. Justru Danita akan dituding angkuh dan tidak sopan, jika menjawab omongan mereka.

“Ya ampun, hidup kamu pelik banget Nit.” Canda Tami.

“Angkat tangan deh, mbak aku kalau masalahnya begini. Soalnya emosi jiwa. Tapi kalau boleh kasih saran, ya lebih baik cuek. Aku aja yang dua puluh tiga tahun sering dapat pertanyaan begitu.” ujar Inel.

“Kalau gue, ya Mbak. Anggep aja kentut, tutup hidung enggak mempan ya tinggal pindah tempat biar enggak kecium baunya.”

“Eww, perumpamaan lo enggak berkelas banget sih, Dim. Kentut.” Inel meringis jijik.

“Ya biarin, tapi beneran deh. Daripada mbak Nita pusing, ya lebih baik menghindari.”

“Tapi kan, enggak bisa selalu gitu. Sampai kapan coba, kalau beda kota iya aja.” ujar Danita dengan wajah lesu.

Ketiganya manggut-manggut mendengar perkataan Danita.

“Sekarang aku tanya deh, Nit. Yang bikin bingung itu apa?”

“Ya bingung aja, aku harus nikah sekarang atau enggak. Harus terima perjodohan ini atau enggak.”

“Kamu sudah ketemu sama calonmu?”

Danita menggelengkan kepalanya.

“Jadi kalau belum ketemu terus apa yang buat kamu ragu?”

“Mungkin karena dia jelek dan botak mbak.” Celetuk Dimas.

“Please ya, kalau kedengaran sama Pak Broto tahu rasa lo, Dim.”

“Ups!” Dimas menutup mulutnya.

“Aku tanya sekali lagi, yang buat kamu ragu itu apa? Karena belum ketemu sama yang mau dijodohkan dengan kamu?”

“Itu salah satunya mbak, termasuk aku yang enggak yakin kalau nikah sekarang. Takutnya enggak cocok.”

“Kamu kan, belum ketemu. Terus kenapa bisa jadi enggak yakin.”

“Mbak, memangnya siapa yang mau dijodohkan dengan mbak Nita?”

“Emh, cowok lah.”

“Hadeh, aku tahu kali mbak. Maksudnya namanya.”

Danita terkekeh melihat Inel yang gregetan karena jawabannya.

“Arjuna Pratama Wijaya.”

“Tunggu bentar, kok kayaknya enggak asing ya. Kayak pernah denger, ya enggak Mbak Tam.”

Tami menganggukkan kepalanya.

“Daebak!” Seru Dimas

“Apaan sih, Dim. Ngagetin aja,” gerutu Inel.

“Black Pink lagi palingan,” ujar Tami.

“Bukan, calonnya Mbak Danita nih.”

“Hah? Lo kenal, Dim?”

“Sini deh, lo.”

Inel berjalan ke kubikel Dimas yang ada di depannya.

“Nih, calonnya Mbak Danita.” Tunjuk Dimas.

Inel merundukkan kepalanya, membaca tulisan yang ada di depan layar komputer Dimas. Kali ini matanya terbelalak dan mulutnya menganga.

“Gila, mbak Tami sini deh.” Seru Inel tak kalah heboh.

Melihat hal itu Tami penasaran juga.

“Ini calonnya Mbak Nita.” Ujar Inel.

“Ya ampun, Nit. Ganteng banget, eh, ini maksudnya anaknya Darwin Wijaya yang punya perusahaan iklan terbesar di Indonesia?”

Inel dan Dimas kompak menganggukkan kepala.

Sedangkan Tami melihat ke arah Danita yang tengah meringis.

“Traktiran Kedai Tjikini, Nit. Kalau sampai jadi.” Ujar Tami.

“Setuju.” Inel dan Dimas menyahut secara bersamaan.

...***...

“Nit, kamu sudah sampai rumah?”

“Belum, Bu. Masih di jalan, kebetulan lagi ke jebak macet. Biasalah Jakarta kak enggak macet bukan, Jakarta namanya.” Canda Danita.

“Hati-hati bawa mobilnya, jangan ngebut.”

“Iya Bu. Ibu lagi ngapain?”

“Lagi nonton TV, ditemenin sama Bi Surti.”

“Pasti sinetron yang istri-istrinya selalu sengara itu kan?”

Terdengar suara tawa ibunya.

“Tau aja kamu,”

“Ayah mana?”

“Lagi ke rumah Pak RT, katanya ada perlu. Padahal ibu tau kalau alasannya main catur.”

Kali ini Danita yang tertawa mendengar jawaban ibunya.

“Bu, udah dulu ya. Danita lagi nyetir, udah mulai enggak macet lagi.”

“Iya, hati-hati kalau gitu.”

“Dah, ibu.”

Danita mengakhiri panggilan teleponnya. Kemudian menaruhnya di dashboard mobil. Tak lama ponselnya bergetar karena ada pesan masuk, tapi dia abaikan karena fokus menyetir mobilnya.

Begitu sampai di rumahnya, Danita turun dari mobil masuk ke dalam rumah dan berjalan ke dalam kamarnya. Setelah itu dia membuka pesan yang masuk.

Ibu

Lusa jangan lupa ya, Nit. Keluarga Wijaya mau ke rumah buat ketemu sama kamu, nanti bajunya ibu siapkan.

Danita menghela napasnya. Ibunya begitu bersemangat sekali menyambut perjodohan ini. Bukan hanya ibunya, teman ibunya yang tak lain akan menjadi calon mertuanya pun sama saja. Mereka berdua bersemangat sekali, kehebohan saat melakukan video call.

Mengobrol segala hal, tentang seserahan. Dekorasi pesta, honeymoon dan perihal anak. Danita sampai menganga dibuatnya. Menikah saja belum, tapi sudah membicarakan perihal anak.

Tiba-tiba saja dia mengalami sakit kepala memikirkan itu semua. Hatinya padahal belum yakin, tapi melihat orang tuanya antuasias terutama ibunya. Danita menjadi tidak tega. Dia benar-benar pasrah, semoga pilihan ibunya yang terbaik. Toh, calon mertuanya begitu baik.

Meskipun dia tidak yakin anak mereka akan sama seperti orang tuanya. Tapi Danita mencoba meyakinkan dirinya.

“Sepertinya sekarang aku butuh mandi, atau mungkin berendam air hangat.” Gumamnya.

Danita merasa bukan hanya tubuhnya yang merasa penat, pikirannya juga. Berendam air hangat dan lilin aromaterapi sepertinya pilihan terbaik saat ini.

...****...

Terpopuler

Comments

bunda s'as

bunda s'as

aku baca cuman lupa lagi sampe bab berapa keburu ada kerjaan makanya ini aku bacanya skip2 🙏🏻🙏🏻

2023-07-05

1

Aqua_Chan

Aqua_Chan

next

2022-09-13

0

Tulip

Tulip

lanjut

2022-05-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!