Suasana mansion benar benar tidak seperti biasanya. Ingrid semakin mengacuhkan Axel. sementara sang empu terlihat terlarut dalam kemurungan. setelah semua orang selesai makan malam barulah Axel turun dari kamarnya. menatap sang ibu yang tak kunjung berbicara padanya.
"Momy...." Membuntuti Ingrid yang berjalan menuju dapur. "Momy... Axel tidak ingin menikah."
Ingrid diam, ia tak memberikan tanggapan mengenai itu. "Kenapa momy terus mendiami ku seperti ini. momy...."
"Jangan merengek seperti bayi, menjauh dari ku." Tutur Ingrid pedas. membuat bibir itu mengerucut.
"Apa bagusnya pernikahan. Axel bisa menikah kapan pun saja, momy tidak ingat ada tiga hal yang mustahil di dunia ini. kuasa tuhan, ketetapan Tuhan dan menolak Axel Devo Emilio. jadi momy tidak perlu khawatir, aku akan menaikah jika aku ingin menikah." Ujar nya dengan penuh percaya diri. Ingrid tak meladeninya ia pergi begitu saja setelah meletakkan piring piring di tempat nya semula.
Demi membuat Axel mengalah segala daya upaya Ingrid lakukan. gadis itu tak selera makan di buatnya. awalnya ia tak masalah jika putra nya itu memang tak ingin menikah, namun kabar beredar membuat telinga nya sakit. teman teman sosialita nya menyebutkan bahwa Axel mengidap kelainan seksual. bagaimana ia tidak kesal, bagaimana pun juga ia harus membujuk putra nya itu untuk menikah. agar mulut mulut yang bertutur di luar sana terbungkam oleh kenyataan.
Terlalu berlarut dengan fikiran nya Ingrid sampai melewatkan jadwal makan. di tambah lagi Alex yang sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota, ia jadi tak terlalu memperhatikan kesehatan nya. karena biasanya pria itu yang akan sangat cerewet jika Ingrid tak kunjung makan.
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi Ingrid merasa kepalanya berdenyut serta mata yang berkunang kunang. baru saja akan menggapai handle pintu ia sudah terjatuh dan kehilangan kesadaran. pandangan nya gelap ia tak bisa melihat apa pun.
Lisiya kebetulan baru keluar dari kamarnya melihat momy yang sudah terjatuh di atas lantai membuat pikiran nya buyar ia segera berteriak meminta pertolongan. lisiya membawa momy nya menuju rumah sakit, dengan perasaan gusar ia pun mencoba untuk menelpon Daddy nya. setelah terhubung pria langsung bertanya.
"Ada apa nak?."
"Dad momy pingsan."
"APA! bagaimana bisa!."
"Aku tidak tau, sekarang aku sedang berada di perjalanan menuju rumah sakit."
"Ok tetap tenang, katakan kepada sopir untuk berkendara dengan fokus. dad akan menelpon dokter Gabriel dan akan pulang segera."
"Hmm hati hati di jalan."
Calya baru saja keluar dari ruangan operasi. ia tengah membersihkan tangan nya serta mengganti seragam. tak berapa lama telpon nya bergetar. terlihat kepala rumah sakit atau lebih tepatnya paman Gabriel menelpon nya beberapa kali namun ia tak bisa mengangkat nya tadi.
"Halo paman?."
Pria itu kini sedang berada di Malaysia. "Kau dari mana nak?." Nada bicaranya terdengar sangat khawatir.
"Aku baru saja keluar dari ruangan operasi. ada masalah paman?."
"Paman ingin meminta tolong pada mu, sebentar lagi akan ada klien paman yang datang. bisa paman serahkan tugas ini pada mu? karena paman hanya percaya pada mu."
"A' ya paman." Sebenarnya ia memiliki janji temu dengan seseorang tapi ya sudahlah.
"Paman berpesan, tolong perlakukan mereka dengan sangat baik. mereka dari keluarga terpandang dan terhormat, lakukan yang terbaik nak."
"Hmm akan ku usahakan."
Ingrid menarik jas putihnya dan segera memeriksa ruangan yang akan di tempati klien paman nya.
Tak berapa lama pasien pun tiba, begitu banyak bodyguard yang menunggu di depan rumah sakit. keluarga ini memang tidak main main, begitulah yang Calya fikirkan. ia segera menaikkan masker nya. mengiringi brankar dorong yang akan di bawa menuju ruangan yang sudah di sediakan.
Calya menatap jengah, banyak sekali bodyguard yang masuk ke ruang itu. ia pun melirik suster di sana. suster kemudian memberi instruksi. "Sebaiknya tidak terlalu banyak yang masuk nona." Ujarnya kepada gadis muda yang terlihat sangat khawatir di sisi ranjang.
"Tolong keluar, berjaga dari luar." Atas perintah nya orang orang itu pun keluar.
Axel mengumpat tatkala ia mendengar berita mengenai ibunya. ia segera bergegas dan menelpon kepala rumah sakit yang menjadi dokter pribadi mereka selama ini. namun pria itu tak mengangkat. begitu sampai ia segera berlari menuju ruangan Ingrid dengan sangat tergesa gesa.
Axel masuk dengan mendobrak pintu ruangan membuat semua orang menatap nya. terlihat Felisiya telah bercucuran air mata. mata Axel semakin menajam tatkala ia mendapati dokter lain yang menangani ibunya.
Tak berapa lama dokter Gabriel menelpon. Axel langsung memakinya. "Sialan! di mana kau, bisa bisa nya kau menyerahkan tugas mu kepada dokter yang tak terpercaya." Perkataan itu membuat pergerakan Calya terhenti. ia merasa di rendahkan.
"Dokter?." Tegur suster yang setia berdiri di samping nya. Calya sudah memeriksa, wanita itu hanya pingsan karena asam lambung nya naik. mungkin ia terlambat makan atau bisa jadi melewatkan jadwal makan nya beberapa kali.
Calya menatap pria itu, rahang nya mengetat. manik pemuda itu pun turut menatapnya tajam. "Aku akan menuntut mu jika terjadi sesuatu kepada ibuku!." Itu lah Kalimat terakhir yang Calya dengar sebelum pria itu menutup telpon nya.
"Aku tidak bisa melanjutkan penanganan ini." Perkataan Calya membuat mata Felisiya membulat.
"Maaf nona, dokter hanya bisa merawat kepada pasien yang percaya kepada nya." Felisiya pun menatap tajam kakak laki lakinya itu. tentu saja dokter tersebut tersinggung fikirnya.
"Dokter jangan terlalu memikirkan ucapan nya, tolong tangani ibuku lebih dulu."
Mata Axel terus menatapnya tajam. angkuh sekali dia, fikir pemuda itu kemudian. "Tolong aku." Lisiya terlihat sangat memohon, ia pun segera menangani lebih lanjut.
Terlihat pria itu diam dan duduk di sisi brankar ibunya. "Tidak ada yang serius, asam lambung pasien naik. mungkin beliau melewatkan jadwal makan nya beberapa kali." Setelah mengatakan hal itu Calya pun bercakap cakap dengan suster di sana untuk melakukan ini dan itu.
Selesai dengan pekerjaan nya Calya segera undur diri. namun suara bass itu mengalun membuat langkah nya terhenti. "Tetap di sini, kau harus memastikan momy ku siuman baru kau boleh pergi."
Calya menggertak kan gigi nya, ini terlalu memuakkan. apa semua orang kaya bersikap seperti itu? akhirnya ia pun memilih untuk tinggal, duduk di salah satu kursi dengan manis. terlihat Axel menatap nya lekat, tapi pemuda itu tak kunjung memecahkan teka-teki di kepala nya. sebab dokter muda itu masih menggunakan maskernya.
Calya menatap jam tangan nya beberapa kali. pintu di ketuk membuat ketiga netra itu menatap ke arah yang sama. terlihat dokter Steven menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Bisa bertemu dengan dokter Calya Ainsley Paolo?." Ujar sang empu dengan tersenyum manis.
"Aku di sini." Melambaikan tangan nya kemudian.
Axel terus menatap kedua orang itu lekat lekat. "Bagaimana janji kita dokter?."
"A' aku masih memiliki tugas di sini. ini adalah pasien paman Gabriel. aku akan menemui mu saat tugas ku selesai."
Steven terlihat mengangguk beberapa kali. "Ok aku menunggu mu."
Setelah kepergian Steven mata lisiya menatap lekat ke arah dokter muda yang baru saja menangani ibunya. ia melangkah menuju Calya. "Perlu sesuatu?." Tanya Calya kemudian.
"Kau Calya? Calya Ainsley Paolo?." Lisiya terlihat begitu berbinar saat Calya mengangguk beberapa kali.
"Apa kau tidak mengenali ku?." Calya meneliti wajah cantik itu beberapa saat, terlihat tak asing tapi ia tak tau siapa gadis di depannya ini.
"Oh astaga Calya, aku Nathalie Felisiya Emilio. kau melupakan ku?."
"Lisiya?." Mata Calya melotot ia pun menurunkan masker wajahnya.
"Oh astaga kau tidak berubah sedari dulu tetap cantik. bagaimana kabar mu, kau berhasil menjadi seorang dokter?." Lisiya memeluk Calya erat mereka memang berteman sangat singkat. tapi cukup membekas di dalam hati.
"Ya begitulah."
"Kau pergi begitu cepat, baru saja pindah ke sekolah ku kau sudah pindah lagi. aku sangat sedih mendengar berita kau pindah." Calya tersenyum manis. tanpa sadar pria di sana menatap nya lekat dengan senyum miring.
"Aku sangat berharap suatu hari nanti bertemu dengan mu lagi, pokoknya setelah ini kita harus bercerita banyak. kau harus menghabiskan waktu mu dengan ku."
"Aku janji, jika tidak ada jadwal operasi aku akan datang menemui mu." Bibir lisiya tercebik, teman nya itu sudah memiliki kesibukan lain.
"Ok."
"Lisiya..." Terdengar lirihan dari Ingrid membuat ketiga nya mendekati brankar. Calya tersenyum."Ibu mu sudah baik baik saja, sebentar lagi akan ada suster yang datang membawa bubur. tolong berikan kepada beliau.jangan lupa obatnya, di minum satu hari tiga kali selesai makan." Lisiya mengangguk, setelah itu Calya pun pergi dari sana.
"Momy.... kenapa momy bisa sakit seperti ini." Ujar lisiya kemudian. "Apa ini ada sangkutannya dengan pernikahan kakak." Axel menatap lekat, menunggu Jawaban yang pasti dari momy nya.
Tak melewatkan kesempatan untuk membuat Axel bersalah Ingrid segera mengangguk. "Ya, momy mengkhawatirkan nya."
"Kakak memang jahat, apa susah nya menikah!." Setelah mengucapkan hal itu lisiya keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Axel dan momy nya.
"Sorry momy." Ia terlihat sangat bersalah sekarang. "Tapi Axel benar benar belum siap sekarang."
"Aku tidak meminta mu untuk menikah sekarang Axel, aku hanya ingin kau berkeinginan untuk menikah kapan pun itu. jangan pernah ucapkan jika kau tak ingin menikah seumur hidup mu."
"Ya, aku akan menikah suatu saat."
"Juga turunkan standar gadis mu, tidak akan ada yang sama seperti momy. jika pun wajah kami sama belum tentu sikap kami juga sama."
Axel mengangguk. "Ya, lagi pula momy tidak perlu khawatir tidak ada gadis yang bisa menolak diriku."
"Kabari momy jika ada yang menolak mu suatu saat, aku akan meminang gadis itu untuk mu." Ujar Ingrid sambil memijat dahinya, putra nya itu terlalu percaya diri.
"Mustahil, tidak akan ada wanita yang menolak putra mu ini. percayalah momy." Ujarnya, lihatkan dia sangat percaya diri.
"Hmm aku berharap suatu saat seorang gadis datang dan menurunkan kepercayadirian mu itu."
"Tidak akan pernah."
Setelah semua urusan Calya selesai, ia pun segera menghubungi Steven. keduanya membahas tentang donor jantung untuk ayahnya, lebih tepatnya tuan Paolo. selesai berbincang lama, Calya melihat jam nya ia harus kembali ke ruangan itu untuk memeriksa pasien nya lagi.
Begitu pintu di buka terlihat lah seorang wanita paruh baya yang terlihat masih sangat cantik di usia nya. wanita itu tersenyum ke arah calya. "Bagaimana keadaan anda nyonya?."
"Aku? sudah jauh lebih baik." Ingrid terus menatap gadis di depannya, mungkin jika masker yang menjadi penghalang itu di turunkan ia yakin wajah di balik nya teramat Cantik.
"Kau dokter baru di sini?."
"Tidak, sudah cukup lama. mungkin sekitar dua atau tiga tahun bertugas."
Ingrid meneliti gadis itu, cantik, sopan, good attitude, memiliki pesona yang memikat. dia berfikir, apakah putra nya suka tipe yang seperti ini?
"Wah sudah cukup lama, aku bertanya karena tidak pernah melihat mu. maaf jika kau tersinggung." Calya tersenyum manis, fikiran nya tentang orang kaya berubah. ternyata masih ada orang kaya yang memiliki hati seperti malaikat.
"Mungkin tak terlihat karna saya berada di ruang operasi. hampir setiap saat berada di sana."
"Dokter bedah?." Pertanyaan Ingrid di jawab anggukan kepala oleh Calya.
Manik Calya meneliti ruangan itu. tidak ada sesiapa pun yang menjaga wanita ini. ia fikir di mana lisiya dan pemuda angkuh itu. "Anda sendiri?."
"Ya, anak anak ku memiliki tugas penting. mungkin akan kembali sebentar lagi." Calya mengangguk, saat akan beranjak pergi pergelangan tangan nya di cekal dengan lembut. "Dokter bisa menemaniku? sampai salah satu anak ku kembali saja."
Calya menatap jam tangan yang selalu setia melingkar di pergelangan tangan nya. "Hmm baiklah, aku masih memiliki beberapa waktu sebelum masuk ke ruang operasi."
Ia pun duduk di sisi brankar Ingrid, menurunkan masker yang sedari tadi menutup setengah wajahnya. Ingrid terpukau, dokter muda itu terlihat sangat sangat cantik. ia semakin memikirkan hal yang tidak tidak di kepala nya.
"Apa dokter sudah menikah?."
"Belum nyonya."
"Sudah memiliki pacar ya?."
Calya tersenyum kecil, tidak ada sebelumnya pasien yang menanyakan hal itu. tapi ya sudahlah, ia selalu mengingat perkataan paman Gabriel untuk tetap bersikap baik kepada pasien nya yang satu ini. "Pacar? ah tidak nyonya, saya terlalu sibuk belajar hingga tidak memiliki pacar. lebih tepatnya membosankan bagi seorang pria."
"Itu tidak benar, mungkin mereka mengatakan hal itu karena mereka kesal karena kau terlalu sulit untuk di miliki." Calya merasa terhibur dengan perkataan wanita di sebelah nya. entah mengapa ia merasa nyaman berada di sebelah Ingrid. entah karena pembahasan mereka yang cukup menarik atau karena aura kasih dari Ingrid yang membuat Calya nyaman. entah apa pun itu yang pasti ia merasa nyaman, apa lagi sudah cukup lama ia tak merasa kehadiran sosok ibu di hidupnya.
Ingrid menaikkan posisinya di bantu oleh Calya juga. sekarang wanita itu sudah duduk dengan bersandar kan beberapa buah bantal. "Kau tau aku memiliki satu orang anak laki laki. dia tampan dan sangat baik hati, mau ku kenalkan dengan nya?." Calya tersenyum kecut, baik hati? ia tidak merasa begitu saat melihat pria yang datang tadi pagi. ia sangat kejam, angkuh dan seluruh kata yang keluar dari bibirnya pasti penuh dengan ancaman.
"Hmm, maaf tapi aku memiliki jadwal operasi yang padat." Terlihat wajah cantik itu tertekuk, seperti nya wanita itu bersedih akibat penolakan Calya. "T-tapi jika aku memiliki waktu luang aku janji akan berkenalan dengan nya." Setelah mendengar kalimat panjang itu Ingrid tersenyum lebar hingga matanya menghilang.
"Kau sudah berjanji, aku akan menagihnya suatu saat." Calya mengangguk beberapa saat. tak berapa lama pintu di ketuk, masuklah Felisiya ke dalam ia tersenyum manis mendapati teman baiknya itu.
"Kau di sini Calya?." Sang gadis lantas mengangguk. "Kalau begitu ayo berbincang sebentar."
"Maaf tapi aku harus masuk ke ruang operasi sekarang."
"Oh baiklah, lain kali kau harus berbincang dengan ku."
"Pasti."
Calya menutup pintu rapat, ia berjalan dengan santai menuju ruangan nya. sebenarnya ia memiliki beberapa waktu untuk duduk, hanya saja ia tak enak hati terlalu lama berbaur dengan keluarga terpandang itu. saat melewati satu lorong yang sepi dengan tiba tiba tangan Calya di tarik cepat. mulut nya di bekap oleh sebuah tangan besar. ia merasa begitu takut, siapa dia? siapa yang bisa berbuat seperti ini pada ku? kira kira seperti itu lah pertanyaan yang berputar di kepala nya.
Pria itu menyudutkan Calya di sebuah tembok, ia pun menekan saklar lampu yang dekat dengan jangkauan nya hingga ruangan itu menjadi terang benderang. "hai."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments