Mimpi buruk masa lalu 1
Fadal Gashani dan keluarganya menghabiskan masa liburan di pantai. Andhra kecil begitu bahagia dengan mainan di tangannya. Anak berusia delapan tahun itu pun dengan lihai memainkan sekop kecil dan beberapa cetakan untuk membuat istana yang terbuat dari pasir, dia juga membuat menara di setiap sisi istana.
Beda halnya yang di lakukan sang ibu, deru ombak di kakinya melarutkan pasir di pantai. Meski beberapa kali Diana menulis nama mereka, tetap saja hilang disapu air laut. Ibu yang tengah hamil besar itupun berjalan menikmati indahnya pantai. Sambil mengawasi Andhra kecil. Karna lelah berjalan, dia pun duduk di tepi anaknya.
"Wah istana yang begitu indah, Sayang."
"Ini istana untuk mama, di istana ini mama tidak akan tersakiti." Andhra sengaja bicara seperti itu karna, beberapa hari ini dia melihat mamanya sering murung dan menangis. Apalagi kemarin ketika pergi berdua dengan sang mama, Andhra menyaksikan sendiri papanya kepergok jalan berdua dengan wanita lain.
Mamanya langsung menarik lengan Andhra untuk dibawa pulang. Sampai dirumah mama berdiam diri di kamar sampai sore. Hingga papanya pulang dan berhasil membujuk mama untuk keluar makan malam.
Sekarang pun walau mereka berada di pantai yang sama, tapi mereka terlihat menjaga jarak. Andhra kecil mungkin mengerti keduanya sedang ada masalah. Dan itu tidak disukai Andhra, dia hanya sesekali meminta kedua orang tuanya untuk masih tetap bersama.
Fadal masih saja sibuk dengan handphonenya sedari tadi, dia bicara dengan orang di seberang sana. Entah apa yang dibicarakan.
Sampai Andhra memanggil papanya untuk bergabung.
"Papa sini dong, main bareng bareng sama Andhra sama Mama!"
"Iya, Sayang. Ini papa lagi telpon sama temen papa sebentar."
Fadal melihat kesedihan terlihat jelas di wajah istrinya. Dia juga tahu jika sang istri mengerti sekarang. Fadal berbicara dengan istri keduanya. Fadal begitu mencintai Diana, Istri pertamanya, tapi dia juga tidak bisa melepas istri kedua serta selingkuhan nya yaitu Hasma.
Tanpa sadar, Diana meneteskan air mata. Wanita mana yang tidak terluka, jika disaat kehamilan, membutuhkan perhatian penuh dari suaminya malah mengetahui suaminya memiliki istri lain. Tapi dia harus terlihat sebagai batu karang yang kokoh agar tidak digerus ombak.
"Mama, jangan bersedih ya, Andhra janji akan selalu di samping mama. Andhra akan selalu menjaga mama dan adik agar mama bangga memiliki Andhra."
Diana tidak menjawab apapun, dia meraih anaknya dan memeluk erat meski terhalang perutnya yang besar. Andhra melihat pria yang dipanggilnya papa itu sepertinya tak peduli lagi tentang keadaan ibunya. Dari situlah kebencian Andhra muncul. Otak Andhra yang masih kecil bisa menangkap ketidak pedulian papanya yang lebih memilih bicara dengan handphonenya daripada bergabung dengan mereka.
"Sekarang kita makan saja yuk nak, panggil papa kamu sana."
Diana menyiapkan makanan untuk mereka makan. Acara piknik yang mungkin akan membuat mereka bahagia nyatanya tidak untuk sekarang. Fadal diam tak lagi memperhatikan istrinya. Diana berusaha menekan dada atas rasa sakit yang menimpanya, demi Andhra yang terlihat bahagia.
"Kalau kita sering piknik seperti ini pasti seru ya pa." Andhra menyuapkan roti isi kedalam mulutnya. Fadal hanya diam tidak merespon ucapan anaknya, masih saja sibuk dengan handphonenya.
"Sayang, kalau makan jangan sambil bicara nanti kamu tersedak lho."
dengan senyuman hambar. Andhra semakin tak senang dengan sikap papanya.
Acara piknik itu pun berakhir setelah mereka makan. Dan takdir telah menulis bahwa itu piknik terakhir keluarga mereka.
Diana berjalan sambil sesekali memegangi perutnya. Harapan agar suaminya sekedar bertanya apakah dia capek, atau apa yang kamu rasakan, menguap seperti angin pantai.
Diana merasa sudah kehilangan suaminya. Dia merenungi setiap hal yang memungkinkan sang suami melirik wanita lain, mungkinkah karna wajahnya yang tak cantik lagi, atau karna badannya yang membengkak sebab hamil kedua, atau mungkin juga karena hamil, suaminya tidak puas ketika berhubungan badan. Semua pertanyaan yang berkecamuk membuat Diana berjalan gontai.
"Mama, mama tidak apa apa kan."
Andhra memegang badan ibunya agar tidak oleng, meski badannya kecil tapi dia yakin bisa menopang badan mamanya. Disaat itu Andhra melihat bayangan putih seperti terbang diatas kepala mamanya.
"Papa, papa, papa, bantuin mama pa," suara Andhra seperti hilang di telan bumi. Fadal sedikitpun tidak menoleh. Mata Diana kembali berkaca kaca.
"Sudahlah, Nak, kamu saja bantu Mama yuk!" berjalan lagi dengan tertatih.
"Kenapa lama sekali kalian berjalan, ayo cepat kita pulang. Satu jam lagi aku harus pergi keluar kota untuk menangani pekerjaan disana."
Bukan perhatian yang di dapat malah pernyataan yang mengejutkan.
"Kanapa bisa mendadak begini Mas? bukankah Mas juga janji sama Andhra untuk pergi ke Dufan nanti malam?"
"Namanya juga pekerjaan, Ma, itu juga untuk kita semua," menjawab acuh.
"Tapi, Mas."
"Jangan manja deh, Ma."
Diana mengurut dadanya berulang, air mata yang hampir saja terjatuh dia tahan sekuat tenaga. Beberapa kali mendongakkan wajahnya agar air itu tidak tumpah.
'Rasanya begitu sakit mas, sangat sakit, kau terlalu kejam mas.'
Sampai di rumah, Fadal langsung menuju kamarnya mandi dan bersiap untuk pergi.
"Mas, kenapa mendadak, Mas? Apakah tidak bisa ditunda sampai besok," Diana dengan gusar mengemasi pakaian suaminya.
"Sebenarnya sudah kemarin, Ma, hanya saja aku belum sempat menyampaikannya pada Mama."
"Belum sempat kata Papa? Bahkan Papa memang tidak pernah bicara dengan mama. Apa kesalahan mama, Pa? Apa yang membuat Papa seperti ini? Apakah karena mama sudah tidak cantik lagi?"
Diana mengatakan apa yang mengganjal dihatinya.
"Mama, jangan mulai ya, Ma, papa mau pergi bekerja, itu juga untuk kebutuhan kita semua."
"Pergilah pa, pergilah, dan jika setelah ini kita tidak bertemu, maka jangan sampai papa berharap mama akan kembali. Mungkin cinta yang kumiliki begitu kuat untuk Papa dan sekuat itu pula mama akan menjaganya. Tapi jika Papa yang memilih pergi, rasa sakit inipun sebesar rasa cinta mama."
"Kenapa Mama bicara seperti itu?" mulai luluh.
"Apa yang bisa mama lakukan, Pa? Mama sudah terjerat cinta Papa dan terjatuh begitu dalam, hingga mama sulit untuk bangkit lagi, bahkan sekedar menoleh pun mama tak sanggup apalagi berpaling. Ketika papa masih berjalan beriringan dengan mama, mama merasa mampu menghadapi badai sekalipun, tapi saat Papa sudah berpaling mama rasanya tak sanggup lagi walau hanya menghirup udara, semua terasa sesak mas, sangat sesak."
Memukul dadanya berulang kali, nafas yang memburu membuatnya semakin sakit.
"Maafkan papa, Ma, maafkan papa."
Bersimpuh di depan sang istri.
"Sudah terlambat, Pa. Mama sudah rela jika Papa bersamanya, pergilah," suara lirih itu terdengar tegas namun menyanyat.
"Mama, aku akan putuskan untuk bersama Mama dan menceraikan wanita itu. Tapi sebelum itu terjadi, izinkan papa pergi hari ini Ma, karna semua tergantung hari ini. Jika berhasil, keluarga kita akan utuh lagi seperti sedia kala. Papa janji ma, tapi aku mohon, mama selalu mendukung papa."
Menyakinkan istrinya, dan mencium kening dengan lembut. Di balik pintu itu pun Andhra mendengar setiap percakapan orang tuanya, di umurnya yang masih terlalu kecil, dia mencoba untuk memahami apa artinya. Tangannya mengepal erat.
Siang itupun Fadal pergi keluar kota. Andhra dan Diana melepas kepergian Fadal di depan pintu. Andhra langsung masuk dan menjatuhkan badannya diatas kasur. Matanya mulai terpejam, rasa lelah membuatnya cepat tidur.
Tak berapa lama terdengar suara pintu digedor dengan keras. Andhra yang belum sepenuhnya sadar. Andhra mengucek matanya sebelum berdiri. Saat membuka pintu, Andhra langsung mendapati pengawalnya meletakkan telunjuk di mulutnya. Suara tembakan menggema di dalam rumah. Beberapa benda jatuh terdengar jelas.
Heru menutup mulut Andhra, keduanya mengendap-endap melewati dua orang yang berbaju hitam itu. Sampai di gudang, Andhra di masukkan ke plafon oleh Heru. Setelah itu, Heru naik membimbing Andhra untuk mengikutinya.
To be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments