[AllahuAkbar AllahuAkbar]
Adzan subuh telah berkumandang indah diseluruh penjuru bumi. Panggilan cinta untuk jiwa-jiwa yang merindukan rahmatNya. Semilir angin di kala subuh berhembus nan syahdu, membuat jiwa yang gelisah kembali tenang dan damai.
Kulirik Fatih masih terlelap dalam tidurnya. Sembari mengelus lembut rambutnya, aku bacakan surah Al-qadar agar hatinya semakin lembut. Kutatap wajah tenangnya, sungguh tampan engkau anakku. Hidung mancung, kulit putih bersih, mata bulat bagaikan mata aktris-aktris tampan india.
"Abang bangun, sudah masuk waktu subuh sayang," aku bangunkan dia sembari mengelus-elus wajahnya yang lebih dominan mirip diriku.
"Iyah ummi," jawabnya dengan mata masih terpejam namun pelan-pelan bangkit dari tidurnya.
Sementara Syamil dan Syafiq kulihat masih terlelap. Aku biarkan mereka dengan mimpi indahnya. Mereka belum akhil baligh, jadi tak mengapa kalau belum sholat.
Aku menuntun Fatih kearah dapur untuk mengambil wudhu. Langkahku terhenti tat kala mengingat mas Galih yang barangkali belum terbangun dari tidurnya.
"Abang, duluan saja ambil wudhunya yah, ummi mau bangunkan abi dulu untuk sholat berjamaah," kataku pada Fatih yang masih setengah sadar.
"Iyah ummi," jawabnya sambil berlalu pergi menuju dapur dan sesekali mengucek-ucek matanya.
Aku berbalik arah menuju kamar utama kami. Kamar yang menjadi saksi biksu peraduan cintaku bersama mas Galih. Pelan-pelan aku membuka pintu kamar yang tak dikunci. Kulangkahkan kaki menuju mas Galih yang masih bersemayam dibalik selimut tebal bermotif bunga-bunga nan indah itu.
Aku posisikan duduk disampingnya, kuelus wajah berkharismanya. Kutatap lama wajah yang dulu selalu tersenyum indah kepadaku, kupegangi bibir yang selalu mengecup puncak wajahku. Mas Galih memang tampan, hidungnya mancung, matanya indah, belahan dagunya yang mempesona, dan wajah berkharisma yang membuat banyak mata wanita enggan untuk berpaling. Hanya saja dulu mas Galihku tak setampan sekarang, badan kurus kini agak berisi, kulit agak kecoklatan lebih tepatnya kulit sawo matang kini berubah menjadi kuning langsat, wajah yang berjerawat dan bruntusan kini menjadi halus seperti kapas.
"Abi, bangun, sudah waktunya sholat subuh," aku berbisik lembut di telinganya sambil kuelus puncak kepalanya.
"Hmmm, ngantuk," jawabnya padaku dengan berbalik arah membelakangiku.
"Semua orang ngantuk bi, tapi sebisa mungkin dilawan ngantuknya, bangun bi," kujawab dengan tetap tersenyum walau diperlakukan begitu oleh mas Galih.
"Aaarrrggghhh, pergi ndak kamu, aku bilang aku ngantuk, budek yah kamu, hahhh?" Jawabannya kali ini dengan nada membentak dan refleks membuatku berdiri sedikit menjauh, takut bila-bila tangannya ikut terayun kearahku.
Aku berlari kecil meninggalkan mas Galih yang lebih memilih tidur lagi ketimbang menunaikan kewajibannya sebagai hamba. [Astagfirullah halazim] lirihku dalam hati.
Mas Galihku benar-benar telah pergi entah kemana, dulu ia paling suka jika kubangunkan seperti tadi bahkan ia akan membalas diriku dengan menarikku kedalam pelukannya dan mencumbu mesra diriku, tapi kini apa yang kudapat, hanya bentakan yang membuat luka di hati semakin menganga.
Dengan perasaan sedih aku menuju tempat wudhu, kali ini tak ada air mata, hanya rasa sabar dan ikhlas didalam hati yang coba kugerakkan sepenuhnya.
Aku melangkah menuju musholah untuk menunaikan sholat subuh berjamaah bersama anakku Fatih. Kulihat Fatih sudah bersiap-siap di shaf depan untuk segera memulai sholat.
💔💔💔
Pagi ini langit terlihat cerah, sinar mentari seolah memberi kabar bahwa hari ini badai takkan datang. Burung-burung berkicau, ayam-ayam berkokok, tumbuhan tampak segar dengan embun yang belum kering, rasanya hari ini alam sedang berbahagia.
Aku mencoba berdamai dengan keadaan. Berusaha berkompromi dengan hatiku agar tak bersedih lagi, kasihan anak-anakku jika harus melihatku dengan kondisi yang tak mengenakkan ini. Mereka butuh tawa bahagiaku, mereka butuh semangatku untuk bisa bermain bersama mereka seperti biasanya. Hari ini tak boleh ada kesedihan lagi. Huuufftt....
Sebisa mungkin aku akan berusaha mengambil hati mas Galih lagi, aku tak boleh putus asa, masih ada waktu dua hari lagi untuk merubah hati yang beku itu menjadi mencair kembali. Doa, ikhtiar, dan terakhir tawakkal padaNya. [Semangat Rianti] gumamku dalam kalbu.
💔💔💔
Waktu masih menunjukkan pukul 05.50 WIB, suamiku masih terlelap dalam balutan selimut tebal, begitu juga dengan anakku Syamil dan Syafiq masih berkelana dalam mimpi panjang mereka. Sementara Fatih lebih memilih membantuku untuk sekedar menyapu, mengepel lantai sampai mencuci pakaian dengan mesin cuci tentunya, dan aku menyediakan segala perlengkapan sarapan di atas meja makan, mulai dari piring, gelas, pisau kecil, sendok, garpu, roti tawar, berbagai macam selai, ada yang rasa cokelat, kacang, nanas, dan stroberi, susu UHT untuk ketiga anakku serta beberapa buah-buahan seperti pisang, jeruk, apel dan anggur.
Setelah dirasa semua telah siap, aku bergegas untuk menyegarkan diri. Karena hari ini aku ingin terlihat cantik dihadapan mas Galih suamiku.
💔💔💔
Masih berbalut handuk, aku duduk menghadap kaca rias di kamar utama kami. Kupandangi wajah yang kini tak lagi cerah, padahal dulu ia sangat menawan hingga mengundang banyak lelaki ke rumah untuk mempersunting diri ini. Kupandangi lagi bibir yang mulai sedikit menghitam, padahal dulu ia merah merona bagaikan sekuntum bunga mawar yang menggoda untuk dikecup oleh mas Galih. Kecantikanku benar-benar telah pudar setelah melahirkan ketiga pangeran hatiku.
Aku mulai mengarahkan tanganku ke laci meja riasku, kuambil satu set peralatan makeup yang dulu biasa kupakai untuk menyenangkan pandangan mata mas Galih.
Foundation bermerk Ward** kupakai tipis-tipis di wajahku, kulanjutkan dengan memakai bedak padat dengan merk yang sama, tak sampai situ aku lanjutkan merias di bagian bibir dengan sedikit melapisi bibirku dengan lipstik berwarna merah muda, sementara untuk alis dan bulu mata tak perlu lagi aku tambahkan apa-apa karena sudah tebal dan lentik. Hanya saja satu hal yang tidak disukai mas Galih dan tak bisa aku manipulasi yaitu berat badan, dengan BB 70 kg sementara TB 158 memang sudah masuk kategori gemuk bahkan sangat gemuk ditambah bobot perut yang kian hari kian membesar.
[Eh aku baru sadar perutku seperti sudah berusia tujuh bulan atau delapan bulan saja]. [Hmm mungkin bayinya besar] dengan sedikit mengangkat kening curiga.
Aku lanjutkan kegiatanku dengan memilih dan memilah pakaian gamis terbaik yang kupunya. Dulu mas Galih selalu berkata bahwa ia sangat senang melihatku memakai gamis dan kerudung saat hendak menungguku pulang ke rumah, sehingga saat itu aku banyak membeli gamis dengan motif cantik untuk sekedar kupakai di rumah, kalau keluar rumah aku lebih nyaman dengan yang polos-polos saja.
Lama tangan dan mataku berkelana di dalam lemari kayu berukuran sedang itu, hingga pandanganku tertuju pada gamis berwarna merah muda bermotif bunga mawar berwarna maroon dan ku senadakan dengan jilbab warna maroon,
[sempurna sudah] desir hatiku dengan bahagia.
"Oh ya ampun, aku ketiduran!" Suara terkejut mas Galih mengalihkan pandanganku, kulihat ia beranjak cepat dari tempat tidur namun tak lupa mengecek gawainya terlebih dahulu.
"Kenapa mas? Kok kayak tergesa-gesa begitu, ada yang penting yah?" Tanyaku pada mas Galih yang sedang sibuk mengetik pesan untuk seseorang dan tak berapa lama berlari ke kamar mandi tanpa menjawab sedikitpun pertanyaan yang kulontarkan padanya.
Hufftt,
Aku hanya menghela nafas, menahan rasa yang semakin tak karuan karena sikap dingin mas Galih. Aku mencoba bertahan dalam badai ini, terombang-ambing dalam lautan luka yang semakin pedih. Kucoba tuk tetap menyeimbangkan bahtera kecil yang mulai goyang karena badai yang tak berkesudahan. Sementara sang kapten bagai tertidur pulas tanpa takut khawatir bahtera ini tenggelam. [Ya Allah Ya Rabbi genggam erat hatiku agar tak goyah dengan hasutan iblis agar tak lagi mempertahankan rumah tangga ini] aku bergumam dalam hati yang tercabik-cabik.
Setelah kurasa telah sempurna penampilanku, aku beranjak dari tempatku menuju ruang makan yang ada dilantai satu, menunggu semua awak bahteranya berkumpul untuk mengisi perut di pagi hari.
Langkah demi langkah kuturuni anak tangga yang lumayan menguras tenaga ibu hamil. Kulihat anak-anak telah berkumpul rapi ditempat duduk mereka masing-masing dengan sedikit candaan khas anak-anak. Aku tersenyum bahagia melihat adegan di depan mata ini, sungguh Allah itu maha adil, tidak Ia biarkan aku bersedih terus, ia kirimkan mereka sebagai pelipur lara hati yang tak menentu arah ini.
"Mi... Mi, ni ni (ummi kesini)," panggil anak pertamaku dengan melambaikan tangan kearahku dan sedikit jingkrak-jingkrak ditempat duduk.
"Wooohhh, ummi tantik hali ini," sambung anak keduaku dengan mata melotot dan bibir mancung ke depan. Hahaha sungguh lucu mereka berdua.
"Duduk sini ibu ratu," lanjut si sulung dengan gaya bak pangeran yang menanti sang putri. Yuhuuu, romantisnya anak sulungku.
Kami putuskan bercanda ria bersama sambil menunggu mas Galih yang tak kunjung turun. Entah ia sedang apa aku tak tau.
Satu jam kami menunggu, akhirnya mas Galih turun juga, namun kulihat kali ini ia tergesa-gesa menuruni beberapa anak tangga. Sambil berlari ia melewati kami begitu saja, tanpa bertanya, dan tanpa salim terlebih dahulu.
Kulirik anak-anak tampak sedih dan kecewa, sedang aku bertanya-tanya dalam hati
[urusan apa yang membuat ia sedemikian panik hingga melupakan kami yang menunggunya dengan perut keroncongan karena menahan lapar]
Haaaah, aku mendesis pelan. Kulihat lagi anak-anak menunduk tanpa canda tawa lagi. Tak bisa aku biarkan kesedihan menjalar dalam sanubari mereka.
"Hayooo, siapa yang mau ummi suapin pertama?" Sambil memegang roti dan membalurnya dengan selai cokelat aku memecah keheningan yang sempat tercipta. Kuperlihatkan senyum lebar kepada mereka agar tak larut dalam kesedihan yang mendalam.
"Aku, aku, aku," suara anak bersahut-sahutan, berlomba-lomba agar bisa disuap pertama olehku.
Aku tersenyum melihat tingkah laku anak-anak, meski dalam hati banyak pertanyaan yang menggantung di sana.
"Ahh, Abang dulu, Abang kan yang lebih dulu lahir," sahut si sulung dengan sedikit candaan.
"Ihh, fiq lu, fiq nan de, (ihh, Syafiq dulu, Syafiq kan yang paling adek)," lirih anak bungsuku yang belum pandai berbicara dengan ekspresi bibir monyong ke depan.
"Ihhh, aku duyu," lanjut anak keduaku dengan ekspresi marah.
"Ya udah deh, Abang ngalah," jawab anak sulungku dengan tersenyum kepada kedua adiknya.
"Udah, udah, ummi mulai dari yang paling kecil yah, angkat tangan siapa yang paling kecil?" Aku bersuara dengan semangat agar anak-anak juga bersemangat.
"Atu, atu," jawab Syafiq dengan mengangkat tangan dan tentunya adegan jingkrak-jingkraknya tak ketinggalan.
Kami hiasi sarapan pagi itu dengan tertawa riang dan bahagia. Anak-anak lahap makan sarapannya sementara aku memilih untuk belum makan dulu, menunggu mas Galih dan nanti sarapan bersamanya.
Selesai sarapan, anak-anak mengajakku ke ruang bermain mereka. Di sana kami habiskan waktu untuk bercanda ria dan tertawa lepas.
Mataku tak pernah berhenti melirik ke arah pintu utama rumah kami menunggu mas Galih yang sudah dua jam belum pulang.
Lama kami bermain hingga bunyi suara klakson mobil mas Galih terdengar, aku berlari kecil ke depan dengan senyum merekah dengan maksud menyambut mas Galih.
Aku buka pintu utama yang yang memiliki dua gagang, kulihat mas Galih memarkirkan mobil. Namun ternyata dia pulang tak sendiri, ada seseorang di sampingnya. Kulihat lebih seksama ternyata seorang perempuan tanpa hijab sedang duduk manja di bangku depan dekat mas Galih.
[Siapa dia, setauku mas Galih tak punya saudara perempuan, semua saudaranya laki-laki. Sepupu? Aku hanya kenal beberapa sepupu perempuannya] gumamku dengan hati yang penuh tanda tanya.
Pintu mobil terbuka, kulihat mas Galih turun dan menatapku tanpa senyum. Ia berpindah posisi ke pintu sebelah dan membuka pintu untuk perempuan tersebut.
[apa ini, bahkan ia membukakan pintu untuk perempuan tersebut] hatiku semakin keras bertanya.
Pintu terbuka, perempuan tersebut perlahan turun dari mobil. Kuperhatikan dia dari atas sampai ke bawah. Dengan menggunakan celana jeans hitam dipadukan dengan blouse tanpa lengan berwarna kuning ia terlihat begitu sexy, tubuh langsing tanpa lemak, kulit putih bersih, wajah halus bagai sutra, rambut panjang lurus dengan sedikit warna merah maroon, mata sipit khas wanita korea, sungguh cantik perempuan yang dibawa mas Galih, jika kutebak mungkin usianya dua puluh delapan tahun.
tapi [siapa dia] sekali lagi hatiku bertanya.
Mas Galih melangkah maju bersama perempuan yang aku tak tau siapa dia, dengan koper besar digiring mas Galih.
"Rianti, perkenalkan ini Amira, calon madumu, setelah menikah ia akan kuboyong ke rumah ini," sahut mas Galih yang berhasil membuatku geram.
"Apa? Kau mau ajak perempuan ini tinggal di rumah kita mas? Kau tak punya hati yah, bagaimana dengan anak-anak mas? Mereka tak siap menerima kenyataan ini!" Jawabku dengan nada mulai emosi tapi tetap suara kecil dan tak membentak.
"Ini rumah saya, dengan uang saya rumah ini bisa sebagus sekarang, kau tak ingat dulu ini hanya rumah kecil berdinding bambu yang abah kau berikan untuk hadiah pernikahan kita, hah? Karena kerja keras saya rumah ini jadi seperti istana, jadi yang berhak atas rumah ini adalah saya! Paham kau?" Gertak mas Galih sambil menunjukku.
Aku terdiam seribu bahasa, tak mampu menjawab setiap kata yang mas Galih lemparkan. Kulihat sejenak perempuan yang bernama Amira nampak senyum bahagia melihat aku dan mas Galih saling berdebat.
"Yuk dek, mas antar kau ke kamarmu, nanti habis itu kita belanja keperluan pernikahan kita," kata mas Galih masih dengan tatapan murka kepadaku.
Mas Galih mulai melangkah menuju rumah di ikuti Amira dari belakang melewati diriku tanpa belas kasihan. Mulutku beku, pikiranku kalut, jantungku berdetak semakin kencang, nafasku memburu, serasa ada yang mengganjal di hati. Aku menunduk tak percaya. Hari ini adalah hari paling menyedihkan dalam hidupku.
Aku berbalik arah, berjalan gontai memasuki rumah, pandanganku kosong, pikiranku melayang jauh. Kulangkahkan kaki menuju kamar anak-anak, kulirik sejenak Syamil dan Syafiq sedang bermain perang-perangan sambil mengayun-ayunkan pedang yang terbuat dari plastik, sementara Fatih tak kulihat keberadaannya.
Kulanjutkan melangkah menuju kamar anak-anak. Setetes demi setetes air mata mulai jatuh membasahi pipi, hatiku hancur berkeping-keping. Mas Galih begitu lembut pada wanita yang baru dikenalnya, sementara aku yang telah berjuang membantunya hingga sukses seperti sekarang malah tak dianggap ada olehnya.
Langkahku tertatih bagai tak bertenaga. Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Kututup pintunya.
Aku sandarkan kepala pada dinding kamar yang bercat biru muda itu. Tak sepatah kata yang keluar dari bibirku, hanyalah air mata yang mengucur deras membasahi pipi. Pertahananku runtuh lantah, harapanku sirna terbawa mimpi. Tersedu-sedu aku menangisi keadaan, sambil kuelus-elus perut besar yang mulai tak karuan gerakkannya.
Aku benar-benar hancur, coba kuhapus semua yang kupakai tadi di wajah, kubongkar jilbab yang terpasang rapi di kepala hingga rambutku acak-acakan. Keadaanku benar-benar memprihatinkan.
Aku duduk perlahan, dengan memanjangkan kaki dan sedikit menunduk, aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara.
[aaaarrgghhh, sakit sekali tuhan]
[tega sekali kau mas, setelah kukorbankan jiwa dan raga hanya untuk menemanimu bangkit dari kemiskinan materi, tapi sekarang apa yang kau balas padaku, kau beri aku sebuah racun yang mematikanku secara perlahan]
Hikz Hikz Hikz.
"Abi jahat, Abi kejam, Abi ayah yang buruk, suami yang buruk, Fatih benci Abi!" samar-samar terdengar suara Fatih yang memarahi ayahnya diikuti suara tangisan kedua adiknya.
"Fatih, sini nak peluk ummi," dengan suara lemah dan terisak aku memanggilnya, namun kuyakin ia tak mendengarnya.
"Ya Allah, kenapa harus seberat ini ujianku," sahutku masih dalam tangis yang menjadi-jadi.
Terdengar suara pintu dibuka. Aku melirik kearah pintu, di sana ada Fatih dan kedua adiknya yang menangis tersedu-sedu sambil memegang piring yang berisikan roti berselai dan segelas air. Kami saling pandang dengan tatapan yang memilukan.
"Sini nak, peluk ummi," suara serakku memanggil mereka dengan tangan terangkat berharap dipeluk.
Mereka berhambur masuk ke kamar, berlari kearahku dengan air mata yang bercucuran deras. Memelukku dengan sangat erat.
"Ummi makan dulu, tadi pagi ummi tidak sarapan gara-gara menunggu Abi yang kejam itu!" Gerutu anak sulungku.
Suapan demi suapan mereka arahkan ke mulut yang telah kaku ini. Sambil berlinang air mata aku memakan roti yang di suapkan oleh anak-anakku. Aku kembali terisak di ikuti anak-anak yang berhambur memelukku lagi. Kami habiskan kesedihan dengan saling berpelukan.
Hingga kurasakan ada sakit yang menjalar pada perutku....
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Suhartatik
syedih thor
2020-10-23
0
Ketut Yeni Nurhaeni
nangis aku baca thooorrr
2020-08-23
0
Sept September
... aku datang yaaaaa...
terimalah jempollll ku kak 😂
2020-08-14
0