BAB 2

#FlashbackOn

Tentang Rio..

"RIO DEWANGGA..." sebuah tangan kokoh terulur kepadaku yang sedang menunduk memperbaiki ikatan tali sepatuku yang entah sejak kapan terlepas. Sekilas mataku memicing menatapnya, kuabaikan tangannya lalu melanjutkan langkahku menuju ke ruang kelas XII IPA1.

"Aku siswa baru di sini," ucapnya mengekoriku. "Panggil aku Rio, nama kamu siapa?" Kejarnya tak menghiraukan sikap cuekku kepadanya.

"Beriiii..." suara cempreng dari arah belakang yang memanggil namaku berhasil menghentikan langkahku seketika, spontan anak laki-laki yang bernama Rio yang sejak tadi mengekoriku juga ikut berhenti. "Tunggu, kita bareng masuk kelasnya." Ucap Nindi dengan nafas sedikit memburu karena ia tadi setengah berlari mendekatiku.

Seringai penuh kemenangan nampak nyata di wajah tampan Rio. "Beri, hmmm... sound good. Oke Beri, sampai ketemu lagi." Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dariku, Rio pun segera menjauh dari kami.

"Siapa, Ber? Kok aku baru lihat mukanya di sekolah?" Tanya Nindi penasaran.

Aku hanya mengedikkan kedua bahuku lalu berbalik dan melanjutkan langkahku menuju ruang kelas. "Katanya anak baru." Jawabku kemudian, aku tahu Nindi masih sangat penasaran.

Setelah pertemuan tersebut, Rio tak henti-hentinya datang mendekatiku. Rio sangat populer di sekolah meskipun dia anak baru karena ternyata dia adalah anak bungsu Bupati kami. Aku sendiri baru tau setelah mendengar selentingan percakapan dari para fans-nya di sekolah.

Berbagai cara Rio lakukan untuk sekedar mendapatkan perhatianku. Aku yang awalnya tidak begitu peduli dan memilih mengabaikannya akhirnya luluh juga. Perhatian-perhatian kecil yang tidak bisa kudapatkan di rumah bisa kudapatkan dari seorang Rio. Aku takluk, entah karena pesonanya atau karena perhatiannya. Aku yang dahaga akan kasih sayang keluarga seolah menemukan telaga yang mampu menghentikan rasa dahagaku.

Aku terseret ke dalam kehidupan Rio. Kehidupan yang bebas dan hampir tanpa batas. Darinya aku mengenal lentingan tembakau, darinya juga aku telah menyicipi rasa minuman haram dari berbagai merk import hingga buatan petani lokal. Aku tahu Rio seorang pemakai narko*a namun untuk satu hal tersebut, aku masih berusaha menahan diri. Ini akan menjadi masalah besar jika kedua orang tuaku tahu. Namun apa peduli mereka? Terkadang dalam sebulan aku tidak pernah melihat wajah mereka padahal kami masih tinggal di dalam bangunan yang sama.

Lama kelamaan Rio telah menjelma menjadi pusat duniaku. Bergantung kepada Rio dalam segala hal mulai terasa lebih masuk akal, meskipun jauh di bawah alam kesadaranku, sering timbul perasaan tidak nyaman, seperti rasa takut yang membuat hatiku tidak tenang. Namun perhatian dan perlakuan manisnya selalu memenangkan kegundahanku. Aku membutuhkannya.

Hubungan kedekatan kami mengalir begitu saja, aku tahu ia menyukaiku sebagai lawan jenisnya namun sering kukatakan kepadanya bahwa aku lebih suka dekat dengannya tanpa embel-embel status pacaran. Toh duniaku sudah berpusat kepadanya, apa lagi yang perlu dia khawatirkan? Itu bagiku, tapi bagi Rio, aku adalah pacarnya dan semua orang tahunya seperti itu.

Ah iya, entah sudah berapa kali Rio mengajakku berhubungan badan, namun sungguh aku tidak bisa mengabulkan permintaannya itu. Aku masih terlalu muda untuk melakukan hal-hal dewasa. Dan setiap aku menolaknya, ia selalu nampak frustasi, beruntung ia tidak pernah memaksaku. Aku sebenarnya tidak mengerti, mengapa Rio masih bisa menahan diri, padahal dalam berbagai kesempatan saat kami mabuk, bisa saja ia memaksaku melakukannya.

Sedari awal, beberapa teman sekelasku sudah sering mengingatkanku untuk berhati-hati dengan Rio apalagi setelah terdengar kabar bahwa alasan kepindahan Rio dari sekolah sebelumnya di Ibukota karena kasus narko*a, terutama Nindi. Nindi selalu bersikukuh menjauhkan aku dengan Rio, namun tentu saja tidak akan berhasil. Nindi sang kutu buku dan anak rumahan, tentu saja waktu kebersamaan kami hanya di dalam kelas. Aku yang berjiwa petualang lebih banyak menghabiskan waktuku di bidang olahraga, bahkan terkadang aku meninggalkan pelajaran di jam pelajaran dengan bermain basket bersama teman-teman lainnya. Dan kesempatan itu digunakan Rio dengan sangat baik untuk mendekatiku.

Hingga akhirnya kebiasaan membolos kelas mengumpulkan kami dengan tiga orang lainnya. Bagas, Aldi dan Ucup, mereka semua sekelas dengan Rio. Sesekali kami berlima diekori oleh Vivian, teman kelas Rio. Sepertinya Vivian menaruh perasaan lebih kepada Rio, namun diabaikan Rio, aku pun memilih tidak mengambil pusing dengan kehadirannya. Justru aku merasa lebih aman karena setidaknya aku memiliki teman perempuan saat berkumpul bersama dengan mereka.

Tidak terasa, hari kelulusan telah tiba. Aku sendiri tidak peduli dengan hasil akhir ujian sekolah. Kalaupun tidak lulus, orang tuaku pasti bisa menyelesaikannya dengan uangnya. Tidak ada kekhawatiran dengan itu semua.

Teman-teman seangkatanku telah merancang rencana pesta perpisahan, sementara geng bolosku juga ikut membuat rencana sendiri. Kami sudah tidak sabar menanti hari itu datang.

"Nginap di rumah aku yuk, Ber!" Nindi menarik lengankuku yang bebas dari rengkuhan Rio setelah acara malam perpisahan yang diadakan di Aula sekolah.

"Sorry, Nin..!" Ucapku penuh penyesalan. "Aku dan Rio masih ada acara setelah ini. Kamu mau ikut kami gak?" Basa basi sedikit demi menjaga perasaan Nindi tidak mengapa, toh aku yakin dia tidak akan ikut.

"Ikut aja, Nin." Ternyata Rio tidak keberatan aku mengajak Nindi.

Nindi hanya menggeleng lemah dan menampakkan raut wajah kecewa dengan sorot mata yang tidak bisa kuartikan menatapku dalam.

"Thanks Yo, Ber. Aku kena jam malam dari rumah, aku gak bisa ikut kalian." Nindi kembali menatapku penuh arti. "Aku duluan yah Ber, hati-hati yah, jangan terlalu malam pulangnya, kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan menghubungi aku. Assalamu'alaikum." Nindi kemudian memelukku dan akupun membalasnya.

"Jangan khawatir Nin, teman kamu aman sama aku." Ucap Rio dengan mengerlingkan sebelah matanya kepada Nindi.

Kos-kosan Aldi ternyata sudah disulap layaknya diskotik yang memancarkan kerlap kerlip lampu berwarna warni. Dentuman musik juga memenuhi seisi ruang.

"Pemilik kos sedang pulang kampung, anggap seperti rumah sendiri." Aldi mendekati kami langsung memberikan botol minuman kepada kami.

Bagas, Ucup dan Vivian sudah lebih duluan datang, 3 orang laki-laki lainnya yang kukenal sebagai teman kos Aldi ikut berpesta bersama kami.

Segala macam cemilan sudah terhampar di atas meja, puluhan botol minuman dari berbagai merk dan jenis sudah memenuhi meja lainnya. Ruangan sudah berasap karena tarikan-tarikan dan hisapan kami dari benda yang terjepit di dua ujung jari. Rio dan yang lainnya mulai meracik barang haram lainnya. Ketiga teman satu kos Aldi sepertinya sudah melayang.

Sebenarnya aku tidak menyukai suara bising dan dentuman musik yang menggetarkan dada, namun kali ini rasanya ingin kuletakkan sejenak beberapa prinsip hidup yang diajarkan oleh kedua orang tuaku selama ini. Apalagi setelah ini kami akan berpisah dan mengejar mimpi-mimpi kami masing-masing.

Rio sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari sebelumnya bahwa hari ini dan malam ini ia tidak ingin kami berpisah karena lusa akan menjadi hari terakhirnya di Indonesia. Ia akan menyusul kakaknya di Aussie untuk melanjutkan kuliahnya. Entah berapa lama lagi baru kami akan bertemu kembali. Rio tidak ingin kehilangan momen-momen terakhir kebersamaan ini.

Kepalaku mulai terasa berat, pandanganku juga sudah hanya menyisakan bayangan yang seolah berputar-putar, kondisi Rio pun tidak jauh berbeda denganku. Aku sudah tidak peduli dengan apapun. Kurasakan tangan Rio menarikku menuju kamar Aldi, dengan langkah gontai dan kaki terseret aku mengikuti Rio. Tubuhku terhempas kasar ke atas kasur dan setelahnya aku tidak mengingat apa-apa lagi.

Kesadaranku tersentak demi menangkap suara ribut-ribut dan pukulan-pukulan menghentakkan pintu dan jendela begitu kasar terus bergema. Seketika pintu terbuka paksa setelah didobrak menyisakan kepanikan yang tak terelakkan.

Aku shock mendapati tubuhku yang polos tanpa sehelai benangpun, terlebih lagi saat menyadari kondisi Rio yang sama denganku. Malu dan rasa takut seketika menghantam kesadaranku. Belum sempurna mencerna semua kejadian ini, telingaku menangkap suara-suara yang begitu kukenal. Siapa lagi, itu adalah suara ibu dan ayah. Sial!!!

×××××

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!