Belum waktunya untuk menjelaskan semuanya. Meskipun menerima perjodohan itu, hati Devan masih belum bisa berpaling dari wanita cantik yang pernah menemani hari-harinya, Alisa adalah gadis yang pertama kali membedah hatinya dan bersemayam di sana, cinta pertama yang mampu mengalihkan perhatiannya dari wanita manapun.
"Jaga sikap kamu, jangan bikin malu Bunda," ucap Bunda dengan mencium keningnya seperti anak kecil.
Devan hanya mengangguk kecil, ibarat kata ia tak mungkin melumuri wajah kedua orang tuanya dengan kotoran lewat sikapnya.
Devan meraih ponselnya dan memasukkan di saku celananya lalu turun mengikuti bunda dan Ayahnya yang sudah berjalan lebih dulu. Semalaman penuh ia mengabaikan telepon dari Alisa, dan rencana ia akan datang menjelaskannya secara tatap muka.
Mereka hanya datang bertiga, ayah memang sengaja meninggalkan yang lain, padahal semua antusias ingin bertemu Raisya, namun semua hanya bisa menyangga dagu dan berandai-andai saja.
Setelah uluk salam, bunda langsung memeluk mama Aya. Saling menanyakan kabar dan saling berbincang melupakan ketiga pria yang mematung di sampingnya yang bagaikan bodyguard.
Tak ada yang istimewa, sambutan hanya sederhana, mereka bertamu niatnya untuk silaturahmi sekaligus menyambung tali persaudaran yang lebih erat.
Ayah duduk di samping Bunda, sedangkan mama Aya duduk di samping Ayah Randu.
Devan duduk sendiri tanpa pasangan, sofa yang memanjang itu melambai-lambai seakan mencari penghuni baru.
"Gimana, Ndu?" Sebuah pertanyaan singkat namun sudah mencangkup semuanya.
"Iya Mas, Raisya sudah setuju, dia bersedia menikah dengan Devan."
Ayah Randu menatap Devan, ia menangkap ada guratan gelisah di wajah pria tampan yang ada di seberang meja.
"Tapi bagaimana dengan Devan?" kata Ayah Randu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Bunda dan mama hanya diam. Mereka bagaikan sebuah pajangan yang hanya bisa menyaksikan, karena tak mungkin berani melawan suami masing-masing.
"Aku setuju," jawab Devan singkat.
"Ma, panggil Raisya!" titah Randu.
"Biar aku yang panggil, kamarnya di mana?" Bunda Sabrina beranjak dari duduknya, jika mendengar nama Raisya, jantungnya berdegup kencang ingin memeluknya.
Mama Aya menunjuk tangga yang menjulang ke arah lantai dua.
Bunda meletakkan tasnya lalu meninggalkan ruang tamu.
Bunda menatap beberapa kamar yang berjejer, tapi bibirnya langsung tersenyum saat mendapati nama yang familiar itu terpampang di pintu kamar paling ujung.
Sebuah ketukan terdengar dari dalam, Raisya mengusap air matanya dan memakai bedak untuk menyamarkan mata nya yang masih sedikit memerah.
"Sebentar!" teriak Raisya sembari berjalan menuju pintu. Kembali merapikan hijab yang dipakainya. Jika ditanya pasti belum siap, tapi keadaan memang memaksanya untuk melangkah sebelum waktunya.
Pintu terbuka lebar, rasanya Raisya seperti mimpi di bagi buta, ia menatap wanita cantik yang ada di depannya itu dari atas sampai bawah.
"Kamu nggak mau memeluk bunda?" Bunda Sabrina membuka tangannya lebar-lebar.
Raisya menangis, namun kali ini adalah isakan bahagia, kedatangan Bunda Sabrina sedikit mengobati rasa gundah di hatinya. Berkali kali bunda Sabrina mencium pucuk kepala Raisya dengan lembut sebagai ungkapan kasih sayang yang tak pernah surut.
Mereka akan menikah tanpa cinta, dan aku tahu bagaimana rasanya, semoga Devan bisa membuka pintu hatinya untuk Raisya, aku tidak ingin kejadian yang menimpaku itu terulang kembali pada anakku.
Hampir sepuluh menit Raisya berada di pelukan Bunda Sabrina. Ia merasa nyaman, seakan itu adalah tempat terindah setelah dekapan mama Aya.
"Kita turun yuk! Ayah Mahesa sudah menunggumu."
Bunda menggenggam tangan Raisya, ia tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini, yang pastinya jauh dari kata baik-baik saja.
"Raisya!" seru Ayah saat menatap putri kecilnya itu tiba di sudut tangga.
Raisya berlari kecil dan berlutut di depan Ayahnya, orang yang pernah menjadi pelindung disaat ayahnya terpuruk kehilangan orang yang dicintainya, dan ayah yang selalu ada disaat dirinya membutuhkan kasih sayang.
Devan melirik sekilas punggung Raisya yang bergetar dengan wajah yang terbenam di pangkuan ayahnya.
Ternyata dia sudah besar, aku kira masih kecil dan ingusan.
Tangannya membungkam mulutnya yang sedikit mengulas senyum.
"Kamu lupa sama ayah ya," sindir Ayah Mahesa sembari mengelus pucuk kepalanya.
"Nggak lah, aku kan sibuk yah, dan baru bisa pulang." Raisya mendongakkan kepalanya, mensejajarkan pandangannya, menatap wajah yang mulai dipenuhi dengan kerutan, tapi tetap tampan.
"Kamu pasti tahu tujuan ayah datang ke sini?" ucap Ayah tanpa basa basi, baginya ini adalah masalah yang harus cepat kelar.
Raisya mengangguk kecil. Ia mulai mengunci bibir ranumnya, takut salah bicara.
"Hari ini ayah dan bunda melamar kamu untuk Devan, dan minggu depan kalian akan menikah. Aku harap dari kalian semua tidak ada protes."
Benar, tak ada satupun dari mereka yang membantah ucapan ayah, percuma saja, sampai mulut berbusa pun tidak akan mengubah keputusan sang ayah, ia bagaikan raja yang tak tertandingi oleh siapapun termasuk istrinya.
"Sekarang ayah kasih waktu kalian untuk bicara."
Devan beranjak lebih dulu menuju pintu depan, disusul Raisya dari belakang. Keduanya berada di taman yang jauh dari ruang tamu.
"Apa kabar?" tanya Devan.
"Alhamdulillah, aku baik. Kakak sendiri gimana?" Raisya mengusir rasa canggung yang terus meliputinya, di dekat Devan ternyata tak se menakutkan yang ia bayangkan.
"Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik."
Meskipun dadanya terasa sesak dan sulit untuk bernapas, Devan masih bisa memasang wajah yang cool.
"Apa alasan kamu menerima pernikahan ini?" tanya Devan menyelidik. Sedikit pun ia tak melihat ada penolakan dari Raisya.
"Ak ___"
Suara Raisya terpotong saat ponsel Devan berdering.
Seperti hari kemarin, pria itu hanya menatap layarnya tanpa ingin menjawabnya.
"Jawab saja, Kak! Siapa tahu penting."
Akhirnya Devan menggeser lencana hijau tanda menerima.
"Halo…" suara berat Devan menyapa.
"Halo, Van. Akhirnya kamu angkat telepon dariku. Aku khawatir sama kamu, sudah hampir seminggu kamu nggak menjawab panggilanku, dan juga tak membalas chat dariku. Apa kamu sakit?"
Suara seorang wanita itu terdengar jelas ditelinga Raisya, dari nada bicaranya, tampaknya wanita itu sangat cemas dengan keadaan Devan.
Devan menatap Raisya sekilas.
"Aku nggak kenapa-napa, tapi maaf untuk sementara aku belum bisa bertemu kamu."
"Nggak papa, yang penting kamu baik-baik saja, I LOVE YOU."
Devan memutus sambungannya tanpa menjawab, bagaimanapun juga Raisya adalah calon istrinya, dan dia harus menghargai jodoh dari ayahnya.
Sedikit pun Raisya tak terkejut mendengar percakapan Devan dengan wanita yang ada di balik ponsel. Mustahil jika pria setampan Devan tak mempunyai pacar, dilihat dari manapun, calon suaminya sangat sempurna, dan pasti banyak wanita di luaran sana yang menginginkannya.
"Dia pacar, Kakak?" tanya Raisya.
"Iya, tapi sudahlah, minggu depan kita menikah. Jangan pikirkan apapun."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Zainab Ddi
kasian Raisya
2022-07-03
1
Lina aja
kasian juga devan....tapi mahesa tau yg trbaik Untuk nya ....ikhlas y mas
2022-03-16
0
🅶🆄🅲🅲🅸♌ᶥⁱᵒⁿ⚔️⃠
apakah kisah mamah Sabrina dan ayah Mahesa terulang kembali
2022-02-22
0