Alea menatap nanar wajah di dalam cermin. Wajah gadis belia dengan riasan sempurna dalam balutan kebaya putih moderen. Sayangnya hidup Alea tidaklah sesempurna riasan wajah dan busana yang ia kenakan. Entah kemana takdir membawa jalan hidup yang harus ia lewati.
Ia memperhatikan dengan seksama wajah itu. Penuh dengan guratan kesedihan yang tampak melalui air wajahnya. Ia merasa seperti lepas dari mulut harimau dan di lempar ke dalam mulut buaya.
"Kak, dipanggil mama. Keluarga suamimu sudah mau mengajak kamu pulang ke rumah mereka," Suara Kania menggelegar di rongga kepalanya. Menghantam isi kepalanya dengan sangat keras. Menciptakan denyutan diantara kedua pelipisnya.
Alea memijat pelipisnya berulang, meredakan denyutan yang semakin menghantam. Sekelilingnya seolah menggelap mendengar kata suami yang diucapkan oleh adik sepupunya itu.
"Kak, kamu kenapa?" Tanya Kania menghampiri Alea yang tampak oleng di tempatnya berdiri. "Kamu dari kemaren ga makan apapun loh, aku buatin teh manis yah," Kania berlalu meninggalkan Alea mematung di depan cermin.
Tanpa sadar bulir bening menetes di pipinya. Tangan kanannya dijatuhkannya ke dada, meremas dada itu saat rasa sakit menghujam jantungnya. Gadis polos itu tak dapat lagi menahan sesak yang menyeruak, membayangkan bagaimana ia harus menjalani hidup dengan status sebagai seorang istri. Status yang tidak pernah ia bayangkan akan disandangnya secepat ini.
"Kak, minum dulu yah," Ucap Kania yang sudah kembali dari dapur membuatkan secangkir teh manis panas untuk Alea. Ia menyodorkan minuman itu ke mulut Alea, setengah memaksa agar kakak sepupunya membuka mulut dan bersedia meminum seteguk teh manis.
"Udah cukup, makasih Kania," Alea mendorong cangkir yang masih menggantung di depan bibirnya. Memaksakan senyum yang gagal menghiasi bibir mungilnya. Gadis itu justru tersedu, melampiaskan sesak di dada.
"Sabar kak, Allah pasti punya rencana buat orang sebaik kamu," Kania merengkuh Alea ke dalam pelukannya.
Menggosok lembut punggung gadis yang semakin terisak dalam pelukannya. Kania yang terpaut usia hanya satu tahun dengan kakak sepupunya itu dapat merasakan penderitaan Alea. Bagaimana usia mereka yang seharusnya masih menikmati masa-masa indah remaja, justru harus terjerat dalam ikatan pernikahan yang dipaksakan.
"Apa salahku? Kenapa aku harus mengalami semua ini?" Ucap Alea terbata disela sesenggukannya.
Kania akhirnya dapat mendengar suara kakak sepupu yang sangat disayanginya. Dari kemarin ia berusaha mengajak kakaknya bicara namun hanya dibalas kebungkaman oleh Alea. Tak sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Namun, saat kakaknya bicara, Kania justru membisu. Dia tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alea. Hanya tarikan nafas panjang dari keduanya yang menjadi jawaban pada akhirnya.
"Aku bahkan tidak tahu orang seperti apa yang sudah ku nikahi Kan," Ucap Alea.
Pikiran Alea kembali melayang pada kejadian satu minggu yang lalu. Terakhir yang dapat diingatnya hanyalah saat dia sedang duduk berdua bersama Yuri di kamar hotel. Namun, tiba-tiba ia terbangun di tengah malam bersama seorang pria di kamar hotel tanpa sehelai benangpun melekat di tubuhnya. Lebih parahnya keluarga pria itu memergoki mereka dengan kondisi yang memalukan itu. Sehingga saat ini ia tidak dapat menghindari pernikahan yang dipaksakan kepadanya.
"Kak Al sudah mencoba menghubungi teman mu lagi?" Tanya Kania membuyarkan lamunan Alea.
"Aku udah pasrah kan, berhari-hari aku terus mencoba mencari keberadaan Yuri. Tapi dia seperti ditelan bumi. Menghilang begitu saja. Bahkan satu saja anggota keluarganya pun tak bisa ku temui. Mereka sekeluarga sudah pindah rumah," Ucap Alea dengan tangis yang masih menderas.
"Dia juga udah ga kuliah di tempat yang sama Kak. Aku bahkan udah sampe mohon-mohon sama pihak kampusnya untuk memberitahu kemana dia pindah kuliah. Tapi mereka tidak memberitahuku," Ucap Kania dengan nada putus asa.
"Sepertinya ini memang perbuatan Yuri. Dia tidak mungkin menghilang tiba-tiba tanpa alasan. Tapi kenapa dia harus menjebakku seperti ini? Apa salahku padanya?" Ucap Alea lirih lebih kepada dirinya sendiri.
"Sekarang Kak Al mau gimana?"
"Mau gimana lagi Kan, bagaimanapun aku sudah menikah. Suka atau tidak suka aku harus menjalani semua ini,"
"Ini semua gara-gara Mama sama Papa yang memaksa kamu menikah. Seharusnya mereka menentang pernikahan ini," Ucap Kania menahan geram.
"Kau tahu siapa keluarga laki-laki itu? Mereka adalah keluarga yang memiliki kerajaan bisnis di negara ini. Kau akan bisa membayar semua hutang-hutang mu pada kami jika menikah dengannya," Suara Paman menggelegar di telinganya kala itu. Merasuk hingga ke relung hati dan membuat bulir bening tak mampu ia tahan menderas di kedua pipinya.
"Kau sudah mempermalukan keluarga dengan perzinahan yang kau lakukan. Kau seharusnya bersyukur laki-laki itu bersedia bertanggung jawab. Kalau tidak, selamanya kau akan membawa aib itu bersamamu kemanapun kau pergi," Ucapan Bibi begitu menggema di kepala.
Membuat lidah gadis itu kelu dan tidak bisa lagi membantah. Meski dengan cara yang buruk, perkataan Bibi benar adanya. Dia sepatutnya bersyukur laki-laki itu mau bertanggung jawab. Meski ia sendiri merasa tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka malam itu. Akan tetapi, Alea sendiri tidak dapat meyakini dengan pasti apa yang telah terjadi. Hanya Yuri yang memiliki jawaban atas semua pertanyaannya.
"Kita kabur aja gimana?" Ide gila terlintas begitu saja di benak Kania. Mengembalikan kesadaran Alea dari lamunannya tentang ucapan Paman dan Bibi sebelum pernikahan terlaksana.
"Kabur kemana? kamu jangan ngaco Kania," Jawab Alea masih dapat menemukan akal sehat di kepalanya.
"Kita ke tempat Kak Farash aja di Jogja," Usul Kania.
"Bukan begitu caranya menangani masalah Kania. Kamu ga bisa menghadapi masalah dengan kabur," Ucap Alea tersentak dengan pikirannya sendiri. Menyadari bahwa dia memang harus menghadapi masalahnya, bukan justru menangisinya.
"Tapi ini masa depan kamu Kak, mana bisa Mama sama Papa maksa kamu buat nikah seperti ini,"
"Paman dan Bibi tidak salah. Ini sepenuhnya adalah kecerobohan ku sendiri. Murni kesalahan ku. Jadi aku harus menghadapinya,"
"Tapi seharusnya Mama sama Papa mendengarkan alasan Kak Al. Mendukung Kak Al di saat-saat seperti ini. Bukan malah ikut mendesak Kak Al," Suara Kania mulai meninggi. Merasa kesal dengan sikap kedua orang tuanya yang selalu memusuhi Alea. Lebih-lebih setelah kakaknya Farash pindah ke Jogja untuk meneruskan pendidikan Sarjana yang berlanjut hingga ia menempuh pendidikan Pasca Sarjananya. Orang tua Kania semakin menyiksa Alea.
"Seharusnya kamu izinin aku buat kasih tau Kak Farash. Aku yakin banget, Kak Farash bakal belain kamu Kak," Lanjut Kania.
"Kamu harus inget sama janji kamu Kania, jangan kasih tau apapun ke Kak Farash," Alea menarik tangan Kania, menggenggamnya erat. "Biarkan aja Kak Farash konsentrasi sama kuliahnya,"
"Cepat atau lambat Kak Farash juga bakalan tau,"
"Tapi tidak dari kamu, biarkan kak Farash tau dengan sendirinya. Tapi bukan dari kamu. Janji?" Ucapan Alea hanya dijawab dengan anggukan setengah hati oleh Kania. Belum terima sepenuhnya dengan keputusan Alea.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus semamgat
2023-02-02
0
CC reading
kania sayang sama sepupunya,....
kasih cerita kania dan farash dong kak Bitah
...
2021-09-04
0
Yudis Dek No
kangen ama alea dan ravka thorrr udah ke 5 kali baca novel mu ngak bisen"
2021-07-25
0