“Miss Reine?” panggil Lady Dia sembari menggoyang-goyangkan tubuhku. Dia tampak cemas, ketika tidak berhasil membuatku bangun. Sepertinya, aku terlalu larut dalam mimpi. Hingga rasanya, rohku tak sanggup untuk memanggil jiwaku kembali.
“Miss?” panggilnya lagi. “Ya, Lady...” jawabku lemas. Mendengarku membalas, Lady Dia tampak menghela nafas panjang. Seharian ini, aku telah membuatnya terus khawatir. Aku benar-benar merepotkan.
Saat terbangun, keadaan sudah gelap. Aku tahu, di mana keberadaanku saat ini. Masih di ranjang klinik. Dan sepertinya, Lady Dia mengawasiku sedari tadi.
“Kamu baik-baik saja, Reine? Tadi sepertinya, kamu sedang mengingau. Sulit sekali dibangunkan. Aku jadi... agak sedikit cemas. Maaf, sudah mengguncang-guncangkan tubuhmu” sesal Lady Dia. “Hm, tidak masalah. Melihat wajah anda, tidak ada... masalah yang terjadi, bukan?” tebakku berhati-hati. “Tentu saja, tidak. Semua bisa dihandle dengan aman. Tapi, aku lebih khawatir padamu, ketimbang tamu VIP. Miss Emma bilang, kamu syok dan harus diberi obat untuk menenangkannya” kata Lady Dia.
Aku mencoba menampilkan senyuman terbaikku. “Saya baik-baik saja, Lady. Mendengar anda begitu baik, saya jadi agak merinding. Biasanya, anda akan memarahi saya kalau tiba-tiba tertidur dan sulit dibangunkan” ucapku. Belum sempat menutup mulut, Lady Dia mendadak menjewer telingaku.
“Kau?! Aku adalah orang yang baik! Kau pikir, aku orang yang jahat? Hah?! Aku tidak akan marah dan memberimu pelajaran, kalau bukan kau yang melanggar aturan! Dasar!! Kalau kau tadi membiarkanku khawatir saja, mungkin aku tidak akan menjewermu, meski tahu kau sedang sakit!!” teriak Lady Dia kembali menjadi atasanku yang normal. Aku tertawa senang, usai berhasil membuatnya marah-marah. Bukan maksudku, sih. Hanya saja... kalau melihatnya enggak ngomel seharian itu... kayak ada yang salah.
Lady Dia terlihat masih marah. “Pulang saja, setelah ini. Tamu VIP, biar aku yang urus. Besok tidak usah masuk dulu. Istirahatlah” perintahnya sambil bersedekap. “Tapi... saya baik-baik saja” tolakku sopan. Lady Dia menggeleng, dia bersikeras tetap pada keputusannya.
“Aku tidak punya banyak waktu. Cepat pulanglah!” pinta Lady Dia. “Tamu VIP?” tebakku. “Hm, begitulah. Dia mendadak, mengadakan pesta besar-besaran di ballroom. Auh... untung saja, tim dapur sempat stok bahan makanan. Dan untungnya, semua koki sedang tersedia. Kalau tidak, kami bakal kewalahan” curhat Lady Dia.
Lady Dia tampak memegangi keningnya. “Benar-benar kacau... Dan kau tahu bagaimana ekspresi Direktur? Dia bilang, dia sangat bersenang-senang dengan pestanya. Enggak tahu apa, aku hampir tersedak ludahku sendiri pas tamu bilang, dia sudah mengundang seratus orang buat hadir di pesta?! Brengsek, memang!” lanjut Lady Dia, yang berakhir mengumpat. Kalau sudah begitu, biasanya memang keadaan hotel benar-benar kacau. Sebelum dia makin meledak, aku harus membuatnya tenang.
Usai itu, aku memutuskan untuk pulang. Tubuhku, masih lemas. Dari pada aku mengacau, lebih baik istirahat dulu saja.
Sepanjang perjalanan keluar dari klinik menuju ruanganku, aku berkali-kali merasa tak habis pikir. Bagaimana bisa, mentang-mentang tamu VIP gitu... tiba-tiba meminta hal yang semendadak itu? Gila, kali! Kalau manusia normal, pastinya enggak begitu kan? Semuanya, harus diatur dulu. Dibicarakan baik-baik.
Tapi jadinya, aku ingin melihat keadaan. Separah apa sih, sampai Lady Dia semarah itu? Buru-buru, aku keluar dari ruangan. Setelah mengunci ruanganku, aku melangkah diam-diam menuju ballroom.
Ada sebuah pintu, yang digunakan secara khusus untuk pegawai. Jadi, aku berusaha untuk tidak ketahuan dan mengintip melalui pintu tersebut. Untungnya, di sekitar pintu itu sepi. Jadi, aku bisa mengintip sebentar.
Saat melihat keadaan di dalam ballroom, akhirnya aku memaklumi umpatan Lady Dia. Dengan orang sebanyak itu? Si tamu VIP membuat pesta besar, tanpa konfirmasi sebelumnya? Pesta hanya disiapkan satu jam saja?! Memangnya, kami robot? Astaga, aku ikut muak jadinya.
Tapi ya... pada siapa aku harus mengeluh? Ini, sudah menjadi pekerjaan kami kan? Karena itu, Lady Dia memaksaku untuk pulang dan beristirahat. Benar. Dari pada aku makin pusing, lebih baik aku pulang.
Aku keluar dari pintu khusus karyawan, yang menghubungkan ke ballroom. Ketika keluar dan hendak menuju ke arah pintu belakang hotel, seseorang menabrakku. Akibatnya, tasku terjatuh. Saat itu terjadi, aku sempat mencium bau sesuatu. Namun, aku mengacuhkannya.
Pas nunduk untuk mengambil tas, kepalaku mendadak pusing lagi. Rasanya berputar-putar tak tertahankan. Sembari memegangi kepala, aku berusaha untuk mengambil tas.
“Anda... baik-baik saja? Maaf, saya tidak sengaja” sesal seseorang. Aku enggak sempat lihat wajahnya. Kupikir, orang itu pasti yang tadi menabrakku.
Malas membesar-besarkan masalah, aku memilih hanya membalasnya dengan anggukan kecil. Aku buru-buru pergi, usai tasku sudah berada di tangan. Kepalaku makin terasa berat saja, apalagi pas dibuat jalan.
Tiba-tiba rasa sakitnya makin tak tertahankan. Aku berusaha untuk memegangi kepalaku, agar aku bisa mengendalikan diri. Semuanya, tampak masih berputar-putar. Dan makin parah saja.
“Anda benar-benar baik?” tanya orang itu lagi. Suaranya, aku masih bisa mengenali. Suara dari orang yang menabrakku. Sepertinya, orang itu masih berada tak jauh dariku.
Tapi, kenapa? Kenapa dia enggak segera pergi? Padahal, aku sudah setengah jalan? Bodoh, ah. Yang penting, aku harus segera pulang dan...
Brakkkk!
“Nona?”
“Nona? Anda baik-baik saja? Nona?!”
Aduh, suara orang itu membuatku mual. Oh, aku jatuh ya? Tidak, aku harus segera berdiri.
Aku merasa, orang itu membantuku berdiri. “Sepertinya, anda tidak baik-baik saja ya?” bisiknya. Hah? Apa sih? Kenapa dia terasa makin dekat? Apa karena, dia membantuku berdiri? Tapi kan, aku sudah berdiri!
“Maaf!” seruku sambil berusaha menghindar. Lorong yang menuju pintu belakang hotel, memang gelap. Sepertinya, lampunya kembali eror. Sering sih, terjadi. Tapi, bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah... sekarang ini aku sedang melihat seorang pria tinggi, bertubuh atletis dan tentu saja, tampan. Hmm, ya, walaupun wajahnya terlihat agak pucat. Apa sakit, ya? Wajahnya benar-benar pucat, seperti orang sakit. Apa memang karena, saking mulus dan putihnya kulit pria itu?
Oh ya, masalahnya, tak ada orang lain selain karyawan, yang bisa melewati lorong ini. Para atasanku pun, tidak akan menggunakan pintu belakang, kalau mau pulang. Pasti, lewat pintu depan. Tapi, pria ini... kenapa dia berada di sini?
Dan dia, masih memegangi kedua bahuku lagi!
Pikirku, oh, mungkin pria ini tersesat. Atau mungkin, salah masuk pintu? Pasti, dia salah satu tamu yang lagi pesta di ballroom. Berarti, temannya tamu VIP, ya? Aku harus sopan nih!
“Maaf, anda tidak seharusnya berada di tempat ini. Apa mungkin, anda sedang tersesat? Jika anda mencari ballroom, dari sini, anda bisa langsung lurus saja dan masuk ke pintu yang ada di sebelah kanan” jelasku detail. Dia terus menatapku dengan intens, saat aku sedang menjelaskan. Pria itu hanya, tersenyum dan tak mengatakan apapun.
“Kalau begitu, saya permisi” ucapku pamit. Perasaanku enggak enak. Kalau tidak segera pergi, mungkin ada hal yang tidak bagus akan terjadi. Begitu, menurut firasatku. Kalau-kalau... dia iblis yang sedang menyamar, kan?
Eh, mana ada? Tapi, bodoh! Ada atau enggak, aku harus pergi. Ditatap dengan ekspresi yang begitu, membuat jantungku berdegup kencang tak karuan. Memang ya, kalau sudah iblis, terus ganteng, itu... damage-nya lebih berasa!
Masa iya, sih iblis? Ganteng begitu? Kalau iya, baru kali ini nih ketemu iblis seganteng itu. Apa? Kau bilang, kalau di gigit atau di sakiti iblis seganteng itu, kau bakal rela? Aku enggak, ih!
Asal kalian tahu ya, di sakiti iblis itu enggak enak. Mau seganteng apa itu, tetap enggak enak rasanya! Hati-hati! Jangan sampai kalian tiba-tiba ditarik, jatuh ke pelukannya, terus digigit. Sebaiknya, lindungi tubuh kalian saat itu terjadi.
Persis seperti, keadaanku sekarang. Eeeehhh, ya. Pria yang tadi itu, mendadak menarik tanganku. Terus, aku jatuh ke dadanya. Dan kedua mata kami, saling bertatapan. Duh...
Tubuhnya terasa dingin. Matanya merah. Dan bibirnya... mulai mendekat ke arahku. Dia mendorongku hingga tersudut di dinding lorong.
“Tu, Tuan, bisa tolong... lepaskan? Saya mau pulang” pintaku baik-baik. “Hmmm... melepaskanmu, ya? Biasanya sih, kalau sudah jatuh ke pelukanku begini... jarang-jarang ada yang lepas” jawabnya sok. Cih! Apaan?! Memangnya, kau yang merasa paling ganteng di dunia ini?!
“Ya, aku memang sering merasa begitu. Meski sebenarnya, aku enggak mau sombong. Tapi, yah... aku memang ganteng” ucap pria itu. Walah! Dia kok, bisa tahu aku ngomong apa? Aku tadi kan, ngomongnya dalam hati!
“Tidak usah kaget begitu. Karena kau sudah terpilih, jadi... nikmati saja...” ujarnya berakhir berbisik, tepat di telingaku. Orang ini... apa-apaan? Sumpah, aku merasa terganggu sekali.
Tanpa ragu lagi, aku langsung berusaha melepaskan diri. Sayangnya, cengkeramannya terlalu kuat. Secepat kilat, pria itu menyambar bibirku. Dia menggigit bibir bawahku hingga ku rasa, bibirku sobek.
“Hmmm...”
Eh?! Kenapa aku jadi mendesah gini?! Enggak, Reine! Bangun! Bangun dan pergi dari sini! Cepat!!!!!
Pria itu melepas bibirku sejenak. Dia tampak berpikir. “Mungkinkah kau...? Oh, menarik sekali. Akhirnya, takdir mempertemukan kita” ucapnya aneh. Tak lama, dia kembali menghabisi bibirku.
Semakin aku berusaha melepaskan diri, semakin cengkeramannya terasa makin kuat. Aku tidak bisa melakukan apapun, selain merasakan bibir bawahku mulai mengeluarkan darah.
Pria itu, menyesap darah yang keluar dari bibirku. Rasanya menyakitkan, tapi... kenapa aku merasa... tidak bisa bergerak untuk menamparnya atau apapun itu? Jangan-jangan... aku lagi-lagi sedang berada di bawah mantra?!
Kini, dia beralih ke arah leherku. Tepat, di leher samping kanan. Dengan langkah yang sama dengan bibir, dia menggigit dan menyesap darahku. “Hmmm!!” erangku kesakitan.
Apa-apaan ini? Jangan bilang aku...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Duyung kesayangan
Semngt kak
salam dari cinta berbeda keyakinan
2022-05-25
1