"Aduh, sakit, sakit sekali," rintihku dengan tangan memegang perut besarku.
"Ummi, kenapa? Perut ummi kenapa?" Fatih yang nampak panik melihat aku yang tengah kesakitan
"Fatih, panggil Abi nak, katakan perut ummi sakit dan bilang ummi mau ke rumah sakit sekarang!"
"Tapi ummi, abi keluar dengan tante tadi," jawab Fatih dengan tertatih.
Jawaban Fatih bak belati yang menancap di hati dan mencabik-cabik hatiku hingga tak berbentuk, pedih sekali rasanya, namun sakit yang menjalar di perut menyadarkanku bahwa ini bukan waktunya untuk bersedih.
"Ya sudah, sekarang kamu ke rumah tante Brenda, katakan ummi sakit perut," jawabk cepat dengan menahan sakit di perut dan kecewa di hati karena mas Galih.
"Iyah ummi." Dengan berlangkah cepat Fatih menuju rumah tante Brenda.
Mbak Brenda adalah tetanggaku sekaligus sahabatku. Kami sangat dekat. Kedekatan ini yang membuat mbak Brenda menganggapku sebagai adiknya.
Jarak rumahnya hanya beberapa meter dari rumahku, tiga rumah dari rumahku adalah rumahnya.
Mbak Brenda bukan seorang muslim tapi ia sangat ramah denganku dan anak-anak. Tiga tahun lalu suaminya meninggalkannya demi perempuan dengan usia yang lebih muda darinya. Akan tetapi, mbak Brenda bukan wanita bodoh, semua harta benda termasuk usaha milik bersama mereka, diambil haknya oleh mbak Brenda. Alhasil sekarang orang-orang menjulukinya janda yang tajir melintir.
Usianya enam tahun lebih tua dariku yaitu tiga puluh delapan tahun. Dari usianya bisa kalian tebak berapakan usiaku? Yah usiaku tiga puluh dua tahun.
Sehari-harinya ia habiskan untuk bekerja, terkecuali di hari libur, ia lebih memilih berdiam diri di rumahnya yang berukuran besar itu.
[belum punya rencana nikah lagi mbak?] Tanyaku pada mbak Brenda satu waktu.
[jika ada lelaki muslim yang baik hati bersedia melamarku maka aku akan menikah lagi] jawabannya dengan diiringi tawa ceria.
Entah ini jawaban serius atau hanya bercanda, namun aku berdoa semoga Alloh temukan ia dengan lelaki muslim yang soleh, yang mampu menembuskan cahaya iman Islam di hati lembutnya.
Mbak Brenda memiliki dua orang saudara. Sesuai yang ia katakan, kedua saudaranya seorang mualaf, dan kini menjadi muslim yang taat. Sedangkan mbak Brenda memilih untuk tetap pada agamanya karena suaminya dulu. Namun ketika ia menjanda aku tak pernah bertanya lagi soal hal itu kepadanya, biar ia sendiri yang memberitahukannya padaku.
💔💔💔
Samar-samar terdengar suara deru mobil yang disusul dengan suara perempuan di luar rumah. Mungkin itu mbak Brenda dan Fatih.
"Oh ya tuhan, Rianti, kamu kenapa sayang?" Suara bertanya mbak Brenda dengan guratan wajah yang nampak khawatir.
"Sakit perutku mbak."
"Kamu bisa berjalan kan dek? Ayo ke mobil, mbak antar kau ke klinik terdekat."
"Bisa mbak," jawabku dengan berusaha berdiri dan dipapah oleh mbak Brenda menuju mobil.
"Fatih ikut ummi," kata Fatih dan disusul oleh adik-adiknya yang ingin ikut juga.
"Mbak kita langsung ke rumah sakit saja yah, aku takut kandunganku kenapa-kenapa mbak."
"Nggak keburu dek, rumah sakit jarak tempuhnya masih satu jam, sementara kamu sudah kesakitan begitu, kita ke klinik terdekat dulu yah, supaya kamu cepat di tolong, nanti setelah itu ke rumah sakit," jawab mbak Brenda dengan nada cemas.
"Tapi setau aku, tak ada klinik bersalin dekat sini Mbak."
"Tenang dek, adik Mbak baru satu bulan lalu membuka klinik bersalin di sekitar sini, tunggu mbak telepon dulu," jawab mbak Brenda.
Mbak Brenda mengambil gawainya dan menekan tombol panggil. Lama ia menunggu akhirnya yang di telepon menjawab panggilannya.
"Halo Assalamualaikum mbak, ada apa?" Jawab seseorang yang samar-samar terdengar suaranya.
"Wa'alaikumussalam dek, kamu lagi di mana? Tolong mbak yah, mbak mau ke klinikmu sekarang, teman mbak hamil lima bulan, dan sekarang tengah kesakitan hebat di bagian perutnya!" Jawab mbak Brenda panik.
Begitulah mbak Brenda, selalu menjawab salam dari seorang muslim walau ia sendiri bukan muslim.
"Oh iya mbak segera kesini, aku tunggu," jawab suara diseberang telepon.
Lima belas menit perjalanan yang kami tempuh. Dalam perjalanan aku terus melantunkan do'a untuk keselamatan bayi yang tengah bersemayam damai dalam rahimku. Bulir bening menetes kembali, kali ini bukan karena sakitnya luka yang ditorehkan mas Galih, akan tetapi rasa takut kehilangan bayiku yang kian menderu di dalam kalbu.
[HasbunaAllah Wanikmal Wakil], desisku dalam hati yang penuh goresan luka.
Mbak Brenda memberhentikan mobilnya tepat di depan klinik berukuran sedang berpapan nama "Klinik bersalin Dr. Muhammad Hafizh Prasetyo S.pOG."
Pintu klinik terbuka lebar nampak seorang lelaki seumuran denganku berseragam dokter keluar dari dalam klinik dan disusul oleh salah satu wanita muda berpakaian putih-putih dengan kursi roda yang didorongnya.
[Mungkin beliau adalah Dr. Hafiz dan wanita ini bidannya], pikirku dalam pergulatan sakit yang tak kunjung reda.
Dibantu mbak Brenda dan bidan Risna (sesuai yang tertera pada papan namanya), aku duduk di kursi roda yang sudah disediakan oleh Dr. Hafizh. Tanpa berlama-lama Dr. Hafiz mendorong kursi rodanya ke ruangan pasien. Dan segera melakukan pertolongan pertama untukku dibantu oleh bidan Risna.
Dengan terus berdzikir kuusap pelan perut besarku. Berharap ia baik-baik saja didalam sana. Sementara Fatih kulihat ia tampak gusar dengan mulut berkomat-kamit bersama kedua adiknya, mungkin mereka sedang memohon do'a untukku.
💔💔💔
Perlahan sakit di perut mulai mereda, tapi sementara sakit di hati masih menjalar hebat sampai ke ubun-ubun. Hati ini tercabik-cabik, bagai benang yang tak lagi melingkar rapi pada tempatnya. Bulir bening menetes lagi, tak mampu kubendung derasnya kali ini.
"Dek, kamu kenapa? Kok nangis? Cerita ke Mbak kalau ada sesuatu dek, kamu kan lagi hamil, tak boleh stres, itu akan berpengaruh untuk kehamilanmu." Suara lirih mbak Brenda mengagetkanku dari lamunan yang tak membahagiakan.
"Aku gapapa Mbak, hanya sedikit khawatir dengan kehamilanku," jawabku dengan mengusap wajah yang telah basah dengan air mata kesedihan.
"Oh ya sudah dek, kalau kamu belum bisa cerita ke Mbak sekarang gapapa, kapanpun kau mau cerita, Mbak akan selalu ada untuk mendengarkan ceritamu."
Aku tersenyum pada perempuan yang sudah kuanggap kakak itu. Sungguh nyaman rasanya berada di dekatnya. Mbak Brenda memang perempuan yang lembut dan baik hati, bukan hanya kepadaku, kepada anak-anak pun ia sangat baik. Hadiah demi hadiah tak tanggung-tanggung ia berikan untuk anak-anak.
Mbak Brenda seorang janda tanpa anak. Dulu ia pernah hamil, namun keguguran karena tak sengaja jatuh di kamar mandi. Hal ini yang membuat ia begitu menyayangi anak-anak, sama halnya dengan anak-anak yang begitu nyaman berada didekatnya.
"Mbak namanya siapa?" Sahut Dr. Hafizh dengan tangan yang bergelut dengan bolpoint dan buku, sepertinya hendak menulis di buku pasien.
"Namanya Rianti Nandita, Than. Biasa dipanggil Rianti," jawab Mbak Brenda mendahuluiku.
[Than? kok mbak Brenda memanggil Dr. Hafizh dengan sebutan Than sih?], aku bergumam dengan kening mengerut tanda kebingungan.
"Ya sudah, Mbak Rianti di USG dulu yah perutnya, biar tau keadaan bayinya di dalam bagaimana," kata dokter Hafiz sambil menginstruksikan aku untuk berpindah tempat ke ruangan periksanya.
Aku mengangguk tanda setuju. Dibantu oleh Mbak Brenda dan bidan Risna, aku dipapah ke kursi roda dan selanjutnya didorong menuju ruangannya Dr. Hafizh.
"Berbaring dulu yah Mbak," kata Dr. Hafiz yang tengah menyediakan alat untuk USG.
Aku meng-iyakan perintah Dr. Hafizh dan berbaring melintang di tempat tidur yang sudah tersedia. Ada sedikit canggung di hati, karena baru kali ini aku di-USG oleh seorang Dr. Laki-laki. Di kehamilan sebelumnya aku selalu periksakan kandungan ke Dr. Maimun, seorang Dr. Perempuan. Tapi karena keadaan menjepit, aku terpaksa harus ikhlas jika bagian perutku di lihat oleh Dr. Hafizh.
Dr. Hafizh menginstruksikan kepada bidan Risna untuk mengangkat sedikit baju hingga bagian perut terlihat, dengan sigap sang bidan melakukannya dengan telaten.
"Bismillah, maaf yah Mbak," gumam Dr. Hafiz dengan alat yang mulai menjelajahi perut buncitku tanpa sedikitpun menoleh kearah perutku..
Aku menatap layar monitor yang berada di depanku, di sana aku bisa melihat seluruh proses USG-nya, aku melihat bayiku yang nampak ada dua. Entah benar dugaanku atau tidak, karena aku tak paham dengan masalah USG seperti ini.
"Jangan banyak gerak dulu yah Mbak, kalau bisa sehari istirahat full (Bedrest). Banyak makan yang bergizi, tidur yang cukup dan paling penting jangan stres, ini semua untuk menjaga kesehatan calon bayinya," pinta Dr. Hafizh sembari terus menjelajahi perutku.
"Alhamdulillah mereka baik-baik saja, jadi Mbak tidak perlu khawatir lagi." kata-kata Dr. Hafizh kali ini membuat aku tercengang.
"Mereka dokter?" Tanyaku dengan sedikit mengangkat kepala.
"Iyah, Alhamdulillah anak yang Mbak kandung kembar, untuk jenis kelamin, yang satunya perempuan, kalau yang satunya lagi tertutup dengan kakinya jadi nggak kelihatan," jawab Dr. Hafizh dengan jelas.
"Subhanallah, maha suci engkau ya Allah." Tangisku pecah karena saking bahagianya.
"Selamat yah dek, mbak ikut senang," gumam mbak Brenda disertai sebuah kecupan di dahiku.
"Selamat yah Mbak, dijaga baik-baik kandungannya, jangan memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran dulu," pinta Dr. Hafizh dengan sedikit menatapku dengan senyum merekah.
"Terima kasih dokter." Bulir bening semakin deras mengalir, sedih campur bahagia.
💔💔💔
[Allahuakbar Allahuakbar]
Adzan Dzuhur berkumandang nan syahdu, membuat hati yang di rundung duka kini berganti bahagia nan merekah.
"Ummi, Fatih sholat dulu yah," lirih Fatih yang sedang berbahagia karena si kembar yang tengah berjuang di dalam rahimku.
"Iyah Fatih."
💔💔💔
Masih di pembaringan di ruangan Dr. Hafizh. Aku menatap langit-langit klinik yang begitu cerah, putih bersih tanpa noda. Segala sesuatu yang ada di klinik ini masih terlihat baru semua. Karena memang klinik ini baru dibuka satu bulan lalu sesuai yang dikatakan Mbak Brenda.
Kutatap gawaiku yang tak kunjung berdering, tak ada balasan pesan maupun telepon khawatir dari mas Galih. Padahal dalam perjalanan menuju klinik aku sempat mengirim pesan kepadanya via WhatsApp. Pesan yang kukirim sudah tercentang dua berwarna biru, tanda pesan sudah dibaca lima menit setelah pesan itu kukirim.
[Mas, aku dalam perjalanan menuju klinik, perutku sakit hebat, padahal baru berusia lima bulan lebih, aku takut kenapa-kenapa, kalau sudah selesai dengan urusanmu, tolong jenguk aku di klinik tersebut, nanti aku kirimkan alamatnya] isi pesan WhatsApp-ku kepada mas Galih.
Aku mulai mengetik pesan lagi untuk mas Galih, barangkali ia sedang kebingungan mencari alamat klinik yang tak kunjung kukirim.
[Mas, aku sudah dua puluh menit yang lalu sampai di klinik, aku serlok (search lokasi) yah mas]
Aku segera membuka Google Maps untuk Search location klinik. Setelah didapat segera kukirim kepada mas Galih. Kulihat sudah dibaca oleh mas Galih dan kutatap lagi ternyata mas Galih sedang menulis pesan untukku.
[Lagi sibuk!] Pesan singkat penuh duri yang tak ingin kubaca.
[Astagfirullah halazim] lirihku dalam hati.
Pedih hatiku kalau mengingat semua perlakuan mas Galih kepadaku. Namun, jika aku terus- menerus bersemayam dalam duka yang mendalam, bisa-bisa kehamilanku akan bermasalah lagi, dan yang paling kutakuti jika harus mengalami keguguran, padahal ada dua nyawa di dalam rahimku.
[Tak bisa begini terus, aku harus menata hatiku demi si kembar yang sedang tumbuh dalam rahimku] gumamku dalam hati yang penuh goresan belati mas Galih.
💔💔💔
Satu setengah jam berlalu, masih dengan tangan yang terpasang infus, kulantunkan ayat kursi dengan memelankan sedikit suara sembari mengusap perutku yang kian hari kian bertambah bobotnya. Berharap Allah menguatkan kandunganku dan menjaga nyawa yang tengah berjuang di sana.
Dengan langkah tak begitu cepat Dr. Hafizh memasuki ruangan yang kutempati.
"Dokter, apa saya sudah bisa pulang?" Tanyaku dengan menatap ke wajah Dr. Hafizh.
"Dihabiskan dulu cairan infus-nya yah Mbak, baru bisa pulang," jawabnya dengan menatap balik wajahku.
💔💔💔
Tiga jam berlalu sangat cepat, aku sudah bisa pulang karena cairan infus sudah habis, namun sebelum pulang aku diberikan obat-obatan oleh dokter Hafizh. Untuk biayanya sudah dibayar oleh mbak Brenda dengan harga diskon ala keluarga kata mbak Brenda.
Pelan-pelan aku dibantu oleh Mbak Brenda menaiki mobil yang sudah dibuka pintunya oleh Dr. Hafizh.
"Jangan stres-stres yah Mbak," kata Dr. Hafizh yang seolah mengerti dengan keadaan hatiku.
"Ingsyaallah dokter, terima kasih banyak," kujawab dan dibalas oleh anggukkan Dr. Hafizh.
***
Semilir angin meniup kencang pepohonan yang kami lintasi, daun-daun menari-nari mengikuti hembusan angin sore kala itu. Kutatap langit yang masih berawan putih nan indah. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, pandangan kuarahkan ke wajah cantik wanita yang kini sedang fokus menyetir.
"Terima kasih yah Mbak atas pertolongannya hari ini," sahutku dengan mata nanar.
"Nggak usah bilang terima kasih Rianti, sudah kewajiban tentangga membantu tentangga yang kesusahan, apalagi kamu yang kuanggap adikku sendiri," jawabnya dengan melempar senyum lebar kepadaku.
"Mbak bolehkah hari ini aku dan anak-anak menginap di rumahmu?"
"Boleh sekali Rianti, malah aku senang kau dan anak-anak menginap di rumahku biar aku ada temannya." Aku tersenyum mendengar jawaban wanita lembut di sampingku itu.
💔💔💔
Lima belas menit perjalanan pulang, tak terasa mobil yang kami tumpangi sudah berada di depan gerbang rumah Mbak Brenda. Seorang lelaki paruh baya berseragam satpam dengan sigap membukakan gerbang untuk kami.
Aku membuka pintu mobil dan perlahan turun dibantu Fatih dan Mbak Brenda, sementara kedua anakku Syamil dan Syafiq sangat gembira bermain di halaman rumah Mbak Brenda yang sengaja dibuat ayunan untuk bermain kedua putraku itu.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Endang Purwati
gak mau komentar...lagi osi saya sama suami Rianti...
2020-12-28
0
Nining Zainal
what? kamu sibuk enak-enak sama selingkuhanmu. sementara anak dan istrimu sedang bertaruh nyawa 😠😠😠
2020-07-22
0
👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣
hai ku mampir lagi... sakam hangat dari Rahasia Hati
2020-07-21
0