Tok!
Tok!
Tok!
“Direktur, ini aku, Robin” kata Robin, sebelum masuk ke dalam sebuah ruangan. Robin berdiri di depan pintu coklat dengan papan tanda bertuliskan, Direktur Golden Luxury Hotel. “Masuklah...” jawab seseorang dari dalam ruangan.
Robin segera membuka pintu dan melangkah masuk. “Kau memanggilku?” tanya Robin, usai dirinya berada di dalam. Sebuah kursi berwarna hitam, membelakangi tempat Robin sedang berdiri. Pria yang ada di kursi tersebut, masih berada di posisi yang sama.
Dengan cahaya yang sedikit sekali masuk dari jendela kantor, ruangan Direktur terasa lebih menegangkan. Tak terdengar suara apapun, di sana. Hanya terlihat seorang pria yang masih memegangi dagunya, tanpa terburu-buru berbalik. Dia pun, dikelilingi oleh kegelapan hingga wajahnya tak kelihatan.
“Bagaimana dengannya?” jawab Direktur balik bertanya. Suaranya, terdengar berat dan berwibawa. “Dia sudah membaik. Namun tentu, dia masih agak syok. Karena itu, aku tidak bisa memaksanya untuk datang kemari” lapor Robin. Direktur terlihat mengangguk, meski tertutup kursinya yang lebih besar.
“Tolong, kau perhatikan dia. Aku tidak ingin, dia dalam bahaya sekali lagi. Dan... Maximilien?”
“Max sedang di beri hukuman. Dia berada di tahanan bawah tanah. Ku kira, hal itu sangat tepat. Mengingat, tindakannya dinilai terlalu membahayakan”
“Bagus. Kau sudah melakukan yang terbaik, Rob. Kita adalah klan terhormat. Tugas kita, memburu para iblis yang berbahaya. Selepas itu, Maximilien atau siapapun... kita harus tetap mengikuti protokol”
“Saya mengerti, Direktur. Saya akan menyelesaikan semuanya”
“Terima kasih banyak, Rob. Jika dia sudah kembali sehat, segera bawa kemari” pinta Direktur. Robin tampak mengangguk. “Pastikan, tidak ada yang bisa masuk ke dalam ruangannya. Selain, kau dan aku untuk memeriksa” tambah Direktur lagi. Robin kembali mengangguk.
“Kalau begitu, saya permisi” pamit Robin. Direktur terlihat membalas dengan anggukan. Robin langsung keluar, meski bermuka agak dongkol. Dia menemukan Luc, asisten Direktur yang beberapa saat lalu, mendatanginya di ruangan Reine berada.
“Bilang pada Direkturmu. Dia harus belajar tata krama lagi” pinta Robin. Luc mengerutkan kening. Dengan tubuh sebesar itu, dia lebih mirip seorang pelindung daripada asisten. “Apakah itu, sikap yang hormat untuk atasanmu?” balasnya tak lama.
Robin menghela nafas. Sia-sia berbicara pada Luc, si pria kaku. “Auh, lupakan saja!” seru Robin makin bertambah kesal. “Tuan Dimont, tolong katakan maksud anda dengan jelas” tegas Luc masih ngotot. Robin menggeleng kuat sembari melangkah pergi.
“Tuan Dimont!” panggil Luc kencang. Dengan suara yang terdengar lebih berat dan lantang dari suara milik sang Direktur, Luc membuat Robin berjingkat. Suaranya menggema, bak petir di siang bolong.
Refleks, Robin berbalik kembali. “Direkturmu, tuh... Kalau bicara, sebaiknya menghadap ke lawan bicaranya. Sikap membelakangi lawan bicara itu, bukan sikap yang baik. Apalagi, setelah ini, kita akan kedatangan pegawai baru. Jadi, ya... itu saja” keluhnya. Mendengar permintaan Robin, Luc terlihat melempar tatapan tajam.
Tapi tolong, jangan salah paham. Dia bukannya sedang marah, kok. Ekspresi tersebut menunjukkan bahwa, Luc sedang serius mendengarkan lawan bicaranya.
Dan tak lama kemudian, Luc tampak mengangguk. “Akan saya sampaikan” ujarnya. Robin melambaikan tangan, tanda bahwa keluhannya mungkin tak diperlukan. Jadi, dia menolak jika Luc menyampaikannya ke Direktur. “Aku mungkin, hanya terbawa suasana. Karena pertama kalinya kita merekrut pegawai, jadi suasana hatiku agak tak karuan. Abaikan keluhanku” kata Robin kemudian.
“Saya mengerti, Tuan Dimont! Saya akan mengabaikannya dan berpura-pura melupakan segala hal yang anda katakan barusan” tegas Luc kembali membuat kaget. Dan sekali lagi, Robin tampak berjingkat. “Sepertinya, kelakuanmu juga harus di perbaiki lagi. Dasar...” gerutu Robin.
“Maaf, apa yang barusan anda katakan? Saya... tidak dengar” tanya Luc kebingungan. Namun, Robin memilih untuk berbalik dan melangkah pergi. Dia melambaikan tangan, meninggalkan Luc yang masih bergelut dengan rasa ingin tahunya.
~~ Beberapa hari kemudian ~~
Kondisi Reine, berangsur-angsur pulih. Seperti yang telah di perjanjikan, Reine dibawa ke sebuah ruangan untuk mendengar segala penjelasan. Salah satunya, mengapa dia tiba-tiba berada di ruangan yang asing tersebut.
Di temani Robin, Reine melangkah menuju ruangan Direktur. Harusnya, pergi menemui Direktur di ruangannya, bukanlah pengalaman untuk pertama kalinya. Sebagai seorang pegawai yang tiap hari bersentuhan langsung dengan para pelanggan, Reine tentu sering dipanggil ke ruangan Direktur untuk memberikan laporan.
Meski tidak setiap hari, Direktur selalu mendengar laporan secara langsung dari para pegawai. Tapi, melihat lorong yang asing di sepanjang perjalanan, membuat Reine cukup tegang. “Ini... bukan ruangan Direktur yang sedang kupikirkan, bukan? Apaan dengan dinding kayu itu? Jalan dihiasi dengan karpet merah? Haaaahh? Sejak kapan berubah? Cepat sekali berubahnya?!” batin Reine bingung.
Usai Robin mengetuk pintu dan menyebutkan namanya, pintu terbuka. Reine sempat melihat papan nama yang tergantung di pintu. Membuat Reine kembali bertanya-tanya. “Direktur, Golden Luxury Hotel. Benar, lho. Ini ruangan Direktur Deval. Tapi kenapa... warna pintunya jadi gini?” pikirnya.
Reine melihat seseorang tampak duduk di sebuah kursi hitam berukuran agak besar. Walau pelan, Reine mendengar Robin mengeluh dengan berkata, ‘Ck!’. Entah, mengapa dia yang dari awal terlihat sopan, berubah kesal.
“Dia sudah datang, Direktur” ujar Luc. Rupanya, pria bertubuh besar itu, telah berdiri di sebelah meja kerja Direktur. “Ah, ya...” balas Direktur pelan. Masih membelakangi lawan bicaranya, Direktur mulai mengatakan sepatah kata.
“Nona Dallaire, bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?” tanya Direktur. Dia mencoba terdengar ramah. Tapi, tidak dengan ekspresi Robin. Dia makin dibuat kesal, dengan tindakan atasannya tersebut.
“Direktur, Nona Dallaire ada di sini” ucap Robin tenang. “Ya, aku tahu” tanggap Direktur, tanpa mengubah posisi. “Dia, ada di sini, Tuan Deval” kata Robin lebih tegas. Dia tampak menatap tajam, ke arah Direktur yang masih tak berbalik.
“Direktur sudah tahu, Tuan Dimont” celetuk Luc, mencoba mengambil alih. “Direktur?” panggil Robin bersikeras. “Dia sudah tahu...” “Berbaliklah!” potong Robin kesal. Luc terkejut, saat melihat Robin tampak marah. Namun, Direktur tetap tak kunjung menyetujui permintaan Robin.
Robin memutar bola mata sembari menghela nafas. Dia menatap ke arah Luc, mencoba untuk memberikan kode. Sayangnya, Luc juga tak berani meminta Direktur agar berbalik dan menghadapi lawan bicaranya.
Melihat pertengkaran konyol tersebut, Reine tak habis pikir. Robin yang ngotot. Dan Direktur yang kekanak-kanakan, bersikeras menolak tanpa adanya alasan. Terlebih, Reine juga merasa, Direktur tak mau melihat ke arahnya. Mungkin... enggak level?
“Direktur...” panggil Robin mulai mengendalikan emosinya. “Aku mengerti! Dasar...” keluh Direktur. Dia akhirnya, mengalah. Dengan langkah berat, Direktur memutar kursinya. Menatap ke arah Reine, yang berdiri berada di sebelah Robin.
Ketika kedua mata Reine bertemu dengan kedua mata milik Direkturnya, dia terkejut. Bak ditampar dengan keras oleh seseorang, dia terkejut melihat wajah sang Direktur. Bahkan ekspresi yang keluar dari wajah Reine, langsung bisa ditebak.
Syok.
Reine sangat syok, hingga tak mampu berkata-kata lagi. Dia hanya berdiri mematung dengan mulut membentuk, O. Jiwanya, seperti sudah keluar dari tubuh.
“Hai, Miss Dallaire. Bagaimana kabarmu? Keadaanmu saat ini, sudah jauh lebih baik, bukan? Aku... mengkhawatirkanmu”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
R yuyun Saribanon
ribet...muter kaya gangsing
2022-10-11
1