2. Madu Itu Bernama Amira

Setelah sholat magrib aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sementara anak sulungku melanjutkan aktivitas dengan membaca Alqur'an dan adek-adeknya lebih memilih main perang-perangan.

Rasa sakit belum sembuh namun sedikit terobati dengan curhat kepada sang pemilik hati. Masih terngiang-ngiang di telingaku kata-kata kasar yang mas Galih lontarkan kepadaku.

[Kusam, gendut, dekil, bagaikan tanaman layu yang termakan zaman]

ahhh rasanya sakit sekali.

Padahal di saat hamil begini, perempuan butuh banyak perhatian dan kasih sayang namun yang kudapat hanyalah kata-kata yang buatku ingin mati saja.

Mas Galihku hilang termakan zaman. Dulu ia adalah orang yang sangat penyayang, lembut, dan yang membuat aku semakin cinta, ia adalah suami yang sangat romantis.

Pujian demi pujian setiap hari ia lontarkan kepadaku. Kecupan manis di kening tak pernah lupa ia tunaikan. Kata-kata cinta apalagi bak kebutuhan hidupku yang tak pernah lupa ia utarakan.

Aku ingat betul saat aku tengah mengandung anak pertama kami Fatih ia selalu melarang aku melakukan aktivitas fisik yang terlalu berlebihan.

[jangan sayang, biar mas saja yang nyuci, masak, bersihin rumah, kamu bobo saja jangan capek-capek, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa sayang]

Kecupan demi kecupan akan mengikuti setelah kata-kata itu terlontar.

[Aku rindu kamu yang dulu mas] gerutuku dalam hati.

Kini tak ada lagi kehangatan dalam rumah ini. Layaknya seperti orang asing yang tak saling kenal. Sejak setahun ini mas Galih mulai berubah, pelan tapi pasti. Benar kata orang

"ujian istri ketika suami tak punya apa-apa, namun ujian suami ketika ia memiliki segala-galanya."

Hufffttt...

💔💔💔

Malam semakin larut, kutidurkan anak-anak di kamar mereka. Aku sudah membiasakan anak-anak untuk tidur terpisah sedini mungkin agar mereka cepat mandiri, terkecuali si bungsu yang masih membutuhkan ASI-ku.

Kulihat mas Galih tengah asyik menonton TV sambil bermain gawainya yang tak bisa ku sentuh itu. Yah belakang ini ia sangat marah jika aku berani menyentuh gawainya. Aku tak tau apa alasannya dan aku tak banyak bertanya apalagi sampai curiga.

"Mas belum tidur?" Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

"Belum!" Jawabnya singkat tanpa sedikitpun melirik kearahku.

"Mas maafin aku jika aku salah mas." Aku beranjak dari tempatku dan bersimpuh di depan suamiku. Air mataku luruh.

"Aku janji mas, aku akan mulai merawat tanaman yang layu itu dan akan kubuat bermekaran indah di hadapanmu mas, aku akan berusaha menunggumu dengan bau wangi parfum kesukaanmu, aku akan berusaha menjadi langsing sexy seperti keinginanmu setelah anak ini lahir mas!" Aku semakin membenamkan wajahku di kaki suamiku yang kini hatinya telah beku.

"Aku mohon jangan dingin begini, aku butuh kamu saat ini mas. Butuh perhatian dan kasih sayangmu. Kamu tau kan wanita hamil rentan stres!" Aku terisak di bawah kaki suamiku berharap ada sedikit rasa iba dari mas Galih.

Perlahan tapi pasti kurasakan genggaman tangannya di pundakku. Genggaman ini terasa hangat sekali, aku mulai mengangkat wajahku memberanikan diri untuk menatap wajah berkharismanya itu. Kulihat ia nanar, mungkin ia mulai merasa kasihan padaku.

Diangkatnya tubuhku yang semakin melar ini dikecupnya keningku, ahh ini kecupan yang selalu kurindukan.

"Maafin aku sayang, sudah buat kamu sedih." Dipeluknya erat-erat tubuh lelahku ini karena kesedihan yang ia ciptakan. Aku semakin larut dalam kasih sayang suamiku hingga....

Brruuuuk,

Suara remote TV jatuh menyadarkan aku dari khayalanku. Ternyata aku hanya berkhayal saja. Posisiku masih memeluk erat kaki suamiku.

Huffftt......

"Namanya Amira. Tiga hari lagi dia akan jadi madumu!" Kata suamiku dengan nada dingin.

Deggg,

Jantungku serasa berhenti sejenak, mataku terbelalak, lidahku keluh, nafasku tertahan. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Perlahan aku berdiri dan berjalan gontai tanpa kata meninggalkan mas Galih yang hatinya telah beku itu.

"Ini bukan madu mas tapi racun! Racun yang perlahan membunuhku!" Kulontarkan sedikit kata-kata padanya sebelum berlalu meninggalkannya.

💔💔💔

Kuarahkan kakiku menuju kamarku untuk sekedar mengambil si bungsu yang terlelap di sana dan menuju kamar anak-anakku. Kulihat pintu sedikit terbuka padahal tadi sudah kututup setelah keluar. Mungkin aku lupa.

Aku masuk dengan sangat pelan, takut membangunkan anak-anak yang sedang tertidur pulas. Kurebahkan tubuh mungil si bungsu di samping abang-abangnya. Sementara aku memilih duduk di sudut ruangan kamar untuk sekedar menenangkan diri yang semakin kalut.

Aku terisak, menangis tanpa suara mengingat kata-kata mas Galih.

[namanya Amira, tiga hari lagi dia akan jadi madumu]

Sakit sekali mas, sakit sekali.

Air mata mengucur deras bak air bah yang lepas dari bendungan. Kupukul-pukul badanku sambil terus menyalahkan diriku.

[Salah sendiri kamu kusam, dekil, gendut dll], aku menghardik diriku sendiri.

[Ya Allah apa ini, salahku apa padaMu Tuhan sehingga kau hukum aku seberat ini] gerutuku dalam hati. Aku mulai menyalahkan takdir yang kurasa tak adil ini.

"Astagfirullahhaazim, astagfirullahhaazim, astagfirullahhaazim!" Kubenamkan kepalaku di kedua lututku yang sengaja kulipat, sambil beristighfar dan menangis.

"Lahallah walakuwwata illabillah, Lahallah walakuwwata illabillah, Lahallah walakuwwata illabillah!" Kulanjutkan dengan dzikir.

Kuangkat wajahku, serta mengubah posisi duduk karena rasanya sesak, perutku seperti terjepit. Aku luruskan kedua kakiku, dan menyandarkan kepalaku di tembok kamar sambil menatap langit-langit kamar, sejenak kulirik anak-anak yang sedang tertidur pulas.

[Aku tak boleh lemah, demi tiga ksatria dan juga calon anak yang Allah titipkan padaku. Mereka butuh semangatku, mereka butuh bahagiaku, mereka butuh perhatianku]

Kulanjutkan menatap langit-langit kamar, pikiranku melayang jauh, perlahan mataku mulai tertutup.

"Ummi, ummi bangun, kita sholat Tahajjud ummi," sentuhan lembut di pipi dan kata-kata Fatih anakku mengagetkanku. Ternyata aku tertidur tadi.

"Ummi sayang kita sholat Tahajjud yuk!" Dia mengulang kata-katanya.

Aku selalu bahagia dengan perlakuan anak sulungku ini, perhatian dan begitu sayang padaku. Usianya baru sebelas tahun namun sikapnya seperti orang yang sudah dewasa.

Ia tak pernah berkata kasar padaku. Lembut tutur bicaranya, entah itu padaku ataupun orang lain. Ia selalu membantuku dalam segala hal yang menyangkut kepentingan rumah tangga, seperti mencuci, menyapu sampai mengepel lantai, menyapu halaman rumah, memandikan adek-adeknya bahkan sampai memberikan mereka makan.

Soal prestasi, Fatih anakku selalu juara satu dikelasnya. Dari tingkat TK hingga kelas lima SD sekarang, ia masih tetap jadi yang terunggul.

Anakku seorang Hafizh Qur'an, juz tiga puluh sudah ia hafal semuanya. Di sekolah Ia selalu terpilih mengikuti olimpiade Matematika, Sains dan terakhir kali dia mengikuti lomba pidato Bahasa Inggris dan selalu peringkat satu. Aku menyekolahkan Fatih di sekolah modern berbasis Islam, aku ingin ia baik akhlaknya dan baik prestasinya.

"Ummi, ayo ummi sholat." kali ini ia genggam tanganku.

"Iyah sayang," kujawab sambil beranjak dari tempat duduk dibantu oleh Fatih.

Fatih terus menggenggam tanganku, ia menuntunku menuju tempat wudhu didekat dapur.

[Ahh Fatih anakku, semoga kamu Allah beri umur panjang untuk terus menjagaku didunia] bisikku dalam hati.

Setelah berwudhu kami langkahkan kaki menuju musholah untuk menunaikan sholat Sunnah Tahajjud yang dilanjutkan dengan sholat Sunnah witir di imami oleh Fatih anakku.

[AllahuAkbar]

Fatih mulai berucap takbir tanda di mulainya sholat. Aku mengikuti sebagai makmum di belakang Fatih. Kuikhlaskan hati di sepertiga malamku. Mencoba bersabar dengan ujian-ujian yang diberikan oleh sang pemilik cinta yang abadi, menguatkan diri dari terpaan masalah. Kubenamkan wajahku dalam sujud yang panjang, kutumpahkan segala keluh kesahku tentang dunia yang fana ini padaNya.

[Ya Allah, cinta suami hanyalah titipan, sementara cintaMu abadi, maka dari itu tetapkan hatiku hanya jatuh cinta padaMu saja Ya Rabbi] doaku di sujud terakhir yang sengaja Fatih panjangkan.

[Assalamualaikum warahmatullahi, Assalamualaikum warahmatullahi, sambil menengok kekanan dan kekiri] salam telah terucap pertanda berakhirnya sholat. Fatih melanjutkan dengan berdoa kepada Rabbnya dan aku mengamini setiap doanya.

"Aku mencintaimu karena Allah ummi." Ia menyatakan cinta padaku disusul kecupan di punggung tanganku dan keningku. Aku menangis diperlakukan bak ibu ratu oleh anakku.

"Jangan menangis ummi, sungguh tangisanmu buat Fatih merasa gagal berbakti padamu." Kali ini ia terisak dengan kata-kata layaknya orang dewasa.

"Ummi cinta Fatih karena Allah juga," balasku dengan memeluknya dan menciumnya.

Kulirik jam, waktu masih menunjukkan pukul 02.30 tengah malam, waktu subuh masih jauh, kuputuskan untuk tidur dulu. Kuajak Fatih menuju kamar untuk tidur. Kurebahkan diri di samping anak bungsuku Syafiq sedang Fatih di samping adiknya Syamil.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Khai Rudin

Khai Rudin

gila parah banget aku nangis dan meleleh terus air mataku

2021-03-04

0

Endang Purwati

Endang Purwati

masyaa Alloh..mas Fatih...

dduuhh saya nangis baca part ini...nangis karena bahagia membayangkan Fatih di usia 11 th sudah menjadi sosok yg begitu dewasa..
dia sellu ada utk menggenggam tangan umi nya..💙💙

2020-12-28

0

Andi Fitri

Andi Fitri

suami macam apa tuh klrg sdh sempurna di sia"in..

2020-10-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!