~~ Author POV ~~
Reine terbangun dari tidurnya yang panjang. Setelah pingsan di hari insiden tersebut terjadi, dia telah menghabiskan waktu di tempat tidur selama tiga hari lamanya. Bahkan saat ini, dia sedang masih dalam tahap pemulihan.
Beberapa kantong infus, tampak memenuhi tong sampah sebelah tempat tidur yang telah digunakan untuk Reine. Ketika mendapati dirinya berada, Reine mendadak kebingungan. Dia berusaha bangun dari tempat tidur, meski kepalanya berputar-putar.
“Di mana ini? Berpikirlah, Rei. Ayo, berpikir” ucap Reine sembari menatap ke sekelilingnya. Ornamen yang menghiasi ruangan tersebut, berbeda dengan ruangan lain yang Reine kenal. “Yang jelas, ini bukan kamarku. Klinik hotel? Bukan. Salah satu kamar hotel? Tidak. Bukan. Jadi, ini di mana...” rengek Reine makin panik.
Reine tidak berhasil mengidentifikasi di mana keberadaannya. Namun, dia tak menyerah. Dia berusaha untuk mencari tahu, lewat hal lain. Reine tampak turun dari tempat tidur.
Dia melepas paksa, jarum infus yang masih tertancap di tangannya. Reine bersikeras untuk mengamati lebih jauh. Semangatnya makin membara, usai menyadari sebuah lubang kecil di pintu.
“Yeah, lubang pintu! Bagus sekali. Dengan ini, aku bisa...” ujar Reine sembari mengarah ke lubang pintu. Sayangnya, walau dengan sekuat tenaga dia melangkah ke sana, keadaan tubuhnya sama sekali tak mendukung. Reine terjatuh, sebelum tiba di pintu.
Mendadak, pintu terbuka. Seorang pria tampak masuk. Namun, dia malah dikagetkan oleh keadaan Reine yang terjatuh di lantai ruangan. Kedua mata pria tersebut, terlihat melebar.
“Nona Dallaire!” pekik pria itu, panik. Dia buru-buru membantu Reine. Pria tersebut, langsung membopong tubuh Reine dan mengembalikannya ke tempat tidur lagi. Pria itu juga, kembali memasang infus ke tangan Reine. Dia terlihat ahli.
“Anda belum sembuh benar. Kenapa bangun dari tempat tidur? Melepas infus? Anda... tidak berniat untuk kabur, kan?” tanya pria tersebut dengan beberapa dugaannya. Reine yang tadinya diam, karena kaget, mulai berusaha membela diri. “Tentu saja! Aku kebingungan, karena tak bisa menebak di mana aku berada. Siapa saja, bakal mencari tahu. Kecuali, kalau aku bodoh” balas Reine kesal.
Pria itu malah menghela nafas. “Anda aman. Saya harap, anda dapat beristirahat lebih lama lagi. Keadaan anda saat ini, masih belum memungkinkan untuk bergerak” ujarnya. “Dari tadi, anda menyuruhku seolah, tidak memperbolehkanku keluar dari sini. Bahkan tempat ini, bukan rumah sakit! Jadi, kenapa aku harus mempercayai anda dan beristirahat di sini?!” tolak Reine.
Pria tersebut tiba-tiba membungkuk. “Sebelumnya, saya memohon maaf atas kejadian yang telah terjadi. Kami akan menjelaskan semuanya pada anda. Namun, akan kami lakukan itu, jika keadaan anda sudah stabil. Karenanya, anda harus beristirahat. Kalau tidak, kami tidak akan memberitahu anda tentang apapun. Termasuk, alasan mengapa anda berada di sini” sesalnya, yang berakhir berdiri tegap kembali. Kepala Reine, makin berputar-putar, usai mendengar penjelasan pria berkulit pucat itu.
Reine tampak mengerutkan kening, setelah menyadari ada hal aneh dengan si pria. “Siapa bilang, aku harus berada di sini hingga pulih kembali? Siapa yang memerintah anda? Hah?! Anda mau memanfaatkanku, kan... Iblis pengisap darah?” tebaknya. Dia menunggu, perubahan yang akan terjadi pada pria yang saat ini, ada di hadapannya tersebut.
Reine bersedekap sembari menatap tajam ke arah pria tadi. Dia menunggu. Mungkin, bakal ada taring atau sayap aneh yang muncul.
Persis seperti, wanita berselendang merah kapan hari. Reine jelas lebih mempercayai firasatnya. Firasat yang membuatnya yakin, kalau pria yang di hadapannya tersebut adalah iblis pengisap darah.
Bukannya terkejut ataupun berubah. Pria itu, malah menatap Reine dengan ekspresi tenang. Dia tak berusaha menampik perkataan Reine. Atau bahkan, menyerangnya.
Pria tersebut, hanya menatap Reine seperti biasa. Tak ada senyum maupun amarah di wajahnya. “Aku... benar, kan?” tanya Reine lagi. Meski perkataan yang keluar dari mulutnya terdengar ragu, Reine tetap bersikeras.
“Anda benar-benar keras kepala, ya... Padahal, kami bergerak sesuai dengan perintah dari Direktur, lho!” tanggap pria tadi. Reine mengerutkan kening, usai mendengar, ‘Direktur’ turut andil. “Sebentar, maksudnya... Direktur hotel tempatku bekerja?” tanya Reine makin bingung.
“Saya Robin Évrard Dimont. Saya diperintahkan oleh Direktur, untuk merawat anda”
“Iblis juga punya nama, rupanya. Nama anda bagus sekali”
“Jika itu adalah pujian, saya sangat berterima kasih...”
“Tentu saja itu pujian! Anda pikir, aku sedang mengejek?”
“Ternyata, anda juga bisa berteriak kencang, ya? Saya kira, anda...”
“Apaan dengan penilaian buruk anda itu? Aku lemah lembut, kok! Kalau anda... tidak menyebalkan, sih...”
Pria bernama Robin itu, tampak tersenyum. “Bagaimana kalau bicaranya, non-formal saja? Sepertinya, aku mulai cocok dengan sikapmu” ujarnya kemudian. “Hah? Cocok? Berbicara santai dengan iblis sepertimu saja, kayaknya aku sakit jiwa. Kau bilang, cocok? Periksa aku lagi. Sepertinya, aku masih benar-benar sakit. Rasanya, mau pingsan...” tanggap Reine, syok.
Dengan wajah berubah panik, Robin buru-buru memeriksa denyut nadi Reine. Kalau seperti itu, dia bak dokter-dokter profesional yang ada dalam drama. Reine memandangi wajah Robin dengan seksama.
“Kulit putih, mulus, tampan, tutur yang lembut dan bibir yang merah. Dia benar-benar... pria yang sempurna” batin Reine. Saat Robin membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, Reine sadar. “Eh? Dia kan, iblis? Astaga! Sadarlah, Reine! Sadarkan dirimu! Dia itu... iblis yang bisa kapan saja menggigit dan menghisap darahmu sampai mereka puas. Oh, astaga! Sial sekali, sih aku nih...” keluhnya.
“Kamu baik-baik saja. Meski masih agak tak sehat. Tapi kalau dibuat istirahat, semuanya bisa kembali pulih. Aku akan berada di sini, jika kamu membutuhkanku” terang Robin diikuti senyum lembutnya. “Oh, begitu kah? Baiklah...” balas Reine sembari kembali memejamkan kedua mata. Sementara, dia harus mematuhi perintah Direkturnya dulu. Setelah agak baik, semua yang terjadi pasti akan segera terungkap.
Saat berusaha untuk tidur, Reine mendadak mengingat sesuatu. Insiden buruk yang terjadi padanya, ketika hotel sedang kewalahan dengan tamu VIP. Insiden malam itu, yang berhubungan dengan...
Iblis pengisap darah.
Reine bangkit dari tempat tidur. Dia seolah, terlihat melompat. Robin yang masih duduk di sebelah tempat tidurnya, pun turut dibuat kaget.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Robin dibuat panik. “Kau!!?” pekik Reine diikuti telunjuknya, yang langsung ditujukan ke arah wajah Robin. Melihat tindakan Reine yang terlalu tiba-tiba, Robin tak bisa terus berlagak tenang.
Robin berdiri di samping kursinya. Dia menatap tajam ke arah Reine. “Malam itu! Malam itu, kau! Kau! Kau dan pastinya, dia adalah temanmu. Dia yang membuatku begini, kan? Temanmu, menghisap darahku malam itu. Akibat dari itu, aku tidak sadarkan diri dan merasa amat kesakitan hebat! Kau berpura-pura baik dengan memberiku perhatian, agar aku beristirahat di sini. Meski begitu...” lanjut Reine kembali terhenti. Dia terlihat mendekat ke arah telinga Robin sembari memegang bahu pria itu.
“Aku tidak akan pernah memaafkan perbuatan ini...” bisik Reine tegas. “Maafkan aku, Nona Dallaire. Tapi kamu, benar-benar harus beristirahat” tanggap Robin. Reine mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?” tanya Reine bingung.
Diam-diam, ketika Reine memegang kedua bahunya, Robin telah menyuntikkan sebuah suntikan bius. Dia melakukannya, agar Reine dapat beristirahat dengan tenang terlebih dahulu. “Maafkan aku...” sesalnya.
“Kau... jahat sekali...” ujar Reine pelan sembari memegangi kepalanya. Dia merasa, kepalanya makin nyut-nyutan. Pandangannya, juga mulai kabur. Dan dalam beberapa detik, Reine terjatuh ke pelukan Robin.
Robin memapah tubuh Reine, kembali ke atas ranjang. Dia memastikan, Reine tidur dengan nyaman. “Maafkan aku, Reine...” bisiknya pelan.
Tiba-tiba, pintu ruangan tampak terbuka. Robin buru-buru menoleh ke arah pintu. Seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit putih seperti milik Robin, terlihat berdiri diikuti tatapan serius.
“Direktur sudah menunggu” ucap pria yang baru datang tersebut. Suaranya, terdengar kaku. “Benarkah? Baiklah, aku akan pergi menemuinya. Setelah memastikan sesuatu” balas Robin sembari kembali menatap ke arah Reine yang tertidur. Meski Robin telah menanggapi, pria itu sama sekali tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Robin menengok ke arah pria tersebut. “Sekarang” kata si pria. Walau dengan suara pelan, kata-katanya terdengar tegas. Bak, sedang memerintah. Robin menghela nafas.
“Kadang aku bingung. Siapa Direktur yang sebenarnya. Kau atau Marc...” keluh Robin agak sebal. Dia tampak bangkit dan melangkah ke arah pintu. “Tentu, Tuan Deval adalah Direkturnya. Saya, hanya bawahan...” “Ya, ya...” sela Robin, sebelum pria itu kembali berubah kaku.
Robin melangkah keluar dari ruangan. Dia sempat berbalik sejenak, sebelum pria yang merupakan bawahan Direktur, menutup pintu ruangan. Entah, apa yang di katakan Robin dalam hati. Namun, ekspresi wajahnya terlihat cemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments