Hampir lima menit hanya ada suara tangis bunda di ambang pintu, tubuh Devan basah dipenuhi dengan keringat dingin, tangannya gemetar dan tak berani menatap wajah ayahnya yang merah padam. Lapisan besi mengkilat itu seakan adalah simbol jika ayahnya saat ini dengan serius.
"Ayo bunuh ayah!" Ayah meletakkan pisau itu di telapak tangan Devan. Tubuhnya ikut merosot dan duduk bersila tepat di depan putranya.
Bunda semakin histeris. Ia tak sanggup menyaksikan Ayah dan Devan itu saling menantang.
"Ayah, Kakak, kalian ngapain?" Syakila datang ikut memeluk bundanya, menutup mata yang sudah dipenuhi cairan bening. Seumur hidupnya baru kali ini melihat ayahnya marah dan seserius itu.
"Kakak, buang pisaunya!" Suara Bunda semakin lirih.
Masih tak ada pergerakan antara keduanya, mereka masih saling sesumbar satu sama lain. Meskipun Devan diam, hatinya sudah menjerit dengan posisinya yang merasa terpojok.
Semakin lama suara Bunda habis, pandangannya tampak redup dan tubuhnya akhirnya lemah. Kedua kakinya lentur dan tak bisa menopang tubuhnya.
"Bunda…" teriak Daffi meraih tubuh bundanya yang terhuyung.
Pisau yang ada di tangan Devan terjatuh seketika, semua mata tertuju pada Daffi yang membopong bundanya menuju ranjang.
Ayah nampak panik dan mendekap Bunda yang sudah berada di tempat pembaringan. Syakila berlari mengambil stetoskop untuk memeriksa bunda. Daffa memijat kakinya, sedangkan Daffi membuka hijab bunda dengan perlahan. Asyifa menyelinap masuk dan duduk di tengah-tengah kakak kembarnya.
Dulu Syakila dan Raisya sempat debat karena cita-cita yang sama, dan akhirnya Syakila menjadi dokter umum, sedangkan Raisya menjadi dokter spesialis mata.
"Bunda nggak papa, Yah. Hanya terlalu lelah." Syakila merengkuh tubuh Ayah dari samping meyakinkan untuk tetap tenang, lalu beralih kakaknya.
"Semangat…." Devan membalas dengan sunyuman manis.
Sebagai anak perempuan yang paling besar, Syakila juga ikut merasakan pusing dengan masalah yang membelit keluarganya.
"Ini semua salah ayah," ucap ayah dengan suara serak. Sedikitpun tak melepaskan jemari bunda dari genggamannya.
"Tidak!" tukas Devan, "aku yang salah sudah membuat bunda seperti ini."
Syakila yang sudah berada di belakang pintu terpaksa menghentikan langkahnya saat mendengar suara yang saling bersahutan.
"Cukup, Yah, Kak. Lebih baik kita tunggu bunda sadar."
Daffa dan Daffi saling pandang.
Apakah kita nanti juga akan seperti kak Devan?
Daffi mengangkat kedua bahunya, padahal Daffa tidak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya, tetapi Daffi sudah paham dari sorot mata Daffa yang tampak buram.
Entahlah, kalau begitu kita harus secepatnya cari pacar yang kembar juga, kalau perlu kawin lari, pulang pulang bini kita sudah bunting, biar ayah gak bisa memaksa kita.
Asyifa mencium pipi Bunda dengan lembut, mengabaikan mereka yang sedang bergelut dengan pikiran maiang-masing.
Suara ponsel berdering, Daffa dan Daffi langsung menatap Devan, begitu juga dengan Syakila, mereka sangat hafal dengan bunyi ponsel sang kakak.
Devan meraih ponselnya dari saku celana lalu menatap layarnya. Ternyata nama Alisa yang berkelip di sana.
Merasa sangat bising Devan menolak panggilan tersebut.
Maafkan aku, lirih hati Devan.
Alisa yang ada di seberang sana terkejut dan menatap benda pipihnya berulang kali, setelah itu menepuk kedua pipinya.
"Aku nggak mimpi, Devan menolak panggilanku. Ada apa dengannya?" Tanda tanya mulai memenuhi dada Alisa. Selama berpacaran, sedikitpun Devan tak pernah mengabaikannya, apalagi sampai menolak panggilannya, dan menurutnya ini sangat aneh.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lima belas menit berlalu, Bunda mengerjap ngerjapkan matanya dan perlahan membukanya dengan lebar.
"Alhamdulillah, akhirnya bunda bangun juga."
Dada Devan merasa lega, rasa takutnya merangsur menghilang dari benaknya. Raisya kembali periksa Bunda nya dan memberikan obat.
"Bunda, maafkan Ayah."
Ayah kembali memeluk istrinya dengan erat setelah Syakila mundur.
Bunda hanya mengulas senyum. Lidahnya masih sangat berat untuk mengucap.
Di antara sekian banyak putra dan putrinya, yang pertama kali Bunda perhatikan adalah Devan yang berada di belakang ayah, pria tampan itu menundukkan kepalanya dengan tangan saling terpaut.
"Ayah, Bunda ingin bicara dengan Devan, berdua saja."
Ayah mengangguk dan mendekatkan bibirnya tepat di telinga Bunda.
"Aku percaya, kamu bisa menjelaskan semuanya," bisik ayah yang tak bisa didengar oleh satupun putra putrinya.
Ckckck si kembar berdecak, ia merasa tersisih lagi.
Sebelum semua pergi dari kamar itu, satu persatu memberi pelukan hangat untuk bundanya.
Kini hanya tinggal berdua, Devan melepas sepatu yang dari pagi menghiasi kakinya, dengan sigap ia ikut naik dan duduk di samping Bunda yang masih dalam keadaan terbaring lemah.
Devan menghela napas panjang, meredakan hatinya yang masih bergemuruh, dari raut wajah sang bunda, ia menangkap ada sebuah harapan besar padanya.
"Apa Devan sayang sama bunda?"
Devan mengangguk cepat, baginya itu pertanyaan yang sangat konyol yang pernah ia dengar dari bibir bundanya.
"Kalau begitu Devan mau, kan menikah dengan Raisya?"
Berbanding balik, jika di depan ayahnya Devan langsung membantahnya, kini ia tampak ragu, sebisa mungkin ia menjaga hati orang yang sudah melahirkanya.
Devan mendongak, menyelaraskan hati dan pikirannya yang sempat bertolak belakang.
"Kasih aku penjelasan, kenapa tiba tiba ayah tidak merestui hubunganku dengan Alisa?"
Hening tercipta, Bunda masih menyusun kalimat yang akan diucapkan, ini bukan masalah yang sepele, dan Devan harus bisa mencerna dengan baik supaya tidak salah paham.
"Mamanya Alisa itu adalah mantan istri Ayah."
Devan mengerutkan dahinya dan tersenyum tipis, kepalanya terus menggeleng tak percaya. Ia tak mengerti dengan apa yang diucapkan bundanya. Yang ia tahu selama ini hanya bunda nya lah satu-satunya wanita yang hadir di kehidupan ayahnya.
"Bunda jangan bercanda? Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Aku sudah dewasa dan bisa menentukan hidupku sendiri, bukan harus dengan pilihan ayah."
Bunda menepuk-nepuk punggung tangan Devan. "Bunda nggak bercanda. Itu fakta yang terjadi di masa lalu ayah, dan bunda rasa itu sudah cukup menjelaskan kenapa ayah tidak menyetujui hubungan kamu dan Alisa."
Devan mengacak rambutnya, ia semakin frustasi mendengar penjelasan sang bunda yang menurutnya tak masuk akal.
Janji yang pernah diucapkan, masa depan yang pernah diimpikan, wanita cantik yang selalu diharapkan kehadirannya untuk menjadi ibu dari anak-anaknya harus lenyap hanya dengan satu alasan yang masih sulit dimengerti.
Maafkan Bunda, karena tidak bisa membantu kamu.
"Kalian ngapain di sini?" Ayah menarik kerah baju Daffa dan Daffi yang berada di depan pintu kamar, Entah kenapa si kembar itu selalu saja kepo dengan apa yang dibicarakan bunda dan kakaknya.
Daffa dan Daffi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tadi mau nangkap cicak, Yah."
"Alasan," sahut Asyifa yang berada di bawah ketiak ayah.
"Bilang saja mau nguping," lanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
List Nabilla
gregeeeeetty
2023-06-30
2
Dwi Hartati08
Daffa Daffi yang bikin mehek²
2022-09-02
0
Dwi Hartati08
ckckckck
2022-09-02
0