Dinasti Kuno
Restoran terkenal di zaman kaisar ketiga, terlihat sangat ramai di padati oleh kerumunan orang-orang. "nona, bangun nona. Huhuhu, jika kau tidak bangun, apa yang akan kukatakan pada nyonya besar?" terdengar isak tangis yang amat bising dari dalam kerumunan itu.
Seorang gadis dengan pakaian sederhananya pingsan di tengah kerumunan orang-orang.
"Sudah kubilang, dia gadis yang lemah. Kenapa memaksa ingin bekerja disini!?" Ucapnya memarahi gadis itu.
"kumohon tolong nona ku dulu." ucap gadis itu menatap sekelilingnya. Tapi diantara mereka tidak ada yang menolongnya, entah karena enggan atau takut.
Mendengar keributan itu, membuat gadis yang pingsan itu langsung terbangun, "berisik!" Ucapnya yang terduduk dan membuka matanya.
Gadis itu sontak memeluknya, "Nona, akhirnya kau bangun." Ucap sambil terisak-isak.
Wanda kebingungan melihat pakaian dan bahasa yang mereka gunakan, "ini… ini ada dimana?" Batin Wanda memegang kepalanya yang pusing sembari berdiri menatap sekelilingnya.
Gadis itu mendongak kearahnya seraya berkata, "upah kami bagaimana?" ucapnya sembari mendekatinya
Pria itu langsung mendorongnya, "upah? kalian saja belum sehari bekerja sudah minta upah." ucapnya yang memaki gadis itu.
Wanda mendengarkan mereka sejenak, "bukankah ini bahasa yang sering digunakan oleh Aqira?" batinnya sembari memegang dagunya.
Gadis itu terus memohon untuk mendapatkan upah mereka untuk Wanda, "kumohon berikan upah itu, kalau tidak Nonaku tidak bisa makan." ucapnya sambil berlutut dihadapannya.
Pria itu melangkah maju mendekatinya, "pergilah!" ucapnya yang menendang gadis itu.
Melihat gadis itu ditindas membuat Wanda kesal dan langsung menghampiri mereka, "kaki mana yang kau gunakan?" ucapnya dengan wajah datar. Pria itu menjawab dengan angkuhnya, "kenapa!? kau tidak terima?" ucapnya dengan menatap wajah Wanda.
Wanda membalikkan badannya seraya memapah gadis itu berdiri, "kau tidak apa-apa?" ucapnya membungkukkan badannya.
Pria itu mulai memaki Wanda, "lemah tetaplah…"
brakk… dengan badannya yang membungkuk, Wanda menendang wajah pria yang berada di belakangnya itu sampai terpental ke pintu.
"berani sekali kau menendang wajah suamiku!" ucap seorang wanita mendekatinya. Wanda berdiri sambil menoleh kebelakang, "tidak terima?" ucapnya dengan nada dingin. Sontak wanita itu mundur ketakutan melihat sorot matanya.
"Nona, kita kembali saja." ucap gadis dengan nada pelan. "baiklah" sahut Wanda mengelus rambutnya.
Sesampainya di rumah, Wanda terus bertanya-tanya dengan apa yang terjadi. "Bukankah, aku mati dalam ledakan itu. Lalu… sekarang ada dimana ini?" Batinnya yang terus berpikir.
Gadis itu tiba-tiba berlutut di hadapannya, "nona, maafkan aku. Karena ku, kau jadi harus dipecat." Ucapnya dengan menundukkan kepalanya.
Wanda menatap gadis itu sembari berkata, "Bisa kau jelaskan apa yang terjadi?" Ucapnya dengan dingin.
Gadis itu menjawab, "hamba ceroboh, mohon nona menghukum hamba." ucapnya sembari bersujud di hadapannya.
Wanda yang bingung melambaikan tangannya, "Kau pergilah, aku ingin sendiri." Ucapnya sembari berbaring di tempat tidurnya. "Baik" sahut gadis itu meninggalkannya sendiri.
"oh iya, ambil ini untuk merawat mukamu yang memar." melemparkan salep kearah gadis itu. "terimakasih, Nona." sahut gadis itu menangkapnya sembari meninggalkan kamar Wanda.
Saat Wanda memejamkan matanya, tiba-tiba muncul ingatan-ingatan buram dibenaknya. "Agh, ingatan siapa ini?" Batinnya menahan rasa sakit di kepalanya. Wanda mengguling kesana kemari diatas tempat tidurnya seperti orang kerasukan.
Ditempat lain, terlihat sekelompok orang mengintimidasi seorang pria di tepi tebing.
"Seorang pecundang tetaplah pecundang!" Ujar salah seorang dari mereka sembari menjambak rambut pria itu dan mendongak wajahnya keatas. Seorang wanita datang menghampiri mereka seraya berkata, "kalian rusak saja wajahnya agar dia tidak menggoda pangeran lagi." ucapnya dengan tersenyum picik.
"kau benar, reputasi pangeran kita jadi jelek karenanya!" ucapnya sembari mengeluarkan belatihnya.
Saat hendak menggores wajahnya, tiba-tiba pria itu terbangun dan berkata, "singkirkan tangan kotor mu!" ucapnya dengan menatapnya tajam orang itu.
Sontak ia terkejut dan langsung melepaskannya sembari mundur selangkah. Aqira berdiri dengan memegang punuk lehernya yang kram, "Ini dimana?" ucapnya sembari menatap sekelilingnya.
Orang itu langsung menjawab, "neraka" ucapnya yang hendak mendorong Aqira ke ujung tebing.
Dengan keterampilannya yang lincah, ia menghindar dengan cepat. "Ck, kau bukanlah lawan ku." Ujar Aqira berbalik mendorongnya hingga terjatuh dari tebing.
Aqira mendekat ke ujung tebing seraya berkata, "begitu saja sudah jatuh? lemah!" ucapnya yang melihat pria tadi terperosok ke tebing.
Saat menoleh kebelakang, sekelompok orang itu sudah kabur dengan cepat. Aqira memukul pohon di sebelahnya dan berkata, "Sialan, aku bahkan belum bertanya dimana ini?" Ucapnya dengan kesal.
Akhirnya, mau tidak mau Aqira harus mencari tahu sendiri dimana ia berada sekarang. Di sepanjang perjalanan ia terus menggerutu sebab tak menemukan siapapun.
"tapi… kenapa bahasa yang mereka gunakan, seperti bahasa kuno di desaku dulu?" ucapnya yang berpikir dengan menyangga dagunya sambil menyusuri jalan.
Aqira menghentikan langkahnya sejenak, "dan juga, kenapa aku berpakaian seperti laki-laki!?" ucapnya sembari memeriksa kondisi dirinya sendiri.
Ditempat lainnya, di sebuah kamar yang mewah terlihat seorang gadis yang sudah diberi obat perangsang terbaring lemas diatas tempat tidur.
"Bagaimana tuan? Apakah bagus?" ucap seorang wanita menunjukkan wajah gadis itu.
Pria itu menyeringai dan berkata, "kau memang tidak pernah mengecewakanku." ucapnya sembari melempar sekantong koin emas kearah wanita itu.
Wanita itu menangkapnya dengan cekatan, "Kalau begitu, saya permisi dulu." ucapnya berjalan keluar sembari menutup pintu dari luar.
Pria itu bergegas menaiki ranjangnya seraya berkata, "gadis cantik, buatlah aku puas." ucapnya dengan penuh nafsu tepat di telinga gadis itu.
Mendengar sesuatu yang aneh itu, membuat gadis itu terbangun, "kau sedang apa?!" ucap Jeni spontan mencekik leher pria itu dengan kuat.
Pria itu berusaha melepaskannya, "ga…dis sialan, akan ku…beri kau pe…lajaran!" ucapnya yang hampir kehabisan nafas.
Kemudian Jeni melepaskannya, "jika kau macam-macam…" sembari berjalan menuju pisau buah dan memutarkannya di jarinya.
Pria itu terdiam di pojokan dinding tak berani bergerak. Jeni membalikkan badannya seraya berkata, "akan ku bunuh kau!" ucapnya melemparkan pisau itu kearah dinding hingga memotong rambut bagian atasnya.
Sontak pria itu terduduk lemas sampai terkencing di celananya, "ba…baik." ucapnya yang gemetaran dan pingsan di tempat.
Jeni mengambil sekantung koin emas yang ada pada pria tadi kemudian membuka jendela kamar itu sembari menoleh kebawah. Terlihat jalanan yang sepi, ia langsung melompat keluar dari tempat itu melalui jendela, "sialan, tempat apa itu tadi?" ucapnya sembari memegang punuk lehernya yang merinding.
kruyuk… terdengar gemuruh dari perutnya yang lapar, "aih, kenapa harus disaat seperti ini?" ucapnya sembari memegang perutnya. Ia langsung pergi ke sebuah restoran di dekat sana untuk istirahat sejenak.
Saat melangkah masuk kedalam, tiba-tiba hawa aneh terasa. Terlihat sorot mata para pria di sekitar mengarah padanya. Dengan acuh tak acuh, ia langsung memesan meja di lantai dua untuk menghindari tatapan aneh itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments